Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

2025, Stop Beli yang Gak Penting!

30 Desember 2024   21:50 Diperbarui: 31 Desember 2024   10:13 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menghemat uang. (Kompas dari Freepik) 

Tahun 2025 segera tiba dengan berbagai tantangan, kenaikan harga barang, gaji yang tidak naik, dan arus FOMO yang semakin menderas. 

Pajak naik atau tidak naik, harga-harga tetap saja meroket tak terbendung. Tak dapat disangkal, kenaikan PPN sebesar 12% pada 2025, yang tinggal hitungan hari lagi, akan semakin mendorong lonjakan berbagai harga di pasaran.

Di sisi lain, berbanding terbalik dengan harga yang terus merangkak naik, gaji justru stagnan, tak mengikuti laju kenaikan harga yang kian melambung.

Sementara itu, gelombang tren belanja yang menggebu-gebu terus menghampiri kita di setiap sudut. Media sosial, yang kini menjadi tempat pertemuan berbagai elemen masyarakat, juga telah berubah menjadi pusat tren belanja.

Banyak pihak memprediksi bahwa 2025 akan menjadi tahun yang penuh tantangan. Oleh karena itu, bijak bagi kita untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi, demi menemukan resolusi terbaik bagi kesehatan finansial di tahun mendatang.

Tragedi Pinjol

Ketika kebutuhan semakin membengkak sementara gaji tetap, pinjaman online (pinjol) kerap dianggap sebagai solusi menarik yang perlu dipertimbangkan.

Namun, kemudahan mendapatkan pinjaman dari pinjol ini sering kali tidak berujung manis. Banyak orang justru hidupnya berantakan akibat gagal bayar.

Tren pinjol pun ternyata menjangkiti semua kalangan masyarakat. Fakta mengejutkan terungkap dari hasil survei NoLimit Indonesia pada 2021, yang dikutip oleh CNBC, bahwa sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru.

Kompas, dalam laporannya pada 28 Desember 2024, mengungkap tragedi seorang aparatur sipil negara (ASN) di Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. 

ASN berinisial FS (41) ditemukan tewas gantung diri di kamar rumahnya di Desa Semen, Kecamatan Paron, pada Selasa (24/12/2024). Diduga, FS nekat mengakhiri hidupnya akibat terlilit pinjaman online senilai puluhan juta rupiah.

Dua minggu sebelumnya, Kompas juga melaporkan tragedi di Ciputat, di mana satu keluarga tewas yang diduga terkait utang pinjol.

Tidak terbayang bagaimana kondisi tahun 2025 nanti ketika harga-harga serentak naik, terutama dengan gembar-gembor kenaikan PPN menjadi 12%. Bukankah ini bisa menjadi pemantik kenaikan harga barang secara keseluruhan dan pinjol semakin merajalela?

Kisah-kisah tragis korban pinjol sebenarnya bukan hal baru. Tahun-tahun sebelumnya, banyak cerita serupa yang dilaporkan.

Bahkan di lingkungan terdekat, tetangga-tetangga di kompleks tempat kami tinggal banyak yang terlilit pinjol dan berakhir tragis. 

Ada yang meninggal akibat tekanan mental. Ada pula yang bercerai karena rumah tangga terus dirundung konflik akibat gagal bayar. Tak sedikit pula yang kehilangan harta benda karena semuanya habis terjual untuk membayar angsuran.

Situasi ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun yang penuh carut-marut bagi perekonomian rumah tangga akibat berbagai kenaikan harga.

Literasi keuangan menjadi salah satu solusi yang perlu diprioritaskan pemerintah untuk mengantisipasi budaya pinjam-meminjam melalui pinjol yang marak terjadi.

Hal ini sangat penting, karena pinjol hadir di mana-mana dengan tawaran yang sangat menggoda, kemudahan dan kecepatan mendapatkan pinjaman.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tampaknya belum memahami konsekuensi besar di balik setiap pinjaman. 

Ketidaktahuan inilah yang sering kali memicu gagal bayar, yang akhirnya berujung tragis, hingga nyawa melayang karena bunuh diri akibat tak sanggup menghadapi intimidasi dari pihak pinjol.

Jika tidak ada langkah antisipatif, sangat mungkin di tahun 2025 akan semakin banyak nyawa melayang sia-sia hanya karena gagal bayar pinjol.

Lagi-lagi FOMO

Seberapa kuat kita bisa menahan diri agar tidak terjebak FOMO? Kalau dulu, sebelum internet merasuk ke setiap jengkal kehidupan, semua terasa lebih mudah.

Namun sekarang keadaannya sangat berbeda. Setiap kali kita berselancar di dunia maya, berbagai iklan barang menarik selalu berseliweran di hadapan kita.

Media sosial, yang kini menjadi tempat kita berkumpul dan berbagi cerita, justru berubah menjadi sarang bagi FOMO. Yakin kita tidak akan tergoda sedikit pun dengan berbagai tren belanja yang ada?

Gaji memang masih begitu-begitu saja, tapi tren diskon belanja semakin inovatif dalam menjerat kita. Saya pun demikian. Baru beberapa menit scrolling media sosial, tahu-tahu sudah menumpuk barang di keranjang belanja.

Coba bayangkan, belanja kini tidak lagi seribet dulu yang membutuhkan niat dan usaha besar. Sekarang, hanya dengan rebahan, rasanya seperti pasar ada di depan mata. Berbagai etalase barang siap kita pilih tanpa perlu keluar rumah.

Bahkan jika kita tidak berniat berbelanja sekalipun, berbagai penawaran menarik sering kali melintas begitu saja saat kita asyik menjelajah media sosial.

Bagaimana kita bisa bertahan untuk tidak FOMO, sementara setiap hari algoritma media sosial otomatis menampilkan barang-barang yang seolah menjawab kebutuhan kita?

Ya, lagi-lagi FOMO. Lagi-lagi FOMO, dan sepertinya ini tidak akan pernah habis. Apalagi sekarang media sosial, e-commerce, dan pay later sudah saling terafiliasi. Kombinasi ini sangat sulit untuk ditolak.

Ditambah dengan lingkungan yang semakin konsumtif dan senang berbelanja, kita terus-menerus terjebak dalam lingkaran FOMO tanpa henti dan, yang lebih ironis, sering kali tanpa merasa bersalah.

Stop Beli yang Gak Penting!

Akhirnya, semua kembali lagi kepada kita. Seberapa pintar kita dalam mengelola keuangan akan menjadi kunci utama untuk menghadapi tahun 2025. Banyak kejutan dan tren baru yang mungkin terlihat sangat menarik menanti di depan mata.

Tidak bijak jika kita terus-menerus menyalahkan keadaan. Yang terbaik adalah bagaimana kita mampu beradaptasi dan bertahan di tahun-tahun sulit yang akan datang.

Belanja memang tidak akan pernah ada puasnya, itu sudah sifat dasar kita sebagai manusia. Sudah punya satu, ingin dua. Sudah beli ini, ingin itu. Sudah punya itu, ingin membeli yang lain. Begitu seterusnya, tanpa ujung.

Kemudahan berbelanja yang semakin tak terbendung, ditambah derasnya arus tren yang terlihat “sayang untuk dilewatkan,” membuat menahan diri menjadi tantangan berat.

Kesadaran kolektif tentang literasi keuangan yang sehat harus mulai ditanamkan. Masyarakat perlu memahami bagaimana mempersiapkan diri secara finansial untuk menghadapi fenomena 2025 dengan bijak.

Karena sejatinya, kesadaran sebuah bangsa berawal dari kesadaran masyarakatnya. Jika perekonomian masyarakat bobrok dan morat-marit akibat berbagai tantangan di tahun 2025, ini bisa menjadi ancaman besar bagi stabilitas ekonomi bangsa.

Ketidakstabilan ekonomi juga bisa menjadi pemicu berbagai masalah lain yang mungkin muncul di masa depan.

Jadi, mari kita bijak dalam berbelanja. Belanjakan uang hanya untuk hal-hal yang benar-benar perlu. Jangan terus-menerus terjebak FOMO, jangan beli-beli yang nggak penting ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun