Hertz bilang sebentar lagi akan mencari tempat makan. Bisa kutebak, kalau soal tempat makan dan menu makanan dia tidak akan seenaknya memutuskan. Hertz lebih menyukai tempat makan di mana ia bisa melihat ikannya masih berenang di kotak kaca. Semacam aquarium yang dibuat bersekat-sekat, diberi nama sesuai jenis ikannya.
Lalu, hertz akan menunjuk ikan yang dia mau. Pelayan akan mengambilkan untuknya, menimbang berat ikan pilihannya, lalu pelayan akan kembali bertanya ikan tersebut mau dimasak apa.
Sementara aku hanya duduk, menunggu semua pesanan siap dan disajikan. Ya, semuanya pilihan Hertz. Dia tidak akan bertanya aku ingin makan apa, atau makan di mana. Setidaknya itu lebih baik, daripada aku mengatakan ingin makan di rumah saja. Karena artinya aku harus menahan lapar, aku harus masuk angin, dan saat sampai di rumah semua selera makanku akan hilang.
“Kenapa kamu memilih ikan sebesar ini, Sayang?” aku terkejut saat pelayan membawa seporsi besar ikan yang entah dimasak dengan bumbu apa. Dari aromanya, aku tahu ikan itu pasti enak, tanpa perlu aku tahu bumbunya.
“Sebagai ganti dihapusnya cemilan di dalam mobil, Sayang.” Jawab Hertz dengan senyum lebar, memperlihatkan barisan giginya yang bersih dan rapi. Sudah kubilang, bagian apa pun dari Hertz memang sengaja diciptakan Tuhan serapi mungkin.
“Aku tidak yakin bisa menghabiskan seporsi besar ini sendirian.”
“Aku sangat yakin, Sayang. Coba saja dulu, nanti setelah kamu tahu rasanya kamu pasti tidak akan menyisakan sedikit pun.”
Benar juga kata Hertz, aromanya saja sudah membuatku yakin kalau masakan ini pasti enak. Hanya Hertz berlebihan dengan mengatakan aku tidak akan menyisakan sedikit pun. Aku tidak serakus itu hingga duri-duri ikan juga ikut aku telan.
***
#Hertz
Lucu juga melihat wajah kaget Yuri saat aku menyuruh dia menghabiskan seporsi besar makanannya.