Ketika ambisi geopolitik mengalahkan akal sehat, perdamaian dunia dipertaruhkan. Rencana penguasaan Greenland oleh Donald Trump bukan sekadar wacana, melainkan alarm bahaya bagi masa depan dunia yang semakin rapuh oleh dominasi dan kesewenang-wenangan.Â
Ngeri-ngeri sedap rencana Donald Trump mengambil alih Greenland. Ya, bagaimana bisa Greenland, sebuah wilayah dengan status negara berdaulat, direncanakan untuk "diambil alih" oleh Trump?Â
Rencana ini terdengar tidak masuk akal, tapi faktanya, sempat menjadi gagasan serius saat ini. Saya mencoba menelusuri, apakah ada dasar yang sah bagi rencana Trump terkait Greenland.Â
Sepanjang yang saya temukan, hubungan antara AS dan Greenland sejauh ini terbatas pada kerja sama bilateral, termasuk perjanjian militer yang memungkinkan Amerika Serikat membangun pangkalan militer di wilayah tersebut.
Hanya membayangkan rencana Trump ini saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Apalagi, kabar terakhir menyebutkan bahwa tidak hanya Greenland, tetapi juga Terusan Panama masuk dalam daftar ambisinya.Â
Memicu Ketegangan Global
Apa yang direncanakan Trump seharusnya menjadi kekhawatiran bersama, sebab berpotensi memantik ketegangan global.
Trump bahkan tidak segan menggunakan kekuatan militer dan ekonomi untuk menekan Greenland agar bergabung dengan Amerika Serikat.Â
Khawatir saja, jika ini benar-benar terjadi, bukankah ini akan menjadi sebuah pelanggaran internasional?Â
Tindakan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk "penjajahan" terhadap Denmark, mengingat Greenland adalah wilayah yang berada di bawah kedaulatan Kerajaan Denmark.
Tidak ada alasan yang sah yang membuat AS memiliki hak atas Greenland. Satu-satunya motif yang tampak adalah alasan geopolitik, dengan niat mendominasi dunia internasional.
Greenland memang memiliki daya tarik strategis bagi AS, baik dari segi pertahanan maupun sumber daya alam yang melimpah.
Greenland memiliki 25 dari 34 mineral kategori penting, termasuk grafit dan litium yang digunakan untuk baterai serta teknologi canggih lainnya. Hal inilah yang mungkin membuat Trump begitu ngebet untuk memiliki Greenland.
Sejarah mencatat, ambisi AS terhadap Greenland bukanlah hal baru. Pada 1867, Presiden Andrew Johnson mempertimbangkan untuk membeli Greenland.Â
Kemudian, pada era Presiden Harry S. Truman, AS menawarkan 100 juta dolar AS kepada Denmark untuk membeli wilayah tersebut.
Pada 2019, Trump juga pernah melontarkan gagasan pembelian Greenland. Lalu, pada 7 Januari 2025, Trump kembali mengemukakan niat yang sama.
Sulit membayangkan kebijakan Trump yang terang-terangan berpotensi memicu konfrontasi antarnegara. Bahkan gagasan "pembelian" ini terasa, maaf, merendahkan.Â
Greenland adalah wilayah berdaulat dengan penduduk yang memiliki hak atas tanah air mereka. Mengapa muncul gagasan untuk menguasai Greenland seolah-olah mereka hanya sebuah objek yang bisa diperjualbelikan?
Jika ambisi Trump ini tidak dihentikan, dampaknya bisa sangat mengerikan. Hegemoni AS yang tidak terbatas akan menjadi ancaman bagi banyak negara.Â
Secara tidak langsung, ini memberikan pesan bahwa apapun yang diinginkan AS dapat diraih tanpa batasan. Bukan hanya Greenland yang harus waspada.Â
Panama, misalnya, juga harus siaga. Trump diketahui memiliki gagasan serupa untuk "mengambil alih" Terusan Panama. Jika pola ini terus berlanjut, ancaman bagi kedaulatan negara-negara lain di dunia menjadi semakin nyata.
Peran Aktif Indonesia
Niat untuk menciptakan perdamaian dunia harus selalu diselaraskan. Zaman penjajahan seharusnya sudah lama berlalu.Â
Suara keras menentang penjajahan dan mendukung perdamaian dunia harus terus digaungkan dan dijaga semangatnya hingga saat ini.
Tentu, mengupayakan perdamaian dunia bukan perkara mudah, apalagi jika menentang keinginan negara adidaya. Namun, apakah kita hanya akan berdiam diri? Negara kita bisa berbuat apa?
Melalui forum-forum internasional, peran Indonesia sangat diharapkan. Saya menaruh harapan besar pada pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini.Â
Dengan keluwesan Presiden Prabowo dalam forum internasional, Indonesia memiliki modal yang kuat untuk menyuarakan perdamaian dunia secara lebih efektif.
Jika perjuangan sebagai pejuang tunggal terasa berat, Indonesia dapat menginisiasi berbagai forum untuk mengajak negara-negara lain bersama-sama mendukung perdamaian dunia.Â
Kolaborasi internasional ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang peduli terhadap keadilan dan kedaulatan global.
Segala bentuk kesewenang-wenangan harus dicegah, meski upayanya tidak semudah membalikkan telapak tangan.Â
Kita pun harus menyadari bahwa langkah-langkah aktif Indonesia dalam menentang ketidakadilan global berpotensi membuat posisi negara kita berada dalam ancaman.Â
Namun, keberanian untuk memperjuangkan perdamaian sejati adalah bagian dari tanggung jawab moral sebagai bangsa yang berdaulat.
Serukan Perdamaian
Cukup sudah dunia ini dilanda berbagai peperangan. Perang hanya membawa luka, menghancurkan kebahagiaan, dan menumpahkan darah orang-orang tak bersalah.
Gaza dan Ukraina menjadi contoh nyata peperangan di zaman modern. Infrastruktur hancur, banyak nyawa melayang, negara luluh lantak, dan yang paling mengerikan adalah campur tangan berbagai negara lain yang bisa memicu perang lebih besar di tingkat global.
Tugas kita adalah menyuarakan kekhawatiran ini. Jika rencana penguasaan Greenland oleh Amerika Serikat benar-benar dilakukan melalui invasi militer, ini akan menjadi alarm bahaya bagi perdamaian dunia.
Sebagai negara adidaya, AS seharusnya memainkan perannya dengan bijak. Namun, apakah mungkin Indonesia mendikte kebijakan AS? Rasanya mustahil.
Memang seperti jalan buntu. Mana ada negara yang mampu menghalangi keinginan AS? Apalagi jika hanya satu negara yang bersuara.
Namun, harapan itu tetap ada. Indonesia masih memiliki peluang untuk menginisiasi penjagaan perdamaian dunia.Â
Apalagi, Presiden Prabowo Subianto beserta jajarannya kini menunjukkan manuver diplomatik yang luwes di berbagai forum internasional.
Bukan tidak mungkin Indonesia mampu memantik persaudaraan global berbagai negara demi mewujudkan perdamaian.Â
Jika ada yang menganggap tulisan ini sebagai sesuatu yang sia-sia, saya teringat sebuah kisah tentang cicak dan semut dalam peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim.
Cicak menganggap usaha semut membawa setitik air untuk memadamkan api besar yang membakar Nabi Ibrahim adalah hal yang sia-sia. Namun, ternyata usaha kecil itu tercatat sebagai kisah abadi sebagai simbol kebaikan yang tulus.
Begitu pula dengan upaya kita. Suara kecil untuk perdamaian dunia tidak pernah sia-sia. Setidaknya, saya sudah bersuara untuk perdamaian dunia. Anda juga, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H