Penyelamatan LahanÂ
Perkembangan perkotaan yang menggerus lahan pertanian mengancam ketersediaan pangan di masa depan.Â
Setiap hari, saat saya melintas melewati perjalanan ke sekolah atau mengantar jemput anak-anak, pemandangan hijau sawah yang melingkupi jalan selalu menarik perhatian saya.Â
Namun, saya tidak bisa menahan perasaan sedih karena menyadari bahwa dalam beberapa dekade ke depan, mungkin pemandangan indah itu akan sirna.
Dari tahun 2011 hingga 2023, saya melihat luas sawah hijau semakin menyusut. Bagi yang pernah tinggal di Kota Metro, Provinsi Lampung, terutama pada era 1990-an hingga awal 2000-an, pasti mengenal jalan Tawes yang dulu dikelilingi oleh sawah hijau.Â
Namun, saat ini, bangunan-bangunan tinggi telah menggantikan kehijauan itu. Bahkan, tempat-tempat yang dulu merupakan sawah kini telah menjadi kantor-kantor dan perumahan.
Saat mengantar anak-anak, pertanyaan sederhana dari anak perempuan saya membuat saya terdiam.Â
"Yah, kalau semuanya jadi rumah, kita nanti makan apa?" kekhawatiran anak saya itu sungguh menggugah.Â
Ini bukanlah khayalan semata. Dalam penelusuran, saya menemukan sebuah jurnal yang memperkirakan Kota Metro akan mengalami defisit beras pada tahun 2031. Hal ini disebabkan oleh menyusutnya lahan pertanian yang bertolak belakang dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Pertumbuhan pemukiman adalah suatu keharusan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Namun, tidak boleh terjadi pergeseran lahan pertanian yang menjadi sumber utama pangan.Â
Saya sangat mengkhawatirkan dampaknya jika masalah ini tidak segera ditangani. Lahan pertanian akan semakin tergerus, dan tidak akan ada solusi yang cukup jika kita kehilangan lahan untuk menanam apapun jenis bahan pangan, baik itu beras maupun alternatifnya.
Maka dari itu, langkah-langkah konkret dan kebijakan yang mendukung pertanian berkelanjutan harus segera diambil. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara perkembangan perkotaan dan keberlanjutan lingkungan.Â