Untuk pertama kali, saya menyadari, air mata perempuan itu sungguh berarti. Ia baru saja kehilangan segalanya. Adakah yang mencegahnya untuk tidak gila?
* * *
Saya kembali menemui, ketika obat penenang baru saja mengaliri nadinya. Ketika kisah-kisah lusuh dan surel penuh tanda seru berlarian di dalam kepala saya. Wajahnya tidak tampak sedih, tidak tampak senang, hanya terlihat lebih tenang. Matanya menerawang jauh, melewati jendela kaca yang muram oleh hujan sepanjang Februari.
"Kamu ngapain di sini?" Dia membuka suara, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Jual kata-kata, siapa tahu laku, atau bisa jadi buku."
"Aku tidak minat membeli kata-katamu."
"Saya memang tidak berniat menjualnya padamu, sama seperti saya tidak tertarik dengan air matamu meski kamu berikan cuma-cuma."
"Lalu?"
"Saya bingung bagian akhirnya, ada saran? Barangkali kamu mau menemukan cintamu yang jatuh pada entah, lalu menjualnya, saya mau jadi pembeli pertama."
Dia menatap saya, matanya berbinar, seperti sinar hangat setelah badai. Di saat kami sama-sama tenang seperti ini, kami bisa berbincang lebih jauh. Meski bagi orang-orang yang mengaku perawat dan dokter itu, tidak lebih dari obrolan absurd dua penghuni rumah sakit jiwa.