Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (23-24)

7 Mei 2017   09:17 Diperbarui: 7 Mei 2017   09:31 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

Segmen 2

Memukul Sarang Lebahdengan Tangan Telanjang, Menginjak Sarang Semutdengan Kaki Telanjang

Irvan Sjafari

 DUA PULUH TIGA

Waktu tidak diketahui dan tempat tidak diketahui

“Yang pasti aku bukan Ningrum, kan?  Lagian kalau sudah ditolak juga masih ngejar...” Zahra tertawa geli membaca sebuah catatan suaminya. Pembicaran sore hari di beranda lebih tepat investigasi Zahra. Dia ingin tahu dirinya sampai sedetailnya.

Alif hanya pasrah. Akhirnya dia tahu juga bahwa Zahra bukan cinta pertamanya. Tetapi perempuan itu tidak marah. Dia tidak menyobeknya dan terus membuka halaman demi halaman. Zahra menjadikan membaca catatan hariannya sebagai hiburannya. Alif maklum Zahra sebenarnya masih remaja, masih senang bermain.

“Sebetulnya apa sih kampus itu? Apa yang kamu pelajari di sana? Aku banyak belajar banyak hal dari alam dan aku menikmatinya? Jadi wartawan itu seperti apaa yaa?”

Zahra membuka halaman bukunya berikutnya. Dia membacanya keras-keras.

Ketika meliput acara peluncuran mobil sedan model baru, aku akhirnya bertemu Ningrum. Dia sudah menjadi Marketing Manager. Wajahnya tidak lagi judes, dia memberikan senyum untuk pertama kalinya. Mungkin karena aku dianggapnya jurnalis bukan Alif yang dulu mengejar dia. Yang aku senang dia mau saya wawancarai….

“Tutup itu buku!  Kita diundang cara ke Balai Pertemuan. Ada pertunjukkan tiga malam lagi.”Alif mengalihkan perhatian.

“Iya, aku tahu.  Kemarin Iffa bilang di bengkel. Kak Harum rajin kerap menggelar acara pesta dansa dan musik. Biasanya setiap dua purnama. Biasanya di pantai, tetapi kali ini di dalam ruangan ….”  Zahra patuh menutup bukunya, tetapi tidak memberikannya pada Alif.  Malah disimpan di kotaknya dan dikunci.

“Sekarang Zahra ajarkan tari kupu-kupu.  Soalnya kita ditunjuk sebagai perwakilan kaum kupu-kupu...” katanya.

“Ditunjuk? Ah, kapan rapatnya? Kamu kan Ketuanya?” Alif menebak-nebak jalan berpikir Zarah.

Zahra tak segera menjawab. Dia mendorong Alif ke kamar mandi.

Bukan tari kupu-kupunya yang dipikirkan Alif. Tetapi Harum Semerbak Mawar, seperti apa dia sekarang.

Hari ini seluruh koloni istirahat. Entah, mungkin hari minggu. Karena dua hari yang lalu hari Jum’at.Alif Salat bersama bersama laki-laki di koloni ini.

Alif mandi dulu. Kemudian disusul Zahra. Iseng. Alif ke dapur, sudah lama dia sebetulnya ingin memasak. Dia hanya ingin membuktikan bahwa laki-laki juga bisa memasak. Dia mendapatkan hanya ada semacam panci. Zahra juga menyimpan sejumlah udang dan potongan ikan.  Di sana ada sayuran. 

Alif mempelajari masakan tertentu dari ibunya, walau pun ia laki-laki. Ia mencoba sup ikan dan udang. Rempah-rempah cukup dan direbus. Warga koloni ini memasak dengan gas yang tertata melalui saluran entah di mana pusatnya. Tetapi mereka memakai secukupnya.

Dia tidak memperhatikan perempuan itu sudah di belakangnya, namun diam saja memperhatikan dengan seksama. Sampai ia tahu ada yang kurang.  “Kalau ditambah lada lebih enak Kak,” celetuknya.

Alif menurut dan sup pun jadi.  Rasanya lumayan. Setidaknya menurut Alif.  Yang ia agak gundah, Zahra diam saja menikmati sarapannya dengan potongan kentang dan semacam sukun.  Dua mangkuk dia habiskan, namun tidak ada komentar dari dia.

“Ayo ke bengkel! Ditunggu Iffa dan Tian.” Zahra mengajaknya agar ia cepat berkemas.

Zahra memberikannya pakaian katun yang lembut berwarna kuning dan oranye. Dia juga mengenakan pakaian yang sama, hanya saja dia memakai penutup kepala oranye kesukaaanya.  Wajah Zahra dingin. Dia rupanya serius agar tidak dipermalukan oleh anak-anak lebah, semut, kunang-kunang, rayap, mungkin juga anak-anak pengagum kumbang entah serangga apalagi.   

Alif menurut dan sebetulnya anak itu masih remaja sebetulnya masih mau bermain-main itu mengajaknya turun dari flat mereka. Sebetulnya ia ingin mendapat apresiasi dari Zahra bahwa dia bisa masak. Tetapi mukanya beku. Sekali-sekali dia melirik. Akhirnya wajah dingin Zahra seperti mencair.

“Ya, udah nanti siang kakanda ikut masak ya, enak…kok! Kita masak bersama di bengkel, bersama-sama Iffa dan Tian.” Dia tertawa renyah khasnya dan mencium pipinya.

Alif menduga anak-anak di sini mau menikah muda, karena tantangannya berbeda di dunia Alif dulu. Menikah di sini tidak membuat mereka tidak bisa bermain, karena memang sudah saling kenal. Kalau pun Alif “orang luar” dan usianya cukup jauh dari rata-rata anak muda itu, tetapi mau tidak mau Alif yang harus menyesuaikan diri.  Sementara bagi Alif bergabung dengan orangtua yang ada di bagian lain pulau ini juga bukan pilihan baik, karena sudah ada Zahra.

“Mulai hari ini gantian masaknya ya dan juga gantian nyuci bajunya. Jangan Zahra terus!  Kita sama-sama cari makan, sama-sama kerja di rumah. Kakak menulis itu kan di buku, bagaimana membangun rumah tangga, ayoo?”

Zahra guru yang baik. Dia memimpin sekitar empat pasang manusia kupu-kupu termasuk dirinya.  Mereka membuat kombinasi gerakan terbang, berpegangan di udara, hingga putaran kupu-kupu yang cukup sulit. Alif sedikit kaku dalam hal ini. Dia ingin menyerah. Tetapi Zahra selalu berkata: Pokoknya harus bisa!”

Siang mereka memasak bersama. Tian, Wibowo dan Darius laki-laki lainnya juga ikut memasak selain dirinya. Mereka mampu berpadu Zahra, Iffa, Gita, dan Allysa seperti tarian kupu-kupu. Mereka memasak panggang makanan laut dan memakannya dengan nasi dari beras yang dimasak dalam bambu yang dibakar.  Alif terkagum.

Warga koloni rupanya tidak membedakan pekerjaan perempuan dan laki-laki sampai detail. Bagaimana mereka punya pengetahuan memasak dengan apa yang ada dari alam pastilah ada yang mengajarkan dan kemudian melepaskan? Para orangtua tidak ikut campur, karena mereka sudah mandiri sejak kecil atau usia tertentu.

“Bagaimana kalian bisa dapat beras?” Alif ingin tahu.

“Kami punya padi ladang, tetapi terbatas. Ya, kalau tidak ada beras ada pohon sukun, ada kentang, ada sagu tidak masalah, kak? Tapi para orangtua berapa waktu sekali menyediakan beras,” jawab Wibowo.  Dia pasangannya Gita, seperti halnya Alif dan Zahra sama-samal di perkumpulan kupu-kupu.  Sementara Darius, Iffa dan Allysa belum menikah. 

“Masih ada anak-anak kupu-kupu lain?”

“Nanya terus, ada Bobby dan Selena, kami semua ada tujuh puluh anak,Kak. Yang lain di bagian blok Sarang tak jauh dari sini  bagian kebun buah, bunga dan sayuran,” ujar  Iffa.

Sarang? Mereka menamakan flat-flat ini sarang. Benar-benar peniru serangga.

Selesai makan mereka latihan formasi lagi. Gerakan kupu-kupu lembut, tetapi bisa agresif. Yang membuat Alif beberapa kali ditegur Zahra ialah kekakuannnya, terutama ketika memutar dengan kaki lepas, ia berapa kali terjengkang. Kalau tidak ditahan sayap kupu-kupu pasti bilur-bilur.

Zahra terus mengomelinya. Namun ketika Alif hendak berang karena terus menerus dicecer, Zahra bisa menenangkannya dengan ciuman di pipi dan diiringi tepukan anak buahnya. 

DUA PULUH EMPAT

Membaca Indonesia Biro Jawa Barat

Lima Tahun yang lalu

Alif bergegas memasuki kantorMembaca Indonesia Biro Jawa Barat berlokasi di kawasan Jalan Pajajaran. Sebetulnya cukup dekat dari kediaman orangtuanya.  Tetapi Alif sebetulnya malas ditugaskan di kota kelahirannya sendiri, kalau bukan masalahnya soal human trafficking. Pasukan Biro Jawa Barat kekurangan tenaga karena banyak hal yang harus dicover, seperti sengketa tanah di Priangan Selatan, Pilkada sampai bencana banjir.

