Aku hanya diam. Ponselku bergetar, pesan dari Anggit terus masuk, membicarakan persiapan acara keluarga besok.
Aku tak bisa memutuskan apa pun. Senova marah, merampas ponsel itu dari tanganku.
"Saya akan kirim semua foto dan video kita, biar semua tahu! Saya capek!"
Kemarahan itu membuncah. Aku mencoba merebut kembali ponsel itu, tetapi tanganku terlalu kasar, terlalu kuat.
Dalam sekejap, tubuh Senova terdorong, menghantam lemari kaca.
Aku hanya bisa menatap saat darah mengalir deras dari lehernya. Tanganku gemetar, mulutku kelu. Aku tak mampu melakukan apa pun. Dalam diam, hidup Senova pergi, meninggalkan pelukan terakhirnya untukku.
Kini, aku terduduk di sudut ruangan, mendengar suara langkah-langkah warga yang bergegas datang setelah mendengar keributan.
Aku hanya bisa menatap ponsel yang tergeletak di lantai, layar yang masih menyala menampilkan foto Senova yang tersenyum.
Di ujung sana, sebuah rumah berdiri megah di tengah taman yang penuh bunga warna-warni. Aku dan Senova duduk bersanding di pelatarannya.
Dia mengenakan gaun putih sederhana, angin sore yang lembut memainkan helaian rambutnya, senyumnya begitu meneduhkan, menghapus sejenak rasa bersalah yang menghantuiku selama ini.
Kami berbincang ringan, tertawa, seolah semua dosa dan luka di masa lalu tak pernah ada.