Kitab Yehezkiel adalah salah satu kitab yang menggunakan nama nabi besar dalam sejarah nabi-nabi Isreael, yaitu Yehezkiel bin Buzi. Secara garis besar kitab Yehezkiel mengemukakan tentang penglihatan-penglihatannya, percakapan-percakapannya dengan Allah (yang secara monolog maupun dialog), dan nubuat-nubuat Allah (yang disampaikan kepadanya untuk ditujukan kepada Israel dan beberapa bangsa sekitar Israel).Â
Semuanya itu dialami oleh Yehezkiel pada saat ia berada di pembuangan Babel, dan hal ini bisa dilihat pada pasal 1: 1-3, yang menuliskan tentang awal penglihatan Yehezkiel.Â
Beberapa kali juga Yehezkiel mengalami pengalaman ekstatis, yaitu sebuah pengalaman spiritual-batiniah. Dalam beberapa pengalaman ekstatis-nya, saya tertarik dengan pengalaman yang dituliskan di pasal 8, yang kemudian dalam pengalaman ekstatis tersebut, ia dibawa kembali oleh Allah ke Yerusalem.Â
Ternyata di Yerusalem pada saat itu (setelah penyerbuan dan pembuangan berlangsung), masih ada beberapa orang sisa yang tidak ikut dibuang ke Babel, intinya setelah penyerbuan ke Israel, Babel tidak mengosongkan tanah Israel. Bahkan Babel sempat menjadikan Zedekia sebagai pengganti Yoyakhin yang telah terlebih dahulu dibuang ke Babel, dan pembuangan Yoyakhin tersebut adalah pembuangan gelombang pertama.Â
Saya mengikuti pendapat Blenkinsopp yang menganggap Yehezkiel ikut dibuang pada saat pembuangan gelombang pertama. Yang terjadi di sana (Yerusalem) adalah adanya kegiatan penyembahan berhala, dan beberapa penampakan mengenai adanya benda-benda yang menyebabkan Allah menjadi cemburu.Â
Dalam mengelompokkan adegan-adegan penyembahan berhala pada teks pasal 8, saya membaginya menjadi 5 bagian, yang nantinya akan dianggap oleh Yehezkiel sebagai perbuatan penyelewengan umat.Â
Pertama adalah mengenai berhala cemburuan (ayat 5).Â
Kedua adalah mengenai gambar-gambar berhala yang ada di sekitar tembok-tembok pelataran (ayat 10).Â
Ketiga adalah ketujuh puluh tetua Israel bersama dengan Yaazanya bin Safan yang sedang melaksanakan ritual membakar obor ukupan (ayat 11).
Keempat adalah para perempuan yang sedang menangisi Dewa Tamus (ayat 14).Â
Kelima adalah sekitar dua puluh lima laki-laki yang sedang sujud terhadap dewa matahari (ayat 16).Â
Secara garis besar, kelima kejadian ini bisa dianggap sebagai landasan Yehezkiel untuk menyetujui bahwa Israel pantas untuk dihukum oleh Allah melalui serangan Babel. Tetapi apakah benar kelima kejadian tersebut merupakan perbuatan menyeleweng? Saya akan lebih menggali lagi setiap makna yang ada dalam teks tersebut, dengan mempertimbangkan ritus dan kebiasaan yang sudah ada dan berkembang sebelumnya di Yerusalem.
Selanjutnya untuk menafsirkan teks Yeh. 8: 1-18, tentang penglihatan Yehezkiel mengenai keadaan Yeruslem tersebut, jelas saya akan menggunakan beberapa metode dalam penafsiran saya.Â
Antara lain kritik historis dan naratif, tetapi apa yang ditekankan dalam penafsiran saya adalah memandang teks dengan menggunakan teori mnemohistory dan membaca teks tersebut dengan menggunakan perspektif poskolonial. Mnemohistory sendiri adalah teori yang pertama kali dicetuskan oleh Jan Assmann, dia menggunakan teori ini dalam mengungkap keberadaan Firaun Akhenaten.Â
Firaun tersebut telah dilupakan oleh orang-orang Mesir karena kekejamannya dalam melakukan revolusi (merevolusi agama politeistik menjadi agama monoteistik), dan akhirnya pengalaman traumatis akan kekejaman tersebut dipendam dan muncul kembali dengan memutar-balikkan apa yang ada karena kenangan traumatis tersebut sangat kuat.Â
Ternyata dalam penulisan sejarah selanjutnya, sejarah tersebut sudah tidak murni sejarah secara objektif, karena ada trauma-trauma kekejaman yang ikut mewarnai penulisan sejarah tersebut. Menulis sejarah dengan menggunakan ingatan kolektif masyarakat yang bersifat traumatis tersebutlah yang dinamakan teori mnemoshistory.Â
Selanjutnya perspektif poskolonial adalah perspektif yang menitikberatkan tentang hybirditas seseorang. Sebagai bangsa hasil jajahan kolonial, tentu saja kita memiliki kepribadian yang ingin menjadi seperti penjajah, selain itu, kepribadian kita pun merupakan kepribadian bentukan para penjajah. Hal tersebutlah yang menjadikan kita hybird, dan oleh sebab itu perspektif poskolonial saya gunakan untuk menafsirkan teks Yehezkiel 8: 1-18.Â
Ada pun Yehezkiel sendiri sebenarnya juga seorang Hybird, dia sudah menjadi manusia poskolonial dikarenakan penjajahan Babel. Selanjutnya penafsiran saya juga akan mempertimbangkan juga pendapat para ahli, dan memberikan tanggapan terhadap argumen mereka.Â
ISI
TAFSIR YEHEZKIEL 8: 1-18
Proses awal penglihatan (ayat 1-3)
Kitab Yehezkiel, khususnya pasal 8, kembali menyertakan setting waktu seperti pada pasal 1, tetapi pada pasal 8, setting waktunya terjadi pada tahun keenam, bulan keenam, pada tanggal lima. Menurut Block, tahun tersebut bisa dianggap sebagai tahun keenam setelah pembuangan raja Yoyakhin. Jadi penglihatan yang ada di pasal 8 bisa dikatakan satu tahun setelah penglihatan di sungai Kebar yang ada di pasal 1, lebih tepatnya 14 bulan.Â
Di pasal 8 ayat 1 juga dinarasikan bahwa Yehezkiel kembali mengalami peristiwa di mana kekuasaan Allah meliputinya. Hal tersebut masih sama seperti di pasal 1, yaitu sebuah pengalaman ekstatis. Nah tapi berbeda dengan pasal 1, di pasal 8 (ayat 1) pengalaman ekstatis terjadi di rumah Yehezkiel, bukan di tepi sungai Kebar.Â
Sweeney berpendapat bahwa ada kemungkinan bahwa rumah Yehezkiel tersebut dipakai sebagai sinagoge. Pada saat itu juga ada beberapa saksi mata yang melihat peristiwa ekstatis yang dialami Yehezkiel, yaitu para tetua.Â
Para tetua tersebut memang sering melakukan kunjungan ataupun konsultasi dengan Yehezkiel, seperti nanti di pasal berikutnya (14: 1 dan 20: 1), para tetua datang untuk meminta petunjuk kepada Allah melalui Yehezkiel.Â
Di ayat 2 setelah kekuasaan Allah meliputi Yehezkiel, seketika itu juga Yehezkiel melihat sesuatu seperti api (Ibrani: demut esh), TB-LAI yang merujuk pada LXX menganggap esh adalah ish.Â
Tetapi saya lebih nyaman menganggap itu sebagai  "seperti" api saja. Kata demut di atas berasal dari kata damah yang memang berarti "seperti", berarti bukan api, tetapi seperti api. Bagaimana seperti api itu? Di ayat 3 tertulis ada yang berbentuk tangan (tabnit yad), yang menjulur keluar, nah jadi yang dilihat seperti api tersebut akhirnya dispesifikasikan lagi berbentuk tangan. Di ayat 3 tidak memakai kata demut tapi memakai kata tabnit, jadi sudah tidak "seperti" lagi, melainkan sudah jelas berbentuk (tabnit) tangan. Kemudian makin jelas lagi "seperti" apa api yang ditulis di ayat 2 tadi, dengan keterangan bahwa itu adalah roh.Â
Di sini kata roh diawali dengan huruf kapital, mungkin TB-LAI ingin menunjukkan bahwa itu adalah Roh Allah. Seperti pada terjemahan BIS yang menuliskan secara langsung bahwa itu adalah Roh Allah (ayat 3). Jadi "seperti" api yang dilihat oleh Yehezkiel di ayat 2 tersebut adalah Roh. Dari sini saya jadi teringat mengenai penglihatan Musa, saat dia melihat semak yang menyala oleh api. Mungkin apa yang dilihat oleh Yehezkiel tersebut mirip dengan penglihatan Musa.Â
Kemudian Roh tersebut mengangkat jambul Yehezkiel ke antara langit dan bumi, selanjutnya roh membawa Yehezkiel ke penglihatan-penglihatan ilahi di Yerusalem, terjemahan BIS lebih mengspesifikasikan bahwa Yehezkiel dibawa ke Rumah Tuhan (ayat 3 v. BIS). Juga dalam ayat 3 sudah diberi spoiler bahwa ada berhala-berhala cemburuan yang berada di pintu gerbang pelataran dalam.Â
Penglihatan pertama (Ayat 4-6)Â
Penglihatan pertama ini diawali dengan penglihatan adanya kemuliaan Allah Israel, kebod elohe yisrael  (ayat 4). Dengan masih adanya kemuliaan Allah di situ, berarti hal ini menandakan bahwa Allah belum sepenuhnya meninggalkan Yerusalem. Penampakan yang dilihat oleh Yehezkiel ini nanti akan disangkal oleh beberapa orang di ayat 12. Selanjutnya adalah sebuah penglihatan terhadap berhala cemburuan yang terdapat di sebelah utara gerbang mezbah (ayat 5).Â
EGS berpendapat bahwa patung berhala yang dimaksudkan dalam ayat 3, 5 dan 6, yang dalam teks aslinya menggunakan kata semel, merupakan hal yang tidak biasa, karena biasanya kata yang digunakan dalam bahasa Ibrani untuk menunjuk kata patung berhala adalah pessel, tetapi di sini yang dipakai adalah semel, yang lebih menunjukkan semua sosok patung.
Block mempertimbangkan bahwa; Yehezkiel menuruti perintah di Ulangan 4: 16 ( supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apa pun: yang berbentuk laki-laki atau perempuan), jadi apa yang dilihat oleh Yehezkiel adalah sosok patungnya, dan sosok patung tersebut tidak terlalu penting untuk diidentifikasi secara lebih lanjut mengenai apa dan siapa sosok patung tersebut, yang jelas jika ada keberadaan sosok patung yang menyerupai berhala manapun, maka Allah akan cemburu. Â
EGS cenderung meragukan pendapat Blenkinsopp yang menganggap semel tersebut adalah patung Asyera, hal ini dikarenakan teks tidak mengatakan secara eksplisit siapa sebenarnya patung berhalaan yang membuat cemburu tersebut. Tetapi saya tertarik untuk mencoba menjelaskan siapakah sosok patung tersebut, karena dari identifikasi terhadap patung tersebut, akan lebih bisa dimengerti secara lebih jelas terhadap siapakah Allah cemburu, dan akhirnya menghukum Israel.Â
Jika menggunakan pendapat Sweeney yang beranggapan bahwa patung tersebut adalah dewa Marduk, maka saya rasa hal itu seharusnya tidak membuat Allah cemburu, dan adanya patung itu bukanlah kesalahan orang-orang Israel yang tertinggal di Yerusalem pasca pembuangan. Karena pembangunan patung Marduk tersebut pastilah atas dasar perintah dan keinginan raja Nebukadnezar, yang ingin menunjukkan dan memperlihatkan bahwa wilayah itu adalah daerah kekuasaannya.Â
Jadi seharusnya ketika Yehezkiel mengalami penglihatan tersebut, ia tidak menyalahkan orang-orang Israel pada saat itu, oleh karena adanya patung Marduk di sana. Karena memang keberadaan patung tersebut bukanlah keinginan orang-orang Israel, tetapi penjajahlah yang ingin pamer kepada setiap orang di kawasan jajahannya bahwa Marduklah yang berkuasa. Seperti yang saya katakan tadi, Allah sendiripun kurang pas jika cemburu terhadap patung Marduk tersebut, apalagi mempersalahkan patung Marduk ada di Yerusalem, karena Allah sendiri yang menghukum Israel dengan menggunakan Babel sebagai penjajahnya.Â
Oleh karena itu saya lebih setuju dengan pendapat Blenkinsopp yang mengidentifikasi patung tersebut dengan sosok Asyera. Memang Blenkinsopp sendiri telah memberi argumen bahwa patung Asyera sudah dihapus ketika raja Yosia berkuasa, tetapi ketika Yosia meninggal, Asyera kembali disembah.Â
Blenkinsopp juga menguatkan argumennya dengan memberi penjelasan mengenai keadaan yang terjadi di Yeremia, dengan menggunakan teks Yer. 44: 16-18. Di situ dijelaskan bahwa perempuan-perempuan akan tetap menyembah ratu sorga. Dari kemungkinan di Yeremia tersebut, saya rasa mungkin saja orang-orang sisa yang tidak ikut dibuang ke Babel tetap memasang atau membuat kembali patung Asyera untuk mendapatkan penyelamatan dari ratu sorga tersebut.Â
Dari identifikasi tersebut sekarang jelas bahwa Allah cemburu sudah sejak lama, dan bukan cemburu yang baru, juga bukan cemburu setelah penyerbuan dan pembuangan ke Babel berlangsung. Dari sini bisa dianggap bahwa Yehezkiel masih memiliki trauma terhadap kecemburuan Allah yang dilakukan oleh bangsa Israel di masa lalu.Â
Penglihatan kedua (Ayat 7-10)
Narasi dalam teks ayat 7-10 menceritakan lanjutan spesifikasi dari praktek-praktek berhala yang dilakukan oleh umat Israel pada masa itu. Pada ayat 7 Yehezkiel dibawa ke pintu pelataran, dan dia melihat sebuah lubang di sana (wehinneh hor ehad baqqir). Kemudian di ayat 8 teks asli Ibrani, Yehezkiel diperintahkan untuk menggali (hatar: gali) sebuah lubang.Â
