Dia baru tahu apa yang disebut nasi kapau hari ini, lebih berkuah santan daripada nasi Padang biasa yang dia pernah cicipi di Kota Bandung. Kang Ikhsan membicarakan perbedaan itu dua minggu lalu ketika mengajaknya menonton pertunjukan musik klasik di Lyceum, Jalan Dago, akhir Januari 1958. Rupanya Ikhsan bukan sekadar sengaja datang ke Bandung menemuinya, tetapi juga sekaligus menceritakan berapa hal tentang budaya dan makanan Minang, namun yang penting dia menceritakan bahwa Mas Yoppie Hantoro, Pimpinan Redaksi Tanah Air mengizinkan untuk berangkat ke Sumatera Barat meliput situasi politik di sana.
“Situasi di sana sedang panas Nyi Iteung. Para perwira militer di sana tidak puas dengan Pemerintahan Djuanda,” kata Ikhsan waktu itu. “Ini pertama kali saya pulang kampung, walau asal orangtua dari Minang, saya lahir dan besar di Tanah Pasundan.”
Akhirnya Ikhsan terbiasa memanggilnya dengan Nyi Iteung. Padahal nama lahirnya adalah Dyah Wahyuni. Lalu dia bilang ingin juga menyusul karena ingin tahu seperti tanah Minang. Tadinya dia pikir Ikhsan akan melarangnya karena tugas itu bukan wisata, tetapi meliput daerah yang terang-terangan menentang pemerintah pusat. Itu di baca pertengahan Februari lalu bahwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia telah dibentuk di Padang pada 15 Februari 1958.
“Akang saya juga ingin meliput?”
“ Kamu bisa menyusul, tetapi izin dulu ya sama Ibu kamu, Mas Yoppie atau Mbak Shita. Nanti saya kasih surat buat sepupu saya Yusnimar.”
“ Isi surat itu?”
“ Minta dia dan adiknya Harun mengantar kamu ke Titik 500, tempat saya bertemu Mamak saya yang ikut PRRI.”
“Titik 500?”
“Kalau kamu sudah bertemu sepupu saya, kamu akan tahu. Tetapi kalau kamu diizinkan ikut meliput?”
Dia tahu wajah Yoppie Hantoro menunjukkan ekspresi terperanjat ketika dengan entengnya dia datang menghadapnya di kantor di Cikini sudah memakai tas parasut, memakai celana mirip dipakai tentara, kaos, jaket, rambut digulung dan disembunyikan dalam topi rimba. Tepatnya kenekatannya diutarakan beberapa hari sesudah berita PRRI diumumkan.
“Nyi Iteung, Ikhsan sendiri hilang di sana, tahu tidak? Dia hanya kasih kabar terakhir soal pengumuman dari Syafrudin Prawiranegara, setelah itu kami kehilangan komunikasi. Tidak! Tidak! Kami tidak mau mengirimkan perempuan ke sana sendirian….”