Entah sejak kapan dia memulai profesinya, tetapi ia tampak sukses dengan bisnis jual air mata. Katanya, ia tidak bisa jual omong di sana-sini, tidak bisa jual muka di perempatan atau di televisi, tidak bisa jual janji, apalagi jual diri. Ia juga tidak bisa jual cinta, sebab ia sendiri lupa pernah menjatuhkan cintanya di mana, maka satu-satunya yang bisa ia jual, ya, air matanya.
Ia tidak pernah membandrol harga air matanya, siapapun yang datang saat ia butuhkan, berapapun mereka akan membayar, tidak pernah ia pikirkan. Bahkan terkadang ada yang menawarnya sepuluh ribu tiga. Entahlah, tiga yang seperti apa, tiga tetes? Tiga liter? Tiga botol? Tidak ada ukuran jelas.
Lucunya lagi, pembelinya juga dari berbagai kalangan. Ada pejabat yang mencari simpati, ada artis yang mendalami peran di televisi, sampai orang yang entah dengan alasan yang lebih entah lagi. Kok ada yang mau beli? Aah, itu urusan mereka.
Jika sepanjang hari tidak ada yang mengajaknya bertransaksi. Ia mampir ke kios di dekat jembatan, menukar air matanya dengan telur, beras dan ikan asin. Kadang juga ia berbelok ke minimarket, menukar air matanya dengan susu untuk bayi. Atau, sesekali ia tukar dengan sebungkus rokok untuk Bambang, berusaha membuat lelaki itu senang..
Sejak kapan air mata menjadi alat tukar di tempat ini?
Mmh... mungkin sejak lama, dan kita terlalu lama menyadari. Bahkan, mungkin ia bukan yang pertama dan satu-satunya.
***
Dia hampir kehabisan air mata, saat ia mendapati Bambang main gila dengan tetangganya. Sedikitpun ia tidak ingin mengeluarkan air matanya, katanya, Bambang dari dulu sudah gila, air matanya lebih baik ia tukar dengan makanan untuk esok. Daripada harus ia tukar dengan keberadaan dan hati Bambang.
"Saya boleh menuliskan kisahmu? Nanti namamu saya ganti Mawar, ya? Atau Anggrek? Atau Kecubung?" Saya mulai tertarik dengan kisahnya, berharap untung dari jualan kata-kata.
"Terserah, jangan bawa nama saya!" Dia meniup-niup mulut mungil bayinya, dada kecilnya tak nampak naik turun.
Saya mulai menyusun abjad demi abjad, menjadi kata. Membolak-balik kata demi kata, menjadi sekalimat. Dan, belum lengkap satu paragraf, saya tertegun melihat dia menangis. Entah, apa bisa disebut tangisan, dengan air mata yang transparan, sangat transparan, dan sinar lampu yang menerpa membuatnya berkilauan seperti berlian.