Blenkinsopp mengatakan bahwa teks Ibrani ayat 7 & 8 ini membingungkan. Karena terdapat lubang yang sudah ada di ayat 7, dan kembali harus menggali lubang lagi di ayat 8. Di sini saya mencoba untuk tidak bingung, walaupun sudah ada lubang, dan kemudian diperintahkan oleh Roh (atau guide tour) yang membawa Yehezkiel tersebut ke Yerusalem untuk kembali membuat lubang.Â
Apa yang dibingungkan? Memang kalau sudah ada lubang, tidak bolehkah disuruh membuat lubang lagi? Sweeney berpendapat bahwa lubang di ayat 7 adalah bekas lubang yang dibuat oleh tentara penjajah (tentara babilonia) saat penyerbuan terjadi. Nah mungkin saja si Yehezkiel memang diperintahkan untuk mempraktekkan kegiatan tentara penjajah tersebut.Â
Mengenai lubang yang sudah ada di ayat 7, mungkin itu sebagai contoh lubang yang harus dibuat atau digali sendiri oleh Yehezkiel. Memang dalam teks tidak tertulis bahwa lubang di tembok menjadi dua setelah Yehezkiel diperintahkan untuk menggali, tetapi jika memang sudah ada lubang di ayat 7, dan kemudian Yehezkiel menggali lubang lagi  dia ayat 8, berarti memang sekarang sudah ada dua lubang.Â
Selanjutnya setelah giude tour memerintahkan untuk menggali, Yehezkiel diperintahkan untuk melihat ke dalam lubang, dan ternyata terdapat pintu di dalam lubang tersebut. Kemudian pada ayat 9, Yehezkiel diperintahkan untuk masuk ke pintu tersebut. EGS menanggapi peristiwa masuk lubang dan kemudian masuk pintu tersebut dengan mengandaikan Yehezkiel sebagai mata-mata di perbentengan musuh.Â
Setelah Yehezkiel masuk ke dalam pintu tersebut, dilihatnya ada gambar-gambar binatang melata dan binatang haram lainnya yang menjijikan terukir di sekeliling tembok-tembok tersebut. Menanggapi hal ini, EGS berpendapat bahwa Yehezkiel adalah seorang "ikonoklast" atau orang yang anti terhadap patung dan gambar-gambar.Â
Argumen tersebut disertai dengan bukti bahwa gambar-gambar dan ukiran memang sudah ada untuk menghiasi bait suci saat Raja Salomo membangunnya. Tetapi Yehezkiel tidak menyetujui warisan nenek moyang tersebut, dan cenderung mentiadakan hal-hal tersebut. Dari pendapat mengenai ikonoklast di atas, saya mendapat kemiripan dengan perilaku Raja Hizkia di dalam 2 Raj. 18: 4. Di situ tertulis bahwa Raja Hizkia menghancurkan patung ular yang dibuat oleh Musa di Bil. 21: 9.Â
Musa bukanlah sebagai nabi biasa, bahkan ia dianggap sebagai salah satu nabi terbesar dalam sejarah Israel, tetapi kebijkannya mengenai patung ular tersebut dianggap salah oleh Hizkia. Dari sini kita bisa membayangkan bahwa yang dilakukan Yehezkiel bukanlah sesuatu yang baru dalam merubah tatanan atau aturan mengenai tata cara penyembahan yang baik dan benar. Jadi sikap "ikonoklast" sepertinya memang sudah ada sebelumnya di kalangan petinggi-petinggi maupun imam di Israel. Â
Penglihatan ketiga (ayat 11-13)
Lebih lanjut lagi, tua-tua umat Israel bahkan berada di situ (jumlahnya 70 orang), termasuk Yaazanya bin Safan. Safan adalah salah satu panitera kerajaan pada jaman Raja Yosia, keterangan tersebut mengacu pada 2 raj. 22: 8-13. Menurut EGS dengan mengacu kepada keluarga Safan di Kitab Yeremia (Yer. 26: 24), EGS menganggap keluarga Safan adalah keluarga yang baik karena telah membela Yeremia supaya tidak terkena hukuman, tetapi di Yehezkiel salah satu keluarga Safan dianggap jelek perilakunya.Â
Ayat 12 menjelaskan bahwa semua tetua tersebut sedang memegang bokor ukupannya di tangan mereka masing-masing. Hal ini oleh Vawter-Hoppe diidentikkan dengan pemujaan terhadap  binatang-binatang yang menjadi ciri khas penyembahan di Mesir. Selanjutnya ayat 12 juga memberi keterangan bahwa tua-tua tersebut ikut melakukan praktek penyembahan berhala dikarenakan anggapan mereka yang menyatakan bahwa "TUHAN tidak melihat kita; Tuhan sudah meninggalkan tanah ini" (azav Yhwh et haarest).Â
Padahal di ayat 4 dijelaskan bahwa Yehezkiel masih melihat kemuliaan (kabod) Allah Israel di Yerusalem. Mungkin di sini si tua-tua Israel tidak bisa melihat kemuliaan Allah, oleh karena itu mereka menganggap-Nya sudah pergi. Nanti di Yeh. 9: 9 Allah mempermasalahkan pernyataan ("Tuhan sudah meninggalkan tanah ini") mereka kembali, dan hal tersebut menjadi landasan untuk tidak menyetujui keluhan Yehezkiel di pasal 9: 8. EGS juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh tua-tua Israel tersebut adalah kegiatan yang terjadi karena kekosongan posisi imam di Yerusalem.Â
Selanjutnya argumen di atas menjadi rujukan untuk membela para tetua yang melakukan penyembahan tersebut, juga dengan berlandaskan pada Kel. 24: 9, mengenai adanya akses tetua ke transendensi. Saya setuju dengan pendapat tersebut, tetapi saya ingin menambahkan bahwa Yehezkiel hanyalah mempercayai imam-imam Zadok saja untuk melakukan kegiatan penyembahan terhadap Allah. Sweeney pun dalam tafsirannya mengatakan bahwa 70 tetua Israel yang dilihat oleh Yehezkiel, termasuk Yaazanya bin Safan tidak-lah termasuk imam bani Zadok, dan mereka tidak layak untuk melaksanakan pembakaran dupa untuk YHWH. Teks Yeh. 8: 11--13 Â ini sebenarnya adalah permulaan dari tindakan nepotisme yang ditunjukkan oleh Yehezkiel.Â
Nanti di pasal-pasal berikutnya akan terlihat bagaimana Yehezkiel semakin menunjukkan nepotismenya dengan memberi hak-hak yang lebih kepada imam-imam Zadok, seperti di Yeh. 44: 15 (mengenai penyelenggaraan kebaktian) dan Yeh. 48: 11 (mengenai pembagian tanah). Jadi bisa dikatakan bahwa penolakan terhadap kegiatan penyembahan tersebut disebabkan para tetua tersebut bukanlah dari bani Zadok. Di sini unsur trauma Yehezkiel yang diakibatkan penyelewengan bani Lewi terlihat jelas, sampai mereka tidak dipercayai lagi oleh Yehezkiel untuk melaksanakan ritual keagamaan lagi.
Penglihatan keempat (ayat 14--15 )
Kemudian pada ayat 14--15 Â masih seputar perbuatan berhala umat Israel, tetapi kali ini para perempuan yang sedang melakukan penyembahan berhala (dengan menangisi dewa Tamus). Dewa Tamus adalah dewa kesuburan di daerah Mesopotamia, di Sumeria dikenal dengan sebutan Dumuzi. Sweeney mengatakan bahwa Tamus adalah salah satu dewa di Babilonia, biasanya penyembahan terhadap dewa Tamus ini dilakukan ketika musim kemarau panjang, dan meminta hujan turun untuk kesuburan tanah.Â
Vawter-Hoppe mengasumsikan bahwa perempuan --perempuan yang disaksikan oleh Yehezkiel sedang menangisi dewa Tamus, sebenarnya bukan menyembah dewa Tamus, melainkan sedang melaksanakan ritual ratapan terhadap dewa Tamus. Pendapat di atas juga disetujui oleh Block yang melihat hal tersebut dari kata sandang ha, yang dipakai dalam kata hattammuz, kata sandang tersebut menunjukkan bahwa yang dibicarakan bukan Tamus pada dirinya sendiri, melainkan praktek meratapi jenis ritual ratapan Tamus.Â
Melalui pemahaman di atas jelas yang dilakukan oleh perempuan-perempuan tersebut merupakan kegiatan yang tidak biasa dilakukan oleh umat-umat Israel, melainkan kegiatan yang dilaksanakan oleh umat-umat di Babilonia terhadap dewanya sendiri, yaitu Tamus. Lantas bagaimana perempuan-perempuan tersebut bisa mengetahui jenis ritual ratapan Tamus tersebut?Â
Sweeney kembali memberi argumennya bahwa apa yang dilihat oleh Yehezkiel tersebut adalah kegiatan ritual pagi saat musim kemarau panjang terjadi, dan hal tersebut merupakan kegiatan khas Yudaisme. Dari sini bisa muncul kemungkinan bahwa Yehezkiel menyamakan ritual khas Yudaisme dengan ritual di Babel. Mengapa bisa begitu? Jelas karena Yehezkiel telah berada di Babel beberapa waktu lamanya.Â
Penglihatan kelima (ayat 16-18)
Di ayat 16 Yehezkiel digiring lagi oleh sang guide tour ke pelataran dalam rumah Tuhan. Di sana Yehezkiel kembali melihat kegiatan berhala lagi, kali ini gantian para laki-laki sebanyak 25 orang yang melakukan praktek berhala, yaitu dengan menyembah matahari.Â
Jadi di sini lengkap sudah seluruh kalangan umat telah melakukan berhala, mulai dari tetua umat, perempuan, dan laki-laki. (dari sini jika semua orang tersebut dikategorikan sebagai orang dewasa, mungkin hanya anak-anak yang tidak menyembah berhala dan tidak bercela di teks Yehezkiel 8, mereka mungkin masih bermain petak umpet di reruntuhan Israel, hehehe).Â
Vawter-Hoppe mengasumsikan bahwa apa yang dilihat oleh Yehezkiel tersebut merupakan ritual khas dari Kanaan, karena berhubungan dengan penyembahan terhadap benda-benda langit.
Israel kuno sendiri sebenarnya juga sudah megenal tentang dewa matahari, hal ini dibuktikan dengan adanya suatu tempat yang bernama Beth-Syemesy ("rumah matahari") dan nama orang seperti Shamson. Kembali apa yang dilihat oleh Yehezkiel adalah sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi kebiasaan dalam peribadahan Israel kuno, dan itu adalah hal yang wajar, yang sekarang dipermasalahkan oleh Yehezkiel.
Penutup pasal 8, yaitu ayat 18, menyampaikan bahwa dikarenakan hal-hal berhala yang dilakukan oleh segala kalangan tersebut telah terjadi, maka Allah tidak akan berbelas kasih pada mereka, bahkan walaupun mereka menyuarakan kesusahannya dengan suara nyaring, Allah tetap tidak akan mendengarkan mereka.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan tafsir di atas, dapat dilihat bahwa apa yang Yehezkiel lihat pada saat dirinya dibawa kembali ke Yerusalem adalah; segala jenis perbuatan yang sebenarnya merupakan adat-istiadat maupun ritus masa lalu yang sudah melekat dan hidup bersamaan dengan kehidupan masyarakat Israel di masa sebelum pembuangan.Â
Sulit untuk mengatakan bahwa mereka, orang-orang Israel yang tidak diangkut ke pembuangan telah melakukan penyelewengan terhadap ritus dan tata cara peribadahan yang seharusnya memang mereka lakukan. Jadi apa yang dipermasalahkan oleh Yehezkiel tersebut bukanlah suatu peribadahan asing, melainkan beberapa ibadah Isarael kuno yang di mata Yehezkiel sudah merupakan ibadah yang keliru dan harus dihapuskan.Â
Menanggapi hal ini Yehezkiel sangatlah keras, dan sampai tidak memberi celah sedikit pun untuk memperbolehkan adanya kegiatan maupun simbol-simbol yang sudah terlebih dahulu ada di kalangan Israel kuno. Alasanya pun dapat dipastikan karena traumanya yang berlebihan terhadap kemarahan Allah sehingga menghancurkan Israel dan membuangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H