Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen: Amplitudo

17 Maret 2016   23:43 Diperbarui: 18 Maret 2016   00:12 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Aku tahu kamu lapar, kamu boleh menghabiskan makananmu. Hanya saja, tetap perhatikan cara makanmu.” Aku mengingatkan dia agar tidak membawa kebiasaan buruknya di meja makan.

Ada beberapa sikap Yuri yang terkesan kampungan, untuk itu aku terus mengingatkannya. Bagaimana dia harus menjaga sikapnya di mana pun. Aku juga selalu memberi tahu, apa yang harus dia kenakan, apa yang harus dia katakan, yang harus dia lakukan saat ia aku minta menemaniku.

Aku berhak atas itu, aku tunangannya. Aku tidak mau orang-orang membicarakan kekurangan Yuri di belakangku. Aku tidak mau Yuri tetap membawa sikap-sikap yang kurang di tengah keluargaku. Ini bukan tentang aku tidak bisa menerima kekurangan dia. Jika ada hal yang kurang, namun bisa diperbaiki. Apa salahnya? Apa salahnya berubah menjadi lebih baik?

***

#Yuri

“Danke.” Ucapku saat Hertz membukakan pintu mobilnya untukku. “Kamu langsung balik?” tanyaku kemudian.

“Iya, aku langsung balik. Ibumu sedang tidak ada di rumah. Aku justru merasa tidak enak kalau harus menemanimu.”

Itu yang aku suka dari Hertz, dia tahu adat, tahu aturan yang berlaku di sini. Dia menjaga sebaik mungkin hubungan kami. 

“Hati-hati ya, telepon aku kalau sudah sampai di rumah.” Aku melambaikan tangan ke arahnya. Sebenarnya, tanpa diingatkan Hertz juga akan selalu menelepon saat dia sudah sampai.

Aku tetap berdiri di halaman, melihat mobil Hertz yang perlahan menjauh. Lalu, ia menyatu dengan kendaraan lain. Lama aku menatapnya, perlahan aku merasa ada bagian diriku yang mulai lenyap. Perlahan, seperti ombak yang terus menerus menghantam karang. Dulu memang tidak terlihat, tapi kini semua nampak jelas.

Hertz mengambil kendali penuh atas diriku. Dulu ia hanya mengatur cara berpakaianku, aku bisa maklum hal itu. Aku bisa menahan rasa sakit di tumitku setiap memakai sepatu pilihannya. Aku harus tetap menegakkan kepala dan tersenyum, meskipun aku merasa tidak nyaman dengan baju pilihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun