"Akhirnya kita di sini, Pak," katanya dengan suara lembut. Matanya menatapku penuh cinta, dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman getir. Ada sesuatu yang terasa ganjil, tapi aku menolak menyadarinya.
Anak-anak kecil mulai berdatangan, berdiri di kejauhan sambil menunjuk ke arah kami. Wajah mereka penuh ekspresi ingin tahu, tetapi juga ada sesuatu yang aneh di mata mereka.
Aku geram. Mengapa mereka mengganggu momen kami yang tenang? Aku mengambil beberapa batu dan melempar balik ke arah mereka, tapi mereka terus tertawa. "Pergi! Jangan ganggu kami!" teriakku dengan amarah yang membuncah.
Namun, sesuatu yang dingin dan samar merayap ke pikiranku. Aku menoleh ke arah Senova. Dia tetap tersenyum, tapi senyumnya kini terasa asing, seperti bayangan yang buram.
Suaranya tak lagi terdengar. Saat aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, dia memudar perlahan, menyatu dengan angin.
Aku memandang sekeliling. Rumah indah itu menghilang, bunga-bunga layu menjadi rerumputan liar, dan anak-anak kecil itu masih menatapku dengan tatapan aneh dari seberang jalan.
Tawa mereka berubah menjadi jeritan. Aku menatap tanganku yang penuh debu dan mengering. Di sisiku, tak ada Senova. Hanya lembaran-lembaran koran basah yang kusimpan entah sejak kapan.
"Orang gila! Orang gila!" teriakan itu menggema di kepala, membuatku tersadar bahwa aku hanya duduk di pelataran rumah tua yang penuh dengan reruntuhan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H