Ada perempuan
Di sepertiga malam
Menangkupkan luka dan doa-doanya
Mengalir seperti embun
Lalu matahari menguapkannya esok pagi
Seolah tak pernah terjadi apa-apa
Ada perempuan
Menjual air matanya
Sepuluh ribu tiga, katanya
***
Namanya Kembang, entah kenapa, tetapi ia lebih suka tidak disebut namanya. Katanya, nama itu jelek, terkesan sesuatu yang buruk ketika dituliskan.
Padahal, nama itu kan do'a? Padahal, kan, kembang itu harum? Padahal, kan, kembang itu banyak yang suka?
"Ada kembang yang bau busuk!" Katanya sengit.
"Kamu ngapain di sini?"
"Jual air mata."
"Ooh... " Saya mencoba memaklumi, meski tidak sepenuhnya memahami.
Saya tidak pernah bisa memahami, kok ada orang yang setiap hari menjual air matanya? Yang lebih aneh, kok ada yang mau beli juga?
Aah, itu urusannya, saya tidak ambil pusing.
***
Entah sejak kapan dia memulai profesinya, tetapi ia tampak sukses dengan bisnis jual air mata. Katanya, ia tidak bisa jual omong di sana-sini, tidak bisa jual muka di perempatan atau di televisi, tidak bisa jual janji, apalagi jual diri. Ia juga tidak bisa jual cinta, sebab ia sendiri lupa pernah menjatuhkan cintanya di mana, maka satu-satunya yang bisa ia jual, ya, air matanya.
Ia tidak pernah membandrol harga air matanya, siapapun yang datang saat ia butuhkan, berapapun mereka akan membayar, tidak pernah ia pikirkan. Bahkan terkadang ada yang menawarnya sepuluh ribu tiga. Entahlah, tiga yang seperti apa, tiga tetes? Tiga liter? Tiga botol? Tidak ada ukuran jelas.
Lucunya lagi, pembelinya juga dari berbagai kalangan. Ada pejabat yang mencari simpati, ada artis yang mendalami peran di televisi, sampai orang yang entah dengan alasan yang lebih entah lagi. Kok ada yang mau beli? Aah, itu urusan mereka.
Jika sepanjang hari tidak ada yang mengajaknya bertransaksi. Ia mampir ke kios di dekat jembatan, menukar air matanya dengan telur, beras dan ikan asin. Kadang juga ia berbelok ke minimarket, menukar air matanya dengan susu untuk bayi. Atau, sesekali ia tukar dengan sebungkus rokok untuk Bambang, berusaha membuat lelaki itu senang..
Sejak kapan air mata menjadi alat tukar di tempat ini?
Mmh... mungkin sejak lama, dan kita terlalu lama menyadari. Bahkan, mungkin ia bukan yang pertama dan satu-satunya.
***
Dia hampir kehabisan air mata, saat ia mendapati Bambang main gila dengan tetangganya. Sedikitpun ia tidak ingin mengeluarkan air matanya, katanya, Bambang dari dulu sudah gila, air matanya lebih baik ia tukar dengan makanan untuk esok. Daripada harus ia tukar dengan keberadaan dan hati Bambang.
"Saya boleh menuliskan kisahmu? Nanti namamu saya ganti Mawar, ya? Atau Anggrek? Atau Kecubung?" Saya mulai tertarik dengan kisahnya, berharap untung dari jualan kata-kata.
"Terserah, jangan bawa nama saya!" Dia meniup-niup mulut mungil bayinya, dada kecilnya tak nampak naik turun.
Saya mulai menyusun abjad demi abjad, menjadi kata. Membolak-balik kata demi kata, menjadi sekalimat. Dan, belum lengkap satu paragraf, saya tertegun melihat dia menangis. Entah, apa bisa disebut tangisan, dengan air mata yang transparan, sangat transparan, dan sinar lampu yang menerpa membuatnya berkilauan seperti berlian.
Untuk pertama kali, saya menyadari, air mata perempuan itu sungguh berarti. Ia baru saja kehilangan segalanya. Adakah yang mencegahnya untuk tidak gila?
* * *
Saya kembali menemui, ketika obat penenang baru saja mengaliri nadinya. Ketika kisah-kisah lusuh dan surel penuh tanda seru berlarian di dalam kepala saya. Wajahnya tidak tampak sedih, tidak tampak senang, hanya terlihat lebih tenang. Matanya menerawang jauh, melewati jendela kaca yang muram oleh hujan sepanjang Februari.
"Kamu ngapain di sini?" Dia membuka suara, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Jual kata-kata, siapa tahu laku, atau bisa jadi buku."
"Aku tidak minat membeli kata-katamu."
"Saya memang tidak berniat menjualnya padamu, sama seperti saya tidak tertarik dengan air matamu meski kamu berikan cuma-cuma."
"Lalu?"
"Saya bingung bagian akhirnya, ada saran? Barangkali kamu mau menemukan cintamu yang jatuh pada entah, lalu menjualnya, saya mau jadi pembeli pertama."
Dia menatap saya, matanya berbinar, seperti sinar hangat setelah badai. Di saat kami sama-sama tenang seperti ini, kami bisa berbincang lebih jauh. Meski bagi orang-orang yang mengaku perawat dan dokter itu, tidak lebih dari obrolan absurd dua penghuni rumah sakit jiwa.