“Ah, Lif akhirnya kamu datang.  Semua awak di sini tidak mampu meliput masalah penemuan polisi Bandung soal perempuan yang hendak dibawa ke Hongkong itu. Lagi pula kamu kan yang tahu masalahnya,” Kang Nana Nugraha menyambutnya.

“Gile, gue sendiri dong!”  Alif menghela nafas. Yang ia tahu di benaknya masuk dalam daftarnya, dia harus menemui polisi, menemui dua korban, konfirmasi pada oknum yang dicurigai sebagai germo, hingga pihak hotel yang dicurigai sebagai tempat transaksi.  Belum lagi dia harus ke kampung itu perempuan.

Alif menghempaskan tas ranselnya di ruangan.  Dia duduk dan keringatnya bercucuran. Nana Nugraha tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum. “Kamu tidak sendiri….”

“Emangnya direkrut dari mana lagi? Tempo hari yang dari kampung di Solo, senior saya di Jakarta mengajarkannya liputan?”

“Kang Alif bicaranya sudah anak Jakarta banget…angkuh dan merasa lebih pintar.” Terdengar suara lembut sekaligus sinis.

Alif menoleh. Seorang perempuan manis, mungil, rambutnya sebahu dengan kacamata. Dia mengenakan celana jins dan berdiri di kursinya mengulurkan tangan.

“Kalau begitu untuk saat ini Harum siap dipimpin oleh laki-laki yang pintar…” ucapannya enteng, bersahabat tetapi sekaligus menusuk. Masih seperti Alif yang pidato waktu mahasiswa atau sudah berubah...”

Nana Nugraha terkejut karena perempuan itu berani menyebut nama dan tidak Kang. Berarti sudah kenal sebelumnya.

“Dia Harum Semerbak Mawar, anak magang dari Jurnalistik, Fikom. Adik kelas saya,” Nana khawatir kalau Alif meledak.

“Kamu masih ingat…” Alif memandang perempuan itu karena merasa takjub sambil menyambut uluran tangannya.

Entah mengapa Alif segan terhadap perempuan itu. Matanya terus menantang matanya. Lalu Alif mendingin. Dia duduk berhadapan seperti tersihir.

“Kamu sudah jadi anak Jakarta. Jadi apa yang harus dilakukan anak kampung yang ingin belajar seperti saya.” Harum dengan dingin menatap Alif.

“Aduh, kunaon ini anak…” Nana Nugraha merasa tidak enak.  Alif sudah dua tahun menjadi reporter, masih jauh jadi redaktur, tetapi tetap saja lebih senior. Alif sudah jadi reporter waktu tingkat terakhir, tanpa melalui proses magang karena dianggap sudah mahir menulis.

“Iya, kamu ikut saya ke kantor polisi kita ketemu korban dulu…” kata Alif mengeluarkan sehelai foto dan catatannya.

Kasus yang beresiko sebetulnya. Alif enggan membawa anak magang ikut. Tetapi Harum menunjukkan antusiasnya terhadap masalah human trafficking. Mungkin karena dia berjiwa feminist?

“Elin Halidah. Belum 17 tahun, warga Kampung Harapan di Garut, ditemukan polisi di Hotel Bandung Permai bersama seorang politisi Senayan. Diduga sebagai penyuapan oleh seorang pengusaha untuk meloloskan suatu UU. Masalahnya anak itu tidak sukarela tetapi dijebak dan itu yang kita cari tahu. Soal korupsi itu urusannya anak politik di Jakarta dan Biro Jawa Barat. Saya ingin membongkar jaringannya...”

“Yang nggakmungkin ada kalau tidak ada konsumen laki-lakinya, ya Alif. He…maaf! Harus manggilnya Kang Alif...” Harum Mawar menerima foto itu. Kata-katanya keluar dengan dingin. Tetapi dia tersenyum manis dan dia tampak cantik dengan kecamatanya.  Dia tomboy tetapi masih banyak sisi femininnya.

“Ya, sudah feminis cantik… Kamu ikut saya ke kantor polisi…” Alif sudah terbiasa menghadapi Yola di kampusnya, hingga dia tidak kaget lagi.

“Feminis cantik?” Harum Mawar menanggapinya dengan senyuman kecil, tetapi dingin. “Apa yang kamu tahu soal kepentingan perempuan Alif, selain pidato sewaktu menjadi kandidat senat?”

