Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PR dari Sekolah untuk Prabowo Gibran

22 Oktober 2024   20:24 Diperbarui: 23 Oktober 2024   12:50 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: KOMPAS/HERYUNANTO 

Pendidikan di Indonesia memasuki babak baru dengan dilantiknya pemerintahan Prabowo-Gibran. Tersemat harapan akan perbaikan pendidikan.

Sebagai ujung tombak dari masa depan bangsa, sekolah-sekolah menghadapi masalah-masalah fundamental yang belum terselesaikan. 

Dari krisis pendanaan hingga kompleksitas administrasi, dunia pendidikan masih berkutat pada persoalan mendasar yang justru menghalangi tercapainya kualitas yang kita dambakan.

Sebagai guru yang telah mengajar sejak 2009, saya melihat dengan jelas kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan. 

Di ruang kelas, tantangan yang dihadapi siswa dan guru kian rumit, namun kebijakan pendidikan sering kali tak memadai untuk menjawab tantangan tersebut. 

Pemerintah di tingkat pusat acap kali merumuskan kebijakan tanpa menyentuh akar persoalan, sementara di sekolah, kami harus berjuang di tengah keterbatasan sumber daya dan dukungan.

Pemerintahan Prabowo-Gibran kini dihadapkan pada tugas berat untuk mengurai benang kusut sistem pendidikan kita. Dari pengalaman saya di lapangan, ada beberapa isu mendesak yang perlu segera diselesaikan agar sekolah-sekolah kita bisa menjadi tempat yang benar-benar memanusiakan siswa dan mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang kian kompleks. 

Isu-isu ini bukan hanya soal kebijakan di atas kertas, melainkan persoalan nyata yang kami hadapi setiap hari di ruang-ruang kelas, dan dampaknya akan terasa dalam jangka panjang.

Jer Basuki Mawa Beya

Di tingkat SMA dan SMK, masalah pendanaan sekolah telah menjadi isu berulang yang terus menghantui. Banyak orangtua dan lembaga mengupayakan agar seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh sekolah, merujuk pada peraturan lama yang menyatakan bahwa sumbangan dari orang tua bersifat sukarela dan tidak wajib. 

Namun, hal ini justru membuat sekolah terjebak dalam situasi sulit. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), meskipun sangat membantu, jelas tidak mencukupi untuk menutupi keseluruhan biaya operasional sekolah. 

Sekolah-sekolah sering kali harus mengatur siasat untuk menambal kekurangan dana ini, yang akhirnya mengorbankan kualitas pendidikan itu sendiri.

Mekanisme pendanaan pendidikan harus menjadi sorotan utama bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Harus ada evaluasi yang menyeluruh, termasuk mempertimbangkan pengembalian Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) seperti yang pernah diterapkan sebelumnya. 

Pendidikan, tanpa diragukan lagi, membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh pihak, bukan hanya pemerintah. Seperti yang diungkapkan dalam pepatah Jawa, "Jer basuki mawa beya", segala bentuk keberhasilan dan cita-cita memerlukan pengorbanan. 

Dalam konteks pendidikan, pengorbanan ini tidak hanya terbatas pada pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi orang tua sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

Orangtua yang mampu seharusnya berperan lebih aktif, tidak lagi menganggap kontribusi mereka sebagai sumbangan sukarela, melainkan sebagai investasi wajib demi masa depan anak-anak mereka. 

Tentunya, sistem ini harus dirancang dengan prinsip keadilan, di mana siswa dari keluarga kurang mampu tetap mendapatkan keringanan. 

Asas gotong royong harus menjadi landasan, di mana seluruh komponen masyarakat berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing, dengan tujuan akhir memajukan kualitas pendidikan nasional.

Sekolah sebagai Tempat Belajar

Sekolah harus menjadi tempat yang murni untuk kegiatan belajar mengajar, namun kenyataannya, banyak sekolah terbebani dengan tugas-tugas yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab mereka. 

Bantuan yang diberikan oleh pemerintah, seperti dana untuk pembangunan sarana prasarana, sering kali harus dikelola secara mandiri oleh sekolah. 

Ironisnya, sekolah yang berfungsi untuk mendidik generasi muda justru dibebani dengan tanggung jawab administratif yang rumit dan jauh dari kompetensi mereka. 

Situasi ini memunculkan berbagai risiko maladministrasi, serta praktik korupsi dalam bentuk penyunatan dana, karena terlalu panjangnya rantai birokrasi dalam distribusi bantuan.

Tanggung jawab tambahan ini juga kerap menjadi sumber tekanan bagi para kepala sekolah, yang bukan ahli konstruksi atau administrasi keuangan. 

Bayangkan, seorang kepala sekolah dengan latar belakang pendidikan harus mengelola anggaran miliaran rupiah untuk proyek pembangunan yang seharusnya ditangani oleh tenaga profesional. 

Akibatnya, fokus utama untuk mendidik siswa menjadi terabaikan, dan ini tentu berdampak langsung pada kualitas pendidikan.

Ke depan, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih efisien dalam mengelola proyek infrastruktur pendidikan. 

Salah satu opsi adalah menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum untuk menangani seluruh proyek pembangunan sekolah. 

Kolaborasi antar kementerian ini akan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik dan sesuai standar, tanpa membebani sekolah dengan tanggung jawab yang di luar kompetensinya. Dengan demikian, guru dan kepala sekolah dapat kembali fokus pada tugas utama mereka, mendidik dan memastikan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan efektif.

Pemeringkatan Kelas

Salah satu kebijakan pendidikan yang memicu perdebatan adalah penghapusan pemeringkatan kelas. Kebijakan ini menimbulkan banyak pertanyaan mendasar, mengapa peringkat dianggap buruk dalam pendidikan? 

Dalam berbagai aspek kehidupan, hierarki dan pemeringkatan merupakan bagian yang wajar dan bahkan diperlukan. Dalam agama, ada konsep pemeringkatan iman dan takwa; dalam ekonomi, orang dikelompokkan berdasarkan tingkat kekayaan, dan hal ini diterima sebagai kenyataan yang tidak terhindarkan.

Namun, di ranah pendidikan, justru pemeringkatan dianggap seolah mencederai keadilan dan perkembangan siswa. Penghapusan peringkat kelas seharusnya dikaji ulang. 

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menurunkan motivasi siswa untuk berprestasi. Proses pembagian rapor yang dulunya menjadi momen yang ditunggu-tunggu, kini kehilangan maknanya. 

Tidak ada lagi semangat kompetisi yang sehat, yang seharusnya menjadi pendorong bagi siswa untuk terus belajar dan berkembang.

Dalam konteks ini, peringkat bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi perlu diposisikan sebagai alat yang dapat memotivasi siswa secara positif. 

Pendidikan harus mampu menciptakan ekosistem di mana siswa terdorong untuk menjadi yang terbaik, namun dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan inklusi. 

Penghapusan peringkat tanpa solusi pengganti yang konkret hanya menimbulkan kekosongan dalam proses evaluasi siswa, membuat mereka kehilangan acuan yang jelas untuk mengukur kemajuan diri.

Harapan besar diarahkan pada pemerintahan Prabowo-Gibran untuk melakukan refleksi mendalam terhadap kebijakan ini. Peringkat kelas tidak seharusnya dianggap tabu dalam pendidikan, melainkan perlu dikelola dengan bijak. 

Dengan revisi kebijakan yang tepat, sistem pendidikan dapat lebih mendukung siswa dalam mengembangkan potensi mereka secara optimal, tanpa mengorbankan esensi kompetisi yang sehat dan adil.

Rekrutmen Pegawai Sekolah Tepat Sasaran

Sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai institusi yang membutuhkan manajemen yang profesional dan efisien. 

Ironisnya, rekrutmen pegawai sekolah sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang tepat. Akibatnya, banyak guru yang harus menjalankan tugas ganda sebagai bendahara atau menangani administrasi sekolah—bidang yang sebenarnya berada di luar kompetensi mereka sebagai pendidik.

Praktik ini menciptakan ketimpangan dalam manajemen sekolah. Guru yang seharusnya fokus pada tugas inti mengajar, justru harus terbagi perhatiannya pada urusan administratif dan keuangan. Dampaknya sangat nyata: beban kerja bertambah, kinerja mengajar terganggu, dan kualitas pendidikan menurun.

Oleh karena itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran perlu memprioritaskan perbaikan sistem rekrutmen di sekolah-sekolah. 

Setiap posisi harus diisi oleh tenaga profesional yang kompeten di bidangnya. Pengelolaan keuangan sekolah, misalnya, harus dikelola oleh pegawai dengan latar belakang akuntansi atau manajemen keuangan, sedangkan tugas administrasi sebaiknya ditangani oleh staf administrasi yang terlatih. 

Dengan manajemen yang profesional, sekolah dapat berfungsi lebih efektif sebagai tempat belajar dan mengajar, tanpa dibebani oleh masalah pengelolaan internal yang seharusnya dapat dihindari.

Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi manajemen sekolah, tetapi juga mengembalikan fokus guru pada tugas utama mereka—mendidik generasi penerus bangsa. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap aspek manajemen pendidikan berjalan dengan profesionalisme tinggi, sehingga mutu pendidikan dapat ditingkatkan secara menyeluruh.

Menjaga Fokus pada Pendidikan

Kesejahteraan guru adalah salah satu elemen kunci dalam menciptakan pendidikan berkualitas. Jika para guru dibebani dengan pekerjaan sampingan atau terlilit utang, bagaimana mereka bisa fokus menjalankan tugas utama mendidik? 

Seperti yang pernah dikatakan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.” Namun, senjata ini tak akan efektif jika para guru tidak diberdayakan secara layak.

Guru seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencetak generasi masa depan, tetapi sering kali mereka tidak diperlengkapi dengan kesejahteraan yang memadai. 

Pemerintah, jika benar-benar ingin memperbaiki mutu pendidikan, harus memprioritaskan kesejahteraan para pengajar. Ini bukan hanya soal kenaikan gaji, tetapi juga tentang menciptakan kondisi kerja yang mendukung, termasuk jaminan sosial, akses pelatihan, serta kesempatan pengembangan diri.

Peningkatan kesejahteraan ini penting agar para guru bisa berfokus sepenuhnya pada tugas mulia mereka, mendidik dan membentuk karakter siswa. 

Dengan demikian, kita tak hanya memperkuat fondasi sistem pendidikan, tetapi juga mempersiapkan generasi penerus yang siap bersaing di tingkat global dan menghadapi berbagai tantangan masa depan.

Wasana Kata

Demikianlah sederet pekerjaan rumah yang menanti pemerintahan Prabowo-Gibran dalam dunia pendidikan (sekolah). Pendidikan bukanlah sekadar isu sekunder yang dapat ditunda, tetapi merupakan fondasi utama dalam pembangunan bangsa. 

Keberhasilan pendidikan akan menentukan masa depan generasi penerus dan arah kemajuan Indonesia. Dengan mendengarkan dan merespons suara dari sekolah-sekolah, pemerintah dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, lebih inklusif, dan berkeadilan, yang benar-benar mampu memanusiakan manusia serta memajukan peradaban Indonesia.

Pemerintah perlu melibatkan semua pihak dalam proses pembaruan pendidikan, baik guru, kepala sekolah, maupun masyarakat. 

Melalui gotong royong inilah, kita bisa membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki daya saing global dan integritas moral yang kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun