Di dalam sebuah ruangan di alam baka berlangsung percakapan antara Soeharto dan Adolf Hitler. Di sekeliling mereka ada Mao Zedong dan Joseph Stalin. Sebagai seorang yang sudah lama berada pada ruangan tersebut, Hitler menanyai Soeharto yang baru saja tiba.
"Berapa jiwa yang kau matikan sehingga dimasukkan di sini?"
"Tak sempat menghitung."
"Kok bisa? Tidak kau kumpulkan dalam satu tempat?" Hitler penasaran.
"Tidak," Soeharto menghela napas panjang.
Berkuasa selama 31 tahun di negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia membuatnya, barangkali, tidak sempat menghitung jumlah orang yang dihilangkan nyawanya. Sialnya, orang-orang yang berkuasa setelahnya tidak sempat menjumlah korban pemerintahan Soeharto.
Selain sibuk dengan urusan sendiri, orang-orang berkuasa tersebut juga bakal kesulitan sebab korban Soeharto tidak hanya dimatikan, tetapi juga dibuang sehingga tersebar di banyak negara di seluruh dunia. Mereka dihilangkan kewarganegaraannya lalu mengalami kesulitan hidup dan berakhir dengan kematian di negeri orang.
Oleh Gus Dur, mantan presiden keempat; disebut sebagai orang-orang "Klayaban". Cerita-ceritanya terekam baik di berbagai medium, mulai dari buku, foto cerita, film layar lebar, hingga pementasan teater boneka.
***
Salah satu yang menarik perhatian adalah buku Tanah Air yang Hilang. Ditulis oleh Martin Aleida dalam format wawancara 19 orang Indonesia yang dipaksa kehilangan tanah air. Pemerintahan Soeharto mencabut paspor mereka sehingga mau tidak mau orang-orang Klayaban ini harus mencari tanah air yang baru.
Dibuang oleh negara tempat kita dilahirkan tentu tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Waruno Mahdi, 72 tahun, kelahiran Bogor.
"Saya datang dari kota kecil Voronezh di selatan Moskwa, di mana saya dibuang selama delapan tahun, dan saya orang Indonesia satu-satunya yang tinggal di sana," halaman 36.
Waruno yang mahir berbahasa slavia, Prancis, Portugis, Spanyol, Italia, Vietnam, Mandarin, dan Madagaskar ini menghabiskan 20 tahun di Uni Soviet sebelum mendapatkan pekerjaan tetap di Institut Fritz Haber, Max Planck Gesellschaft, Jerman sebagai ahli rekayasa kimia.
Tidak seberuntung Waruno yang bisa bekerja sesuai bidangnya; Sunarto, 76 tahun menghabiskan hari-harinya sebagai pengemudi taksi di Kota Berlin. Padahal dia mempunyai gelar akademik sebagai teknik industri tekstil.
Lain cerita dengan Ersa. Perempuan berlidah Prancis totok dengan perawakan yang sangat Indonesia ini merupakan anak dari Erman SA, wartawan di Harian Rakyat. Dia masih sangat kecil saat berangkat ke Peking (sekarang Beijing) bersama orang tuanya.
Ketika peristiwa 1965 meletus dan keluarganya dicabut kewarganegaraannya, Erman SA bersama istri dan empat anaknya meninggalkan Peking menuju Peru, Amerika Latin. Di Paris mereka diberhentikan oleh koleganya. Jadilah Ersa tumbuh besar dan hidup Paris hingga saat ini sebagai dokter.
Satu-satunya ingatan terhadap Indonesia yang disimpan Ersa adalah kesedihan yang diderita orang tuanya. "Karena mereka tidak bisa pulang ke tanah air yang mereka cintai," halaman 27.
Masih di Paris, seorang keturunan Indonesia lainnya; Nita, berbagi cerita dengan Martin mengenai perjalanan orang tuanya dan rumah makannya bernama Restaurant Indonesia. Betapa mereka harus berpindah-pindah mencari penghidupan karena dibuang oleh negaranya.