Dia kemudian mengambil segelas air minum dari dispenser dekat meja dan memberikan kepada Alif.

“Kang Alif haus kan? Menurut kamu sekali pun sudah ada emansipasi, perempuan tetap harus melayani laki-laki, “

Alif menerimanya dan meneguknya. Dia tahu arah pembicaraan Harum. “Kamu pintar sekali menyindir...”

Nugraha mengurut dada ketika melepas keduanya beranjak pergi. Dia baru pertama kali menemui anak magang seberani Harum.  Biasanya iya, Kang, Iya Teteh sama tandemnya. Alif dan Harum berangkat ke Polres Kota Bandung.

                                                                                   ***

Komisaris Polisi Brata Kartajaya langsung mempersilahkan Alif yang sudah dikenalnya sejak ditugaskan dari Jakarta menemui Elin Halidah yang ditemani oleh seorang aktivis gerakan perempuan.  Anak itu ketakutan sekali dan tak hentinya menangis. Alif agak bingung masuknya dari mana.

Aktivis itu namanya Esti Ayudya. Seorang psikolog. Alif sudah memberikan kartu namanya sekaligus nama Harum Mawar dan kontaknya. “Pendidikannya hanya SMP, Kang?” katanya.   

Harum menatap matanya dengan lembut memberikan simpati, lalu memeluknya.

Keumaha neng, saha yang ajak neng?”  Harum mendekati Elin sambil membelai rambutnya dengan lembut. Pendekatan seorang kakak. “Saya juga dari kampung, neng! Kita senasib...”

“Kang Darja, pacarku.  Mengaku dari Jakarta. Katanya pegawai. Saya terpikat Teteh, orangnya royal dan pandai memikat bapak dan ibu. Tetapi ketika sudah kenal, dia menjual aku…”  selanjutnya mulut Elin muntah seperti senapan mesin. Dia menangis di pelukan Harum.  Bahkan Inspektur Brata pun terpaksa mengeluarkan catatannya. Ada informasi baru.

Esti, dari aktivis perempuan mengacungkan jempolnya pada Alif. “Pintar kamu pilih anak buah...”

Dari mulut Elin disebut nama William Suhendra atau dipanggil Om Willy.  Inspektur Brata hanya menggeleng kepala. “Orang itu memang germo kelas kakap. Tidak bisa ditangkap...off the record...”

Elin mengaku sudah melayani seorang politisi Senayan, serta seorang pengusaha tetapi dia tidak tahu namanya.

Tiga jam sudah mereka mengorek keterangan Elin. Dia dijemput oleh orangtuanya. Bahkan Harum diberi nomor teleponnya. Wawancara dengan Inspektur Brata dan Esti tidak sesulit Elin. Semua lancar. Begitu juga orangtua Ellin. Mission complete.   

Alif kemudian mengajak Harum keluar dari Polres Bandung untuk mencari makan siang.

“Di Dago Pojok saja Alif… He...Kang Alif. Ada warung yang enak langganan aku sejak masih SMA,” ajak Harum. “Boleh kan perempuan yang traktir…?” sekali lagi Harum dingin. “Hitung-hitung balas jasa diajak liputan...”

Alif tersentak.

Harum mengajak makan di Warung Sunda yang pemiliknya mengenalinya dengan baik. Namanya Kang Yana. Begitu masuk, Alif bisa menduga mengapa Harum menyukai warung ini full music. Lagu yang ia dengar ketika masuk tentang nasib perempuan dengan pencipta lagu seorang perempuan dan penyanyi seorang perempuan. 

“Kang Yana ini dulunya pernah bercita-cita menjadi seorang VJ. Dia pernah jadi marketing sebuah majalah komunitas. Teman-teman wartawan meledeknya dengan panggilan VJ Yana.  Karena dia dulu mengidolakan seorang penyanyi perempuan yang suaminya seorang VJ. Dia banting stir dari marketing media buka warung,” Harum memperkenalkan pemilik warung itu.

“Benar Kang? Dulu dipanggil VJ Yana?”  tanya Alif melihat pria yang usianya di atas 30 tahunan itu.  

Kang Yana tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum saja melihat mereka. Begitu mengenal Harum, dia sampai tahu apa yang kira-kira disukai dara itu, nasi, ayam goreng dan sayur oncom. Lain dengan Alif, yang agak canggung sebetulnya. Dia lapar sekali dan hanya memesan telur dan sayur asem. Dia takut membebani Harum.

