Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (23-24)

7 Mei 2017   09:17 Diperbarui: 7 Mei 2017   09:31 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

Harum mengajak makan di Warung Sunda yang pemiliknya mengenalinya dengan baik. Namanya Kang Yana. Begitu masuk, Alif bisa menduga mengapa Harum menyukai warung ini full music. Lagu yang ia dengar ketika masuk tentang nasib perempuan dengan pencipta lagu seorang perempuan dan penyanyi seorang perempuan. 

“Kang Yana ini dulunya pernah bercita-cita menjadi seorang VJ. Dia pernah jadi marketing sebuah majalah komunitas. Teman-teman wartawan meledeknya dengan panggilan VJ Yana.  Karena dia dulu mengidolakan seorang penyanyi perempuan yang suaminya seorang VJ. Dia banting stir dari marketing media buka warung,” Harum memperkenalkan pemilik warung itu.

“Benar Kang? Dulu dipanggil VJ Yana?”  tanya Alif melihat pria yang usianya di atas 30 tahunan itu.  

Kang Yana tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum saja melihat mereka. Begitu mengenal Harum, dia sampai tahu apa yang kira-kira disukai dara itu, nasi, ayam goreng dan sayur oncom. Lain dengan Alif, yang agak canggung sebetulnya. Dia lapar sekali dan hanya memesan telur dan sayur asem. Dia takut membebani Harum.

“Sudah, pesan Ikan Mas, ayam goreng juga boleh…” Harum menangkap kegengsian Alif.“ Kang Yana, kasih senior aku ini ikan mas dia pasti suka…”

Senior? Menghormati atau meledek? Akhirnya Alif mengangguk. Sementara Harum makan dengan tenangnya. Dia mencuri melirik. Dia menyadari perempuan punya kharisma. Tadinya dia tidak tertarik pada perempuan itu. 

Harum menyadari, tetapi dia menanggapinya dengan dingin.  Karena merasa tidak direspon Alif melanjutkan santap siangnya. Karena warung penuh mereka sebetulnya terdesak untuk duduk merapat. Alif melirik sedikit matanya, tetapi kemudian meneguk minumnya.

“Mata kamu itu mata lelaki umumnya yang ingin melahap perempuan seperti santapannya…” Dia tertawa berbisik. “Sekalipun aku tahu, kamu nggakbakal berani... “

“Setelah ini ke Hotel Permai, tetapi salat dulu di Masjid Salman…” Alif mengalihkan perhatian.

“Siap Lif, eh...Kang Alif, he...Boss...Punya sumber kunci di sana?”

Mereka Salat di Masjid Salman. Harum menurut menjadi makmunnya. Dia kemudian mengikuti Alif menuju Hotel Bandung Permai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun