"Gak papa, Pak," jawabnya singkat.
Aku hanya ingin memastikan, karena Zaki, temanku, menendang bola futsal yang tak sengaja menghantam wajahnya, memecahkan kacamatanya.
Tapi dari percakapan itu, benih-benih kedekatan mulai tumbuh. Awalnya, aku hanya merasa kasihan. Lama-lama, kasihan itu berubah menjadi ketertarikan.
Kami semakin sering berbicara. Lewat pesan singkat, lewat pertemuan-pertemuan kecil yang sering kali tak direncanakan. Senova, gadis ceria dengan suara riangnya, mengisi kekosongan dalam hidupku.
Istriku, Anggit, adalah sosok sempurna. Bidadari dengan segala atribut yang diinginkan pria. Tapi sempurna itu lambat laun menjadi monoton. Di tengah rutinitas kami, hadirnya Senova bagaikan warna baru.
Dia menawarkan kebahagiaan yang berbeda. Dengan segala kerentanannya, dia menggambarkan rindu pada figur seorang ayah.
Dan aku? Aku tergelincir, melupakan batasan antara guru dan murid, suami dan pria yang seharusnya setia.
Hubungan kami berkembang dalam diam. Hingga akhirnya, kami menikah secara siri, dengan restu semu dari ayahnya yang lebih peduli pada "kompensasi" daripada masa depan anaknya.
Aku berjanji akan memberi Senova tempat yang layak di hidupku setelah dia lulus. Sebuah kebohongan yang kupertahankan demi menunda kebenaran dari Anggit.
Malam itu, hujan deras. Pertengkaran kami memuncak.
"Pak, sampai kapan saya harus seperti ini? Jadi bayangan di belakang hidup Bapak?" serunya sambil memeluk ijazahnya.