“Sudah, pesan Ikan Mas, ayam goreng juga boleh…” Harum menangkap kegengsian Alif.“ Kang Yana, kasih senior aku ini ikan mas dia pasti suka…”

Senior? Menghormati atau meledek? Akhirnya Alif mengangguk. Sementara Harum makan dengan tenangnya. Dia mencuri melirik. Dia menyadari perempuan punya kharisma. Tadinya dia tidak tertarik pada perempuan itu. 

Harum menyadari, tetapi dia menanggapinya dengan dingin.  Karena merasa tidak direspon Alif melanjutkan santap siangnya. Karena warung penuh mereka sebetulnya terdesak untuk duduk merapat. Alif melirik sedikit matanya, tetapi kemudian meneguk minumnya.

“Mata kamu itu mata lelaki umumnya yang ingin melahap perempuan seperti santapannya…” Dia tertawa berbisik. “Sekalipun aku tahu, kamu nggakbakal berani... “

“Setelah ini ke Hotel Permai, tetapi salat dulu di Masjid Salman…” Alif mengalihkan perhatian.

“Siap Lif, eh...Kang Alif, he...Boss...Punya sumber kunci di sana?”

Mereka Salat di Masjid Salman. Harum menurut menjadi makmunnya. Dia kemudian mengikuti Alif menuju Hotel Bandung Permai.

Tepat pukul tiga sore.  Mariana Rossa Nilamaya, Coorporate Coomunication Hotel Bandung Permai baru saja keluar dari ruangannya Dia selalu berdiplomasi wartawan yang hendak mengkonfirmasi soal penggrebekan polisi di hotel itu, sesuai perintah manajemen yang intinya: tanyakan sama polisi”. 

Namun kali ini Alif yang wajahnya dia hafal.  Dia menarik ke sebuah coffee shop yang letaknya ekskusif. Di tempat yang eksklusif pula. “Berlaku sebagai teman aku. Simpan tape kalian. Semua off the record...” katanya.

Alif terpukau di usianya berkepala tiga, Mariana justru di puncak kecantikannya.  Dia menerima Alif dan Harum. Alif mencium tangannya seperti masa lalu.

“Teteh… saya belum mendengar kabar Zahra lagi…dia bersama anak-anak Pak Nanang menghilang ketika aku sudah lulus SD, ketika Zahra sudah di atas umur tiga tahun…”

Mariana meneteskan air matanya. “Kamu menyukainya. Dia anak cantik. Kalau dia sudah remaja kamu pasti naksir…”

Harum diam dan menyimak percakapan mereka sebelum masuk masalah. “Siapa Zahra Teteh…”

Mariana menceritakannya dengan pelan. Harum tersentak mendengarnya. Dia geram. Tetapi setelah Mariana menuntaskan ceritanya,   lalu dia melirik Alif. Kali ini tidak dengan dingin, tetapi memberikannya rasa hormat seperti waktu dia di FIB. “Atas nama perempuan terima kasih...” bisiknya.

“Ok, sekarang apa yang terjadi…”

“Andy  Wahyudi  itu klien penting kami. Pemilik saham terbesar hotel ini kawan dia. Juga Pandu...mantanku. Mereka kerap pemesan jasa Om Willy untuk gathering di Bali, Singapura, Lombok...Backingnya dari berbagai kalangan...juga politisi Jakarta...”

“Bisa sebut namanya?” Harum tak sabar.

“Sayang  saya tidak tahu Alif.  Saya pernah melihatnya wajah di televisi, terkenal kok, tetapi saya muak melihat dan mendegar berita politik…”

Harum mencatat. Wajahnya serius.

“Hati-hati kalian. Om Willy dan kelompok politisi Jakarta punya barisan tukang pukul. Ada yang mantan tentara asing yang dijadikan warga negara kita dan yang lain orang terlatih. Namanya Luca. Mantan marinir Amerika, keturunan latin. Dia kerap kemari. Aku paling takut sama dia. Dia pernah mematahkan tangan karyawan hotel kami hanya karena tak sengaja menumpahkan minuman teh ke baju rekanan Om Willy.“ 

Alif menduga pastinya  perkara itu diselesaikan di "belakang". Biaya pengobatan karyawan hotel itu ditanggung dan dia dapat kompensasi tutup mulut. Padahal seharusnya penganiayaan harus diproses hukum. Orang-orang ini tidak terjamah hukum. Yang mengusik pikirannya komplotan itu mampu menaturalisasikan tentara asing untuk bisa jadi pengawal., seperti pemain sepak bola saja. Finansial mereka pasti sangat kuat.  

Menjelang pukul lima sore, percakapan selesai.  Alif dan Harum keluar dari coffe shop.  Mereka tidak menyadari berapa pasang mata mengawasi mereka dengan tajam.

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun