Bahasa Indonesia tidak diragukan keberadaannya sebagai bahasa resmi yang digunakan di seluruh nusantara. Namun, berbeda dengan bahasa daerah, yang kian pudar dalam hiruk-pikuk bahasa global yang lebih dominan.Â
Dulu, saat saya menempuh pendidikan di tingkat SD, SMP, hingga SMA, bahkan di bangku kuliah, bahasa daerah masih sering terdengar dalam percakapan sehari-hari.Â
Teman-teman saya dengan bangga menggunakan bahasa ibu mereka sebagai sarana komunikasi. Kini, kenyataannya berbeda jauh. Bahasa daerah kian jarang terdengar, anak-anak hampir tidak pernah lagi bercakap dalam bahasa ibu mereka.Â
Fenomena ini tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga mencerminkan perubahan sosial yang signifikan. Fakta ini sejalan dengan rilis UNESCO pada 21 Februari 2019 yang menyebutkan bahwa sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah, termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia.Â
Itu lima tahun lalu, bisa dibayangkan seberapa jauh pudarnya bahasa daerah saat ini, jika tidak ada upaya konkrit untuk melestarikannya.
Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa daerah adalah bagian integral dari identitas budaya kita. Ketika bahasa-bahasa ini menghilang, kita kehilangan bukan hanya kosakata, tetapi juga nilai-nilai, cerita, dan tradisi yang terkandung di dalamnya.Â
Maka, sudah saatnya kita bersama-sama berkomitmen untuk memperjuangkan kelestarian bahasa daerah agar warisan budaya yang kaya ini tidak sirna ditelan waktu.
Peran Besar Sekolah dalam Pelestarian Bahasa Daerah
Pendidikan sekali lagi menjadi ujung tombak dalam mengatasi berbagai masalah dalam peradaban, termasuk upaya menjaga kelestarian bahasa daerah.Â
Sekolah merupakan tempat yang paling strategis untuk menggiatkan penggunaan bahasa daerah agar tidak punah. Dengan alokasi ruang dan waktu yang ada, sekolah dapat berfungsi sebagai wadah pelestarian bahasa daerah.Â
Bayangkan, dalam satu hari, terdapat 10 jam pembelajaran dari Senin hingga Jumat. Mengapa tidak memanfaatkan waktu tersebut dengan bijak?