“Baa kaba Uda Ikhsan,” sapa Yusnimar.
“ Baeek atuuh, hatur nuwun Yus,” cetus Ikhsan.
“Iiih, sudah jadi orang Sunda. Uda ndaak singgah di tempat Yus?” tanya perempuan itu.
Dyah Wahyuni tertawa cekikan karena logat Ikhsan bukan Minang lagi. Mereka makan dengan enak sekali.
“Harus kemari sebelum perang pecah. Takut ditahan Etek, akhirnya tidak kemari. Padahal Uda di sini tugas,” sahut Ikhsan.
Sekitar setengah jam kemudian seorang pria setengah baya datang menghampiri mereka. Dia juga melihat Dyah Wahyuni. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena kurang tidur. Tetapi orangtua itu berusaha tersenyum pada Dyah.
“Wahang dan teman-temanmu harus pergi lewat Riau. Saya khawatir keselamatan kalian di Padang dan tidak seberutung waktu kemari. Sersan Karim dan dua serdadu akan mengantar para wartawan sampai ke dusun di daerah Timur di mana ada kendaraan yang mengantar kalian ke Pekanbaru.”
Orangtua ini meninggalkan tempat itu di antara seorang perwira yang menatap tajam ke arah seorang pemuda yang duduk di sebelah Ikhsan. Namun dia memperlihatkan rasa hormat pada Dyah.
“Dari Pasundan Neng, saya pernah jadi anak buah Zulkifli Lubis dan Kawilarang di Siliwangi. Salam buat Pak Kosasih,” ujarnya dalam logat Sunda yang fasih.
Dyah Wahyuni senang dia diterima di sini. Dia hanya heran mengapa perwira itu benci pada pemuda berkacamata di sebelah Ikhsan. Pandangannya sudah bertanya pada seniornya.
“ Ini Bobby Fauzan dari Harian Rakyat. Itu koran PKI. Perwira itu benci komunis. Dia pernah ikut menumpas Muso. Ikut juga rombongan Julius dari Abadi, Koran Masyumi. Kalau bukan saya kemanakan penghulu di sini, serta Julius, entah nasib Bobby. Itu sebabnya kami lama di sini, ditanya sana dan di sini, tetapi diperbolehkan meliput dan kami harus pergi.