Kubuka bajuku, kutanggalkan celanaku, hingga bagian terdalam dari yang tak terlihat menggelantung sama seperti saat aku masih anak-anak. Â Â Â Namun, kali ini sedikit terhormat, lewat usia yang bertambah aku sudah mandi sendiri, berdiri sendiri, bangun sendiri, berdiri di kaki sendiri. Semua berkat disiplin Ibu yang selalu marah di kala aku hidup tak beres, kotor, berdaki, bau, bahkan pernah tak mandi seminggu dua minggu lebih saat Ibu pergi.
Kubasuh semua tubuh dewasaku dari ujung rambut hingga ujung kuku. Mataku masih berat untuk mengiyakan apa katamu. Pagi, Kamis ini aku harus pergi ke sebuah ruang penuh kursi, dengan satu meja khusus berada di depan, kursi-kursi berisi komputer di susun sedemikian rupa agar terlihat rapih oleh mata memandang, di atas bagian depan berdempetan dengan dinding tebal, ada sebuah kanvas putih lebar mengaum-ngaum mengingatkan aku akan pesan berisi perkataan kesepakatan mendadak bersamamu pagi tadi. Ingin kulahap kanvas iyu kalau tadinya berwarna coklat sedap, sayang tak dapat kulahap. Mataku dipaksa untuk fokus ke kanvas putih yang menampilkan berbagai macam kata dan huruf matematika, mau tak mau aku harus patuh agar aku mengerti bagaimana nanti bertahan menghadapi inti dari permasalahan, sebelum api kembali padam. Rasa kantukku mulai menghilang, perlahan aku tak mengingat kata-katamu pagi tadi, kupikir itu hanya sebuah candaan. Karna tlah kujelaskan, bukan? Aku memiliki jeda waktu antar kelas yang sangat singkat. Aku takut, aku tak dapat menahan gejolak relativitas milik Mbah kita, Einsten, sebentar bersama gadis ayu adalah hal yang mematikan, berlawanan dengan kondisi ketika aku di mana tungku panas menjadi alas bokongku untuk duduk bersamamu.
Selesai membasahi seluruh pernak-pernik tubuhku, kukenakan baju yang telah kupilih dari lemari tua kusam coklat hitam beserta sebuah celana jeans hitam. Laki-laki kumal berdaki, masih sebuah penghargaan pahit dan pantas kukalungkan pada diriku. Tanpa kusisir rambut hitam kaku ini, kulangkahkan kaki dan menunduk mengambil tas berisi mesin tik yang akan selalu kubawa ke mana pun aku pergi untuk menuliskan kisah-kisah suara hati lingkungan sekitar di mana aku duduk dan berdiri.
Malah///
Dia yang datang padaku/
Aku gerogi dan malu/
Janjiku selama ini diam dan mati/
Kampus bercat biru menjadi teman baru bisu menikmati hati suka manisnya/ Kamis sinis///
Gadis sedayu melangkah maju mendahuluiku/
Aku malu//
Sudah hampir putus warasku/