Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menurunkan motivasi siswa untuk berprestasi. Proses pembagian rapor yang dulunya menjadi momen yang ditunggu-tunggu, kini kehilangan maknanya.Â
Tidak ada lagi semangat kompetisi yang sehat, yang seharusnya menjadi pendorong bagi siswa untuk terus belajar dan berkembang.
Dalam konteks ini, peringkat bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi perlu diposisikan sebagai alat yang dapat memotivasi siswa secara positif.Â
Pendidikan harus mampu menciptakan ekosistem di mana siswa terdorong untuk menjadi yang terbaik, namun dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan inklusi.Â
Penghapusan peringkat tanpa solusi pengganti yang konkret hanya menimbulkan kekosongan dalam proses evaluasi siswa, membuat mereka kehilangan acuan yang jelas untuk mengukur kemajuan diri.
Harapan besar diarahkan pada pemerintahan Prabowo-Gibran untuk melakukan refleksi mendalam terhadap kebijakan ini. Peringkat kelas tidak seharusnya dianggap tabu dalam pendidikan, melainkan perlu dikelola dengan bijak.Â
Dengan revisi kebijakan yang tepat, sistem pendidikan dapat lebih mendukung siswa dalam mengembangkan potensi mereka secara optimal, tanpa mengorbankan esensi kompetisi yang sehat dan adil.
Rekrutmen Pegawai Sekolah Tepat Sasaran
Sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai institusi yang membutuhkan manajemen yang profesional dan efisien.Â
Ironisnya, rekrutmen pegawai sekolah sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang tepat. Akibatnya, banyak guru yang harus menjalankan tugas ganda sebagai bendahara atau menangani administrasi sekolah—bidang yang sebenarnya berada di luar kompetensi mereka sebagai pendidik.
Praktik ini menciptakan ketimpangan dalam manajemen sekolah. Guru yang seharusnya fokus pada tugas inti mengajar, justru harus terbagi perhatiannya pada urusan administratif dan keuangan. Dampaknya sangat nyata: beban kerja bertambah, kinerja mengajar terganggu, dan kualitas pendidikan menurun.