Gaji dan kebutuhan seperti skor pertandingan, saling berlomba, saling melampaui satu sama lain. Jadi, gajian bulan ini ya hanya cukup untuk bulan ini saja.
Waduh, kalau begini, bagaimana mungkin bisa menabung? Rasanya ngap-ngapan lo mengejar keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran setiap bulan.
Terjebak Dalam Berbagai Kebutuhan
Yah, sepertinya sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa gaji selalu mengiringi kebutuhan. Dulu, saat masih memiliki gaji pas-pasan (belum tetap), rasanya cukup-cukup saja. Tetapi ketika gaji naik sedikit, tiba-tiba kebutuhan juga ikut bertambah.Â
Memang, ini memang agak merepotkan. Gaji naik, tapi kebutuhan juga ikut naik. Rasanya kita selalu harus menyesuaikan diri.
Dulu, saat belum memiliki pendapatan tetap, sulit untuk membayangkan bisa memenuhi berbagai kebutuhan seperti langganan internet, pulsa pra bayar, Netflix, video, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sekarang, ketika kami berdua memiliki pendapatan tetap, selera juga menjadi lebih bervariasi.
Dulu, bahkan memikirkan untuk kuliah atau membeli motor saja terasa sulit. Membeli mobil? Hanya bisa memimpikan. Namun sekarang, seolah-olah semuanya menjadi kebutuhan.
Kita butuh internet, butuh mobil, butuh pulsa prabayar, butuh tayangan hiburan, dan butuh pendidikan lanjutan. Padahal, kenaikan gaji tidak begitu signifikan.
Akhirnya, dengan gaji skala menengah ke bawah, rasanya seperti skor kacamata, kosong kosong, pendapatan dikurangi kebutuhan sama dengan kosong alias gak ada yang bisa ditabung.Â
Namun, Alhamdulillah, kita patut bersyukur bahwa gaji tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder.
Biaya Pendidikan Juga mahal
Memang kita memilih untuk menyekolahkan anak-anak di sekolah yang berbasis keagamaan, namun tentu saja ini berarti biaya yang harus dikeluarkan cukup tinggi. Meskipun begitu, saya melihat ini sebagai investasi untuk masa depan mereka, walau harus merogoh kocek yang cukup dalam.
Saya dan istri sama-sama merupakan guru, dan tentu saja kita tidak akan sembarangan dalam memilih pendidikan untuk anak-anak. 'Ono Rupo Ono Rego', begitulah jargon yang sering digunakan oleh orang Jawa, yang artinya ada harga ada kualitas.