Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Senova

16 November 2024   05:51 Diperbarui: 17 November 2024   15:35 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kompas.id

Senova memelukku erat. Pelukan itu terasa seperti isyarat, seolah ia tahu ini adalah akhir. Aku tak henti-hentinya mengucap maaf, kata-kata yang terburu-buru di antara nafas kami yang tersisa. Tapi apa arti maaf ketika segalanya sudah terjadi? Ketika darah mengalir, menyusuri tubuh gadis itu, merenggut hidupnya?

Semua berawal dari dorongan kecil, yang tak kusadari begitu kuat hingga membuat kepala Senova terantuk sudut lemari kaca.

Pyarr! Kaca pecah, serpihannya menembus nadi di lehernya. Aku terdiam, membeku, lalu menghambur memeluk tubuhnya yang mulai dingin.

Nafas itu terhenti. Senova mati dalam pelukanku.

Waktu berhenti sejenak, dan aku berusaha memutar ulang semuanya. Aku mencoba mengingat kembali, memutar waktu ke saat-saat pertama kami bertemu.

Waktu itu terasa begitu sederhana. Kami hanya dua manusia yang kebetulan bertemu di lorong-lorong sekolah, dua dunia yang tidak saling berhubungan. 

Senova adalah muridku. Aku adalah gurunya. Kami sering bertemu, berbicara tentang pelajaran, tentang tugas-tugas sekolah yang tak pernah ada habisnya. Tak ada yang istimewa. Hanya interaksi biasa antara seorang guru dan murid.

Namun, setelah kejadian itu, bola futsal yang mengarah tak sengaja ke wajah Senova, memecahkan kacamatanya, hubungan kami mulai berubah.

Kekuatan dari setiap pesan yang kukirimkan, setiap kata yang kuucapkan, perlahan mengubah segala yang biasa menjadi luar biasa. 

Aku mulai merasa lebih dari sekadar seorang guru. Dia pun bukan hanya seorang murid. Kami mulai menatap dunia dengan cara yang berbeda. Dan aku, entah kenapa, mulai lupa siapa aku sebenarnya.

"Kamu nggak papa, Sen?"

"Gak papa, Pak," jawabnya singkat.

Aku hanya ingin memastikan, karena Zaki, temanku, menendang bola futsal yang tak sengaja menghantam wajahnya, memecahkan kacamatanya.

Tapi dari percakapan itu, benih-benih kedekatan mulai tumbuh. Awalnya, aku hanya merasa kasihan. Lama-lama, kasihan itu berubah menjadi ketertarikan.

Kami semakin sering berbicara. Lewat pesan singkat, lewat pertemuan-pertemuan kecil yang sering kali tak direncanakan. Senova, gadis ceria dengan suara riangnya, mengisi kekosongan dalam hidupku.

Istriku, Anggit, adalah sosok sempurna. Bidadari dengan segala atribut yang diinginkan pria. Tapi sempurna itu lambat laun menjadi monoton. Di tengah rutinitas kami, hadirnya Senova bagaikan warna baru.

Dia menawarkan kebahagiaan yang berbeda. Dengan segala kerentanannya, dia menggambarkan rindu pada figur seorang ayah.

Dan aku? Aku tergelincir, melupakan batasan antara guru dan murid, suami dan pria yang seharusnya setia.

Hubungan kami berkembang dalam diam. Hingga akhirnya, kami menikah secara siri, dengan restu semu dari ayahnya yang lebih peduli pada "kompensasi" daripada masa depan anaknya.

Aku berjanji akan memberi Senova tempat yang layak di hidupku setelah dia lulus. Sebuah kebohongan yang kupertahankan demi menunda kebenaran dari Anggit.

Malam itu, hujan deras. Pertengkaran kami memuncak.

"Pak, sampai kapan saya harus seperti ini? Jadi bayangan di belakang hidup Bapak?" serunya sambil memeluk ijazahnya.

Aku hanya diam. Ponselku bergetar, pesan dari Anggit terus masuk, membicarakan persiapan acara keluarga besok.

Aku tak bisa memutuskan apa pun. Senova marah, merampas ponsel itu dari tanganku.

"Saya akan kirim semua foto dan video kita, biar semua tahu! Saya capek!"

Kemarahan itu membuncah. Aku mencoba merebut kembali ponsel itu, tetapi tanganku terlalu kasar, terlalu kuat.

Dalam sekejap, tubuh Senova terdorong, menghantam lemari kaca.

Aku hanya bisa menatap saat darah mengalir deras dari lehernya. Tanganku gemetar, mulutku kelu. Aku tak mampu melakukan apa pun. Dalam diam, hidup Senova pergi, meninggalkan pelukan terakhirnya untukku.

Kini, aku terduduk di sudut ruangan, mendengar suara langkah-langkah warga yang bergegas datang setelah mendengar keributan.

Aku hanya bisa menatap ponsel yang tergeletak di lantai, layar yang masih menyala menampilkan foto Senova yang tersenyum.

Di ujung sana, sebuah rumah berdiri megah di tengah taman yang penuh bunga warna-warni. Aku dan Senova duduk bersanding di pelatarannya.

Dia mengenakan gaun putih sederhana, angin sore yang lembut memainkan helaian rambutnya, senyumnya begitu meneduhkan, menghapus sejenak rasa bersalah yang menghantuiku selama ini.

Kami berbincang ringan, tertawa, seolah semua dosa dan luka di masa lalu tak pernah ada.

"Akhirnya kita di sini, Pak," katanya dengan suara lembut. Matanya menatapku penuh cinta, dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman getir. Ada sesuatu yang terasa ganjil, tapi aku menolak menyadarinya.

Anak-anak kecil mulai berdatangan, berdiri di kejauhan sambil menunjuk ke arah kami. Wajah mereka penuh ekspresi ingin tahu, tetapi juga ada sesuatu yang aneh di mata mereka.

Aku geram. Mengapa mereka mengganggu momen kami yang tenang? Aku mengambil beberapa batu dan melempar balik ke arah mereka, tapi mereka terus tertawa. "Pergi! Jangan ganggu kami!" teriakku dengan amarah yang membuncah.

Namun, sesuatu yang dingin dan samar merayap ke pikiranku. Aku menoleh ke arah Senova. Dia tetap tersenyum, tapi senyumnya kini terasa asing, seperti bayangan yang buram.

Suaranya tak lagi terdengar. Saat aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, dia memudar perlahan, menyatu dengan angin.

Aku memandang sekeliling. Rumah indah itu menghilang, bunga-bunga layu menjadi rerumputan liar, dan anak-anak kecil itu masih menatapku dengan tatapan aneh dari seberang jalan.

Tawa mereka berubah menjadi jeritan. Aku menatap tanganku yang penuh debu dan mengering. Di sisiku, tak ada Senova. Hanya lembaran-lembaran koran basah yang kusimpan entah sejak kapan.

"Orang gila! Orang gila!" teriakan itu menggema di kepala, membuatku tersadar bahwa aku hanya duduk di pelataran rumah tua yang penuh dengan reruntuhan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun