Tetapi wakilnya Mas Yoppie, Mbak Shita Kurniawatie seorang emansipasist memberikannya surat pengantar dan uang saku. Artinya redaksi setuju untuk mengirim orang kedua kalinya. Yoppie malas berdebat dengan Shita, karena dia sudah terlanjur bicara karena Dyah Wahyuni seorang perempuan. Alasan yang paling tidak disukai oleh Shita.
Kedatangan Dyah Wahyuni di Bukitinggi dalam Februari 1958 persis setangah jam sebelum pemboman oleh angkatan udara. Dia melihat sendiri ketegangan yang terjadi. Dia sudah mendengar cerita penduduk Padang juga mengalami pemboman. Rupanya Nasution ingin memberikan isyarat TNI akan bersikap keras. Takut? Ada. Tetapi dia sudah mengalami oplet yang ditumpanginya semasa ditembakan gerombolan bersenjata di Cijulang dan berapa kalinya desa neneknya didatangi Darul Islam, ketika ia ada di sana.
Ketegangan dan mendapatkan pengalaman justru membuat Dyah Wahyuni semakin lapar, Dia dengan tenang menghabiskan nasi kapau dengan lauk rendang di sebuah warung di dekat Jam Gadang Bukit Tinggi. Dia memakai selendang menutup rambutnya setibanya di Kota Padang dari kapal laut. Karena menurut Mbak Shita seperti halnya Tanah Pasundan tempat ia berasal, masyarakat Minangkabau cukup ketat memegang adat Islamnya. Kalau dari cara berpakaian, dia tidak beda dengan perempuan lain di warung itu, walaupun ia memakai celana panjang kain. Dia tahu bahwa Warung Lamak Bana milik sepupunya Kang Ikhsan bernama Yusnimar, kontaknya di Bukit Tinggi.
Ikhan sudah menitipkan surat untuk diberikan kepada pemilik warung kalau ia mau nekat juga menyusulnya.
“Tambuo Upik?” tanya seorang perempuan dengan rambutnya juga ditutup selendang.
Dyah Wahyuni mengangguk. Perjalanan kapal dilanjutkan otobus membuatnya hanya makan tiga kali dalam dua hari. Perempuan itu memberikan nasi putih hangat ke Dyah. Lalu dia menyerahkan surat yang sudah lusuh itu. Perempuan itu berusia 30 tahunan hanya berapa tahun dari dia. Lalu dia menatap Dyah.
“Kamu Nyi Iteung? Uda Ikhsan pernah menyebut nama adik. Urang Sunda?”
“Ya, nama saya Dwi Wahyuni. Tetapi saya suka menyebut diri saya Nyi Iteung?”
“Wah kamu berani benar seperti Sabai Nan Aluhi!” puji perempuan itu tersenyum. “Saya dulu waktu revolusi pernah ikut menghadang tentara Belanda, waktu masih gadis? Kamu bukannya sudah bersuami?”
“Pernah,” jawab Dyah tanpa mau menjelaskan lebih lanjut soal pribadinya. “Jadi di mana Titik 500 itu Uni?”
“ Bahaya kamu ke sana. Kalau Bunda saya tahu bisa dimaki. Tetapi kita berangkat bersama. Titik 500 itu sebetulnya tempat itu di sebuah dusun masih Sumatera Tengah. Kamu menginaplah di rumah kami, bilang kawan sekolah saya dari Jawa, sekaligus teman sekantor Ikhsan. Pagi-pagi kita berangkat bersama adik saya Harun. Dia juga mau bergabung dengan Mamaknya Ikhsan, Erwin Said dan sepupunya Rinaldi.”