Waruno yang mahir berbahasa slavia, Prancis, Portugis, Spanyol, Italia, Vietnam, Mandarin, dan Madagaskar ini menghabiskan 20 tahun di Uni Soviet sebelum mendapatkan pekerjaan tetap di Institut Fritz Haber, Max Planck Gesellschaft, Jerman sebagai ahli rekayasa kimia.
Tidak seberuntung Waruno yang bisa bekerja sesuai bidangnya; Sunarto, 76 tahun menghabiskan hari-harinya sebagai pengemudi taksi di Kota Berlin. Padahal dia mempunyai gelar akademik sebagai teknik industri tekstil.
Lain cerita dengan Ersa. Perempuan berlidah Prancis totok dengan perawakan yang sangat Indonesia ini merupakan anak dari Erman SA, wartawan di Harian Rakyat. Dia masih sangat kecil saat berangkat ke Peking (sekarang Beijing) bersama orang tuanya.
Ketika peristiwa 1965 meletus dan keluarganya dicabut kewarganegaraannya, Erman SA bersama istri dan empat anaknya meninggalkan Peking menuju Peru, Amerika Latin. Di Paris mereka diberhentikan oleh koleganya. Jadilah Ersa tumbuh besar dan hidup Paris hingga saat ini sebagai dokter.
Satu-satunya ingatan terhadap Indonesia yang disimpan Ersa adalah kesedihan yang diderita orang tuanya. "Karena mereka tidak bisa pulang ke tanah air yang mereka cintai," halaman 27.
Masih di Paris, seorang keturunan Indonesia lainnya; Nita, berbagi cerita dengan Martin mengenai perjalanan orang tuanya dan rumah makannya bernama Restaurant Indonesia. Betapa mereka harus berpindah-pindah mencari penghidupan karena dibuang oleh negaranya.
Selain berpindah dengan alasan mencari penghidupan, para eksil ini juga kerap berpindah dengan alasan diburu oleh militer. Di awal Soeharto menginjakkan kekuasaannya, dia memang membuat semua orang wajib memilih: orang kiri atau bukan. Jika dianggap kiri, maka kamu akan diburu dan pada akhirnya dimatikan.
Dharmawan Isaak yang dulunya seorang rektor di Institut Ilmu Pertanian dan Gerakan Tani di Bogor harus berpindah-pindah. Istrinya yang tidak tahan dengan kondisi ini menjadikannya kawin dengan seorang tentara agar bisa melindungi diri.
Sementara putrinya yang berusia 9 tahun mogok makan saat mengetahui keadaan orang tuanya. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang kritis, lalu disuapi melalui slang, dan "Begitu perawat lengah, dia melepaskan slang penyambung nyawanya itu," halaman 4.
Mereka yang tidak sanggup menanggung risiko rezim Soeharto ini memang sering kali berakhir dengan bunuh diri. Wawancara lain yang dikisahkan oleh Martin, yang kemudian dibuatnya dalam sebuah cerpen berjudul Tanah Air---di bukunya ini adalah kisah Wenni Santoso, 78 tahun.