Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitulah perumpamaan sebuah pribahasa yang maknanya kira-kira begini:Â seorang manusia yang akan diingat adalah jasa-jasa atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya akan selalu dikenang meskipun dia sudah masuk ke liang kubur.
Sebuah makam biasanya tidak berbeda dengan makam-makam lainnya, karena pada dasarnya isinya sama yaitu jasad manusia yang sudah meninggal dunia. Makam tersebut biasanya akan terlihat berbeda dilihat ketika dilihat dari bentuknya yang unik atau dilihat dari isinya berupa mantan orang penting.
Salah satu makam yang unik ada di Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara. Ada sebuah makam yang panjangnya mencapai tujuh meter. Konon kabarnya makam tersebut merupakan tempat bersemayamnya nenek moyang orang Lampung, khususnya yang kini tinggal di Kotabumi. Informasi ini membuat saya penasaran dan mencoba mencari tahu keberadaanya.
Akses Menuju Makam
Berbekal informasi yang minim dari masyarakat setempat, saya mencoba menelusuri lokasi makam tersebut dengan ditemani tiga orang sahabat saya yaitu Rusdiyanto, asal Kabupaten Pacitan, Fakhrurrozi Atma Putra alias Ozi, dan Yudi Almukmin.
Keduanya merupakan penduduk asli Kotabumi. Kami pun berangkat menuju lokasi makam yang terletak di Dusun Ulakdurian, Kelurahan Kotabumi Ilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara.
Dalam dunia konstruksi, istilah ini berarti batu belah yang disusun dipermukaan tanah dengan tujuan untuk pengerasan jalan.
Semakin mendekati area makam, kondisi jalan semakin menyempit, sehingga mobil yang kami tumpangi terpaksa harus berhenti dan parkir di pinggir kebun. Selanjutnya kami menelusuri jalan setapak menuju makam yang jaraknya sekitar 100 meter.
Makam yang berada di sisi jalan adalah makam salah seorang istri Minak Semelasem, sedangkan kedua makam yang berada disebelahnya belum diketahui identitasnya. Bentuk makam terlihat sederhana, hanya berupa batu nisan tanpa nama.
Akhirnya kami sampai juga di makam Minak Semelasem yang jaraknya tidak jauh dari kompleks makam sebelumnya. Sayangnya kondisi makam yang sering dikeramatkan ini justru terlihat sangat memprihatinkan.
Kesannya kurang terurus dengan baik. Pagarnya bukan terbuat dari tembok, melainkan terbuat dari besi yang sudah rusak dan berkarat. Beberapa di antara besinya sudah hilang, bengkok, dan hampir rubuh.
Saat kami datang, tampak seorang pria paruh baya sedang berada di tengah kebun. Melihat kehadiran kami, beliau segera datang menghampiri kami. Kami pun saling berkenalan dan terlibat obrolan singkat. Ternyata beliau adalah Pak Nafsir, penjaga makam.
Setelah saya jelaskan maksud kedatangan kami hanya untuk meliput dan mencari informasi tentang keberadaan makam tersebut, beliau pun akhirnya menjadi antusias dan bersedia kami wawancarai.
Mengapa awalnya Pak Nafsir menaruh kecurigaan dan berpandangan negatif terhadap kedatangan kami? Ternyata beliau dulu pernah kedatangan tamu, utusan dari beberapa anggota DPRD Kabupaten Lampung Utara yang juga tokoh sebuah partai politik di sana.
Bahkan, beliau mengaku sudah dipanggil dan langsung menghadap mereka. Saat itu beliau dijanjikan akan dibantu mencarikan dana buat memugar makam tersebut. Sayangnya itu semua hanya janji-janji kosong yang tidak terealisasikan sampai sekarang, sehingga membuatnya kecewa.
Setelah mengobrol singkat, Pak Nafsir mengajak mampir ke rumah beliau di Kotabumi, kalau kami serius ingin tahu tentang kisah keberadaan makam tersebut secara lebih detail. Kami pun setuju untuk mampir ke rumah beliau di lain waktu.
Kemudian kami pun masuk ke dalam area makam yang dikelilingi pagar besi untuk berziarah. Tidak lupa kami semua mendoakan almarhum Minak Semelasem dan keluarganya agar mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya.
Dua hari berikutnya, saya dan teman-teman berkesempatan berkunjung ke rumah Pak Nafsir. Setelah sepakat menentukan waktu pertemuan via handphone, kami segera menuju ke rumahnya di daerah Kotabumi Ilir. Beliau pun menyambut kami dengan ramah
Setelah disuguhi kopi Lampung yang nikmat dan mencicipinya, saya pun mulai mewawacarai Pak Nafsir. Selain itu, kedua teman muda saya yaitu Ojie dan Yudi pun ikut membantu menggali informasi dari beliau. Obrolan berlangsung hangat penuh kekeluargaan.
Sumber lain mengatakan bahwa kedua orang ini berasal dari keturunan Nyunyai bergelar adat Minak Trio Deso (hidup antara tahun 1670-1775 dan dimakamkan di Canguk Ghaccak, Desa Skipi, Kecamatan Abung Tinggi) yang memiliki dua istri, yaitu Minak Rajo Lemawung berasal dari daerah Melinting, Kabupaten Lampung Timur dan Minak Munggah Dabung (Rendang Sedayu) berasal dari daerah Skipi, Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten Lampung Utara.
Istri pertama Minak Trio Deso yaitu Minak Rajo Lemawung memiliki anak bernama Minak Penatih Tuho, sedangkan dari istri kedua yaitu Minak Munggah Dabung memiliki dua orang anak bernama Minak Krio Demung Latco dan Minak Kebahyang.
Selanjutnya dari Minak Penatih Tuho menghasilkan keturunan dua orang anak yaitu Minak Semelasem dan Minak Gutti Selango (sumber: Akuan Abung, dikutip dari kumpastuntas.co).
Pak Nafsir menuturkan bahwa suatu hari Minak Semelasem bermaksud pergi dari Kotabumi untuk sebuah urusan dalam kurun waktu tertentu.
Saat itu beliau sudah memiliki tujuh orang istri, tapi tidak punya anak, sedangkan adiknya, Minak Gutti Selango masih bujangan. Minak Semelasem berpesan pada adiknya, jika waktu yang sudah ditentukan dirinya belum pulang, anggap saja sudah meninggal. Beliau meminta agar adiknya bersedia menikahi semua istri-istrinya.
Setelah waktu yang ditentukan terlewati, ternyata Minak Semelasem belum juga pulang. Hal ini membuat Minak Gutti Selango gelisah. Lalu beliau teringat pesan kakaknya agar bersedia menikahi semua istri-istri kakaknya tersebut. Akhirnya karena patuh, Minak Gutti Selango pun menikah.
Suatu hari, terjadi hal yang tidak terduga. Tiba-tiba Minak Semelasem kembali ke Kotabumi dari perantauannya dengan membawa sorang istri baru yang berasal dari Desa Karta, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat sebuah desa tua, dulu sebelum pemekaran daerah ini termasuk ke dalam Kabupaten Lampung Utara.
Tentu saja hal ini membuat Minak Gutti Selango terkejut. Beliau takut kakaknya marah karena sudah mempersunting semua istri-istri kakaknya. Namun, untungnya Minak Semelasem sadar kalau adiknya tidak salah. Beliau paham atas apa yang sudah dilakukan oleh adiknya itu.
Hasil perkawinan Minak Semelasem dengan istri barunya menurunkan anak bernama Minak Peduka (dimakamkan di Tujak, Kabupaten Tulang Bawang Barat) yang melahirkan keturunan orang Kotabumi Ilir, sedangkan Minak Gutti Selango melahirkan keturunan orang Kotabumi Tengah dan Kotabumi Udik.
Setelah bercerita sekilas tentang kisah keberadaan makam Minak Semelasem, Pak Nafsir memperlihatkan kepada kami bukti peninggalan nenek moyangnya yaitu berupa dua buah tongkat dari rotan hitam yang dibungkus kain putih dan sebuah guci.
Kondisi guci sudah tidak utuh, karena pada bagian atasnya sudah pecah (sompel). Namun, secara keseluruhan masih terlihat baik. Benda bersejarah ini kini tersimpan rapi di kediamannya.
Kalau dibenahi dan dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin keberadaan makam ini bisa menjadi cagar budaya dan menjadi salah satu objek wisata religi di Kabupaten Lampung Utara.
Semoga bermanfaat dan salam pena kreatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H