Selain berpindah dengan alasan mencari penghidupan, para eksil ini juga kerap berpindah dengan alasan diburu oleh militer. Di awal Soeharto menginjakkan kekuasaannya, dia memang membuat semua orang wajib memilih: orang kiri atau bukan. Jika dianggap kiri, maka kamu akan diburu dan pada akhirnya dimatikan.
Dharmawan Isaak yang dulunya seorang rektor di Institut Ilmu Pertanian dan Gerakan Tani di Bogor harus berpindah-pindah. Istrinya yang tidak tahan dengan kondisi ini menjadikannya kawin dengan seorang tentara agar bisa melindungi diri.
Sementara putrinya yang berusia 9 tahun mogok makan saat mengetahui keadaan orang tuanya. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang kritis, lalu disuapi melalui slang, dan "Begitu perawat lengah, dia melepaskan slang penyambung nyawanya itu," halaman 4.
Mereka yang tidak sanggup menanggung risiko rezim Soeharto ini memang sering kali berakhir dengan bunuh diri. Wawancara lain yang dikisahkan oleh Martin, yang kemudian dibuatnya dalam sebuah cerpen berjudul Tanah Air---di bukunya ini adalah kisah Wenni Santoso, 78 tahun.
Cerpen yang terpilih menjadi cerpen terbaik Kompas 2016 ini berakhir tragis. Seorang suami melompat dari apartemennya dengan "Jari jemarinya masih mengepal tanah merah berbalut kain putih," halaman 89.
Selama tiga bulan sejak awal Maret 2016, Martin menghabiskan waktunya berkeliling Eropa dengan biaya sendiri untuk mewawancarai orang-orang Klayaban. Mereka menyebar di Amsterdam, Den Haag, Berlin, Koeln, Praha, Sofia, dan Paris dengan usia rata-rata 70-an tahun.
Yang tidak kalah menarik dari buku setebal 344 halaman ini adalah pertanyaan Martin mengenai pulang ke Indonesia. Rezim Soeharto memang sudah tumbang, tapi bukan mereka bakal pulang begitu saja. Hampir semua orang-orang berdarah Indonesia ini kembal ke tanah kelahirannya justru sebagai turis.
Beberapa menginap untuk waktu yang lama, sebagian harus pulang sebelum waktunya karena menderita diare berkepanjangan selama di Indonesia. Tingkat higienitas makanan di Eropa ternyata tidak sebanding dengan negara yang punya sumber kekayaan alam terbanyak di dunia ini.
Saya rasa, kita berhutang banyak kepada Martin yang telah menghimpun cerita-cerita ini ke dalam satu buku. Menurut pengakuannya, ada 30 eksil dengan total durasi wawancara 40 jam yang harus ditranskrip. Namun, hanya 19 orang yang bersedia ceritanya dituliskan. Mereka tampaknya mengalami trauma yang luar biasa terhadap Soeharto.
Sebagaimana yang dimohonkan oleh Nugroho, 91 tahun, agar "tidak menanyakan masa lalu yang getir untuk mencegah kumatnya stres yang diderita istrinya itu sejak mendengar kejadian-kejadian yang ngeri dan menyengsarakan ketika rezim Jenderal Soeharto melancarkan pembinasaan tanpa pandang bulu," halaman 230.
***
Jika menarik benang merah mengenai latar belakang pendidikan orang-orang Klayaban ini, maka boleh dibilang semuanya adalah para ahli di berbagai disiplin ilmu. Hampir seluruhnya mengemban tugas belajar di negara-negara yang punya konsentrasi ilmu terbaik.
Dari sini tampak Soekarno pernah menyiapkan Indonesia untuk tampil di hadapan dunia sebagai jagoan di segala bidang. Sialnya, Soeharto datang dan menghancurkan segalanya.
Saya kemudian membayangkan keduanya berpapasan di toilet di alam baka di mana Soekarno sambil membetulkan ritsleting celana bahannya sambil bertanya, "Ke mana Indonesia hari ini?"
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H