Mohon tunggu...
Ardan
Ardan Mohon Tunggu... Freelancer - Sahaja

Hari kerja nulis buat brand di agensi, akhir pekan ngeblog.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tanah Air yang Hilang dan Negara yang Tidak ke Mana-mana

6 Maret 2020   10:25 Diperbarui: 10 Maret 2020   17:46 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam sebuah ruangan di alam baka berlangsung percakapan antara Soeharto dan Adolf Hitler. Di sekeliling mereka ada Mao Zedong dan Joseph Stalin. Sebagai seorang yang sudah lama berada pada ruangan tersebut, Hitler menanyai Soeharto yang baru saja tiba.

"Berapa jiwa yang kau matikan sehingga dimasukkan di sini?"

"Tak sempat menghitung."

"Kok bisa? Tidak kau kumpulkan dalam satu tempat?" Hitler penasaran.

"Tidak," Soeharto menghela napas panjang.

Berkuasa selama 31 tahun di negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia membuatnya, barangkali, tidak sempat menghitung jumlah orang yang dihilangkan nyawanya. Sialnya, orang-orang yang berkuasa setelahnya tidak sempat menjumlah korban pemerintahan Soeharto.

Selain sibuk dengan urusan sendiri, orang-orang berkuasa tersebut juga bakal kesulitan sebab korban Soeharto tidak hanya dimatikan, tetapi juga dibuang sehingga tersebar di banyak negara di seluruh dunia. Mereka dihilangkan kewarganegaraannya lalu mengalami kesulitan hidup dan berakhir dengan kematian di negeri orang.

Oleh Gus Dur, mantan presiden keempat; disebut sebagai orang-orang "Klayaban". Cerita-ceritanya terekam baik di berbagai medium, mulai dari buku, foto cerita, film layar lebar, hingga pementasan teater boneka.

***

Salah satu yang menarik perhatian adalah buku Tanah Air yang Hilang. Ditulis oleh Martin Aleida dalam format wawancara 19 orang Indonesia yang dipaksa kehilangan tanah air. Pemerintahan Soeharto mencabut paspor mereka sehingga mau tidak mau orang-orang Klayaban ini harus mencari tanah air yang baru.

Dibuang oleh negara tempat kita dilahirkan tentu tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Waruno Mahdi, 72 tahun, kelahiran Bogor.

"Saya datang dari kota kecil Voronezh di selatan Moskwa, di mana saya dibuang selama delapan tahun, dan saya orang Indonesia satu-satunya yang tinggal di sana," halaman 36.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun