Mohon tunggu...
Juli Antonius Sihotang
Juli Antonius Sihotang Mohon Tunggu... Lainnya - Perantau-Peziarah Hidup

Spiritualitas, Iman Katolik, Kaum Muda Katolik Artikel saya yang lain dapat dilihat di: https://scholar.google.co.id/citations?user=_HhzkJ8AAAAJ&hl=en

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keugaharian dan Kerendahan Hati: Jalan Mencapai Kebahagiaan dan Mengalahkan Budaya Konsumtif

29 Mei 2023   20:49 Diperbarui: 29 Mei 2023   20:53 1864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendahuluan

Dalam tradisi kekristenan, keugaharian[1] merupakan salah satu dari empat keutamaan moral kardinal. Melaluinya seseorang mampu menyangkal diri dari keinginan-keinginan nafsu seksual-duniawi yang tidak teratur karena menyadari bahwa itu semua hanya akan membawa hidupnya pada kesesatan dan dosa. Keugaharian[2] disebut juga pengendalian diri dapat dikatakan menjadi disposisi batin yang urgen karena de facto hingga sekarang masih banyak orang kesulitan untuk bersyukur dan mengatakan cukup atas hidupnya, istimewanya dengan segala macam tawaran duniawi yang tersedia dalam realitas kehidupan sehari-hari.[3] Dampaknya kemudian melahirkan ketimpangan sosial di berbagai aspek kehidupan bersama, terutama karena budaya konsumtif yang telah mewabah, sekalipun tidak sedikit orang yang hidup dalam penderitaan dan kemelaratan akibat mengalami kekurangan makanan-minuman, pakaian, maupun tempat tinggal.

 

Di samping keugaharian, kerendahan hati juga berperan penting dalam kehidupan manusia, sebab di dalamnya terjadi proses pengenalan diri sejati yang dikembangkan lewat praktik hidup bersama dengan orang lain. Kebersamaan dengan orang lain membangkitkan kesadaran setiap orang supaya tidak hanya berbagi mengenai hal-hal yang baik dalam dirinya, tetapi kepercayaan bahwa Allah menciptakan manusia karena pemeliharaan-Nya. Mereka adalah anak-anak Allah yang diciptakan, jatuh dalam dosa, lalu ditebus, namun sungguh dikasihi.[4] Lebih lanjut, kerendahan hati membimbing seseorang untuk terus berjuang mengalahkan tendensi alamiah manusia yang menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan tidak membutuhkan pertolongan ilahi dalam segala usahanya.[5] 

 

Dengan demikian, kebahagiaan tidak dapat disangkal merupakan keinginan hati terdalam setiap orang (apa pun status, RAS, maupun keadaan hidupnya). Pencarian dan pergulatan mengenai arti dan kebahagiaan itu sendiri telah mandarah-daging dalam sejarah hidup umat manusia, sehingga secara instingtif terhubung erat dengan batinnya.[6] Akan tetapi, sering kali kebahagiaan yang dicari membuat seseorang tidak mau dan takut menghadapi kemalangan maupun penderitaan dalam peziarahan hidup. Sikap yang kemudian mengarahkan hidupnya pada kebahagiaan semu-sementara lewat pemuasan nafsu, baik itu seksual maupun materialisme. Pada akhirnya, kebahagiaannya tidak lain adalah hidup dalam kesenangan (hedonisme) dan budaya konsumtif.

 

Ensiklik Laudato Si' art. 222-227

Ensiklik Laudato Si' merupakan salah satu dokumen Gereja yang membahas mengenai alam sebagai rumah bersama seluruh umat manusia, yang ditulis oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015.[7] Penjabaran isinya terdiri dari enam bab: bab satu 'Apa yang Terjadi dengan Rumah Kita', bab dua 'Injil Penciptaan', bab tiga 'Akar Manusiawi Krisis Ekologi', bab empat 'Ekologi Integral', bab lima 'Beberapa Pedoman Orientasi dan Aksi' dan bab enam 'Pendidikan dan Spiritualitas Ekologis'. Garis besar dari keseluruhan dokumen adalah ajakan Paus kepada seluruh umat manusia di mana pun mereka berada, terutama para pemimpin negara supaya bersama-sama menjaga alam, sehingga keutuhan dan keindahannya senantiasa dijaga-dipelihara. Dengan demikian dapat dilihat, dinikmati, dan menjadi tempat tinggal yang baik bagi generasi selanjutya (anak cucu).

 

Artikel 222-227 yang diangkat dalam karya tulis ini merupakan studi pertama yang baru dilakukan dengan alasan bahwa penjabaran di dalamnya memiliki isi yang sungguh bermakna bagi keberlangsungan hidup manusia, terutama agar setiap orang maupun kelompok mampu mencapai kegembiraaan dan damai dalam hidup bersama terkait dengan keberadaan alam sebagai tempat tinggal bagi semua insan.

 

Paus kemudian menunjukkan bahwa kegembiraan dan damai dapat diwujudkan lewat spiritualitas Kristiani yang selama ini telah dihayati dalam tradisi Gereja, yakni gaya hidup kenabian dan kontemplatif. Praktik kerohanian mengembangkan keugaharian dalam realitas hidup sehari-hari, sehingga mampu mensyukuri hal-hal kecil dan sederhana di sekitarnya. Sikap bersyukur selanjutnya membangkitkan kerendahan hati seseorang agar tidak mudah terperangkap untuk merajai segala sesuatu tanpa batas. Ia menemukan kebahagiaan sejati di dalamnya, bukan pada budaya konsumtif yang telah berkembang pesat dewasa ini.

Keugaharian dan Kerendahan Hati: Jalan Mencapai Kebahagiaan 

Dalam perubahan-perkembangan dunia akhir-akhir ini, gaya hidup (lifestyle) menjadi topik pembicaraan yang tidak pernah usang untuk diperdebatkan karena menjadi urusan pribadi sekaligus masyarakat sebagai suatu komunitas, sekalipun kenyataannya lebih pada urusan khalayak ramai. Suatu cara hidup pasti akan mempengaruhi orang lain di lingkungan mana seseorang maupun kelompok menerapkannya, sehingga bukan hanya mengenai persoalan pribadi, melainkan bersama karena kenyatannya suatu kebiasaan baik pasti akan menciptakan masyarakat yang baik dan sebaliknya.[8]

 

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si' art 222-227 mendorong semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menghayati gaya hidup kenabian dan kontemplatif supaya mampu menghayati sukacita dengan lebih mendalam tanpa antusiasme budaya konsumtif, sehingga setiap orang memiliki keyakinan bahwa 'kurang adalah lebih'. Oleh sebab itu, hidup-bertumbuh dalam keugaharian memampukan seseorang begembira dengan apa yang tidak banyak (sedikit), sebab hidup dalam kesederhanaan mendorongnya menghargai hal-hal kecil dan berterima kasih atas kesempatan hidup tanpa menjadikan berhala apa yang dimilikinya, apalagi bersedih dengan berbagai sesuatu yang tidak ada padanya.[9]

 

Menghayati keugaharian dengan sadar dan bebas lebih lanjut akan melahirkan kemerdekaan diri,[10] bukan berada dalam berbagai kekurangan atau intensitas rendah, melainkan sebaliknya.[11] Pada kenyataannya, seseorang yang mampu menikmati setiap momen dan menemukan kebahagiaan dalam hidup adalah pribadi yang berhenti untuk mencatuk di sana-sini atau mencari apa yang tidak dimilikinya, sehingga dengan tegas mengatakan cukup terhadap tawaran duniawi yang menggodanya. Ia menghargai orang lain, permasalahan-permasalahan yang hadir, belajar berelasi, dan menikmati segala sesuatu yang sederhana. Siapa pun mampu menerapkan hidup secara instensif, sekalipun tidak mempunyai banyak hal dihidupnya, ketika menemukan kelegaan dalam pertemuan persaudaraan, pelayanan, pengembangan bakat, alam, dan doa.[12]

 

Selain keugaharian, kerendahan hati merupakan sikap batin agar secara terus-menerus berusaha mengalahkan tendensi alamiah manusia yang menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan tidak membutuhkan campur tangan ilahi dalam segala usahanya.[13] Oleh sebab itu, kerendahan hati yang tidak memadai mengubah seseorang berada dalam kesombongan buta. Sebaliknya, apabila terlalu berlebihan akan membuatnya rendah diri.[14] Seseorang akan berkembang dalam kerendahan hati sejati ketika dihayati bersama orang lain, sebab ia membuka mata (hatinya) untuk melihat bagaimana Tuhan melakukan banyak hal yang mengagumkan dalam kehidupan orang lain.[15] Yesus sendiri mengajar para murid untuk bersikap rendah hati, baik itu mengenai tempat yang paling rendah[16] maupun melalui perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai.[17] Pada akhirnya, Yesus mengundang setiap orang untuk percaya akan Dia karena kerendahan hati-Nya.[18]

 

Menurut Paus Fransiskus keugaharian dan kerendahan hati tidak merasakan tanggapan pada abad terakhir, tetapi ketika suatu kebajikan tidak dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan sosial yang melahirkan distingsi di berbagai aspek kehidupan, terutama ketidakseimbangan ekologis. Ia kemudian mengajak siapa pun untuk berani menyampaikan persoalan-persoalan terkait integritas hidup manusia, sebab hilangnya kerendahan hati manusia mengarahkannya pada sikap penguasaan segala sesuatu tanpa batas, yang tentunya menimbulkan kemerosotan lingkungan. Namun demikian, Paus menyadari bahwa bukan suatu hal yang mudah menghayati sekaligus mengembangkan kerendahan hati dan keugaharian saat ini, apalagi jika setiap orang menganggap dirinya otonom sekaligus penguasa, mengabaikan Allah dari hidupya, bahkan menggantikan posisi-Nya.[19]

 

Setiap orang akan kesulitan menumbuhkan hidup yang sederhana dan bahagia, apabila tidak berdamai terlebih dahulu dengan dirinya sendiri. Namun, kedamaian batin tidak dapat dilepaskan dari tindakan untuk memelihara lingkungan dan mengusahakan kesejahteraan umum, sebab penghayatan yang mendalam diperoleh dari gaya hidup balance yang disertai kemampuan mengagumi berbagai hal maupun peristiwa di sekitar hidupnya.[20] Ia memiliki keyakinan bahwa suatu kesalahan besar dan kebodohan apabila menjadikan kesuksesan, kesenangan, kenikmatan dan kepuasan sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan baginya adalah hidup sesuai dengan kodrat,[21] yang ditunjukkan di dalam kewajiban-kewajiban, hidup pantas, dan jujur.[22]     

Kebahagiaan Sejati dan (Mengalahkan) Budaya Konsumtif

Dalam sejarah hidup manusia, kebahagiaan menjadi tujuan utama yang hendak dicapai oleh setiap orang, yang biasanya ditemukan dalam berbagai bentuk dan kepuasan, tergantung kebahagiaan seperti apa yang diharapkannya. Perkembangan zaman kemudian tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam mewujudkan kebahagiaan yang sebelum-selama ini dicita-citakannya. Sehubungan dengan ensiklik Laudato Si' yang menjadi bahan utama penjabaran tulisan ini, dapat dilihat bahwa kebahagiaan banyak orang masih bergulat pada berbagai kesenangan duniawi, apalagi dalam budaya konsumtif.

 

Budaya konsumtif bahkan telah berkembang secara masif dalam kehidupan global, sehingga mendorong pribadi maupun kelompok menghalalkan hidup boros, padahal situasi sesama di sekitarnya hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan, yang mengakibatkan kesenