“Harum bertemu kamu ketika kamu masih kuliah dan ketika dia magang di sebuah harian di Bandung. Dia suka pada liputan kamu soal human trafficking. Rupanya sejak lama kamu berminat pada masalah itu.”
Alif tidak menggubris pujian itu.
“Dari mana kamu mengetahui tempat ini?”
“Aku adalah mata para orangtua untuk mencari tahu soal bayi-bayi yang dibuang, kalau tidak ada kami tampung di suatu tempat. Ketika itu sudah ada belasan bayi baru lagi dibawa ke tempat ini. Kami tidak tahu daya tampungnya.”
“Caranya?”
“Rahasia Kak! Kamu tetap orang luar, kawan. Kamu diterima di sini karena Zahra dan sebagian koloni ini ada karena berkat kamu, Kak. Harum juga ingin kamu di sini.”
“Jadi semuanya kebetulan, Aku mendapatkan kecelakaan dan terdampar di tempat ini?”
Dia mengacungkan jari telunjuk dan jempol seperti pistol ke muka Alif. “Tepat kawan. Sekarang lihat apa yang bisa kamu kerjakan. Tetapi lihat dulu kabar televisi masih tentang kamu...”
Alif meneteskan air matanya menyaksikan berita wawancara televisi dengan ibunya mengenai kecelakaan pesawat Archipelago Airlines. Dia juga melihat Nanda mewawancarai adiknya Frisca. Alif tidak menangkap isi wawancaranya. Tetapi adiknya cemas kalau kakaknya benar-benar tiada. Masalahnya Alif tahu itu bukan siaran langsung, tetapi rekaman video. Mungkin juga diunggah dan bisa kapan saja.
Dia sebetulnya ingin kembali ke Bandung, setidaknya ingin mengabarkan bahwa ia selamat. Tetapi hati yang lain ia jatuh hati pada surga ini.
“Nggak ada yang bisa menemukan kalian di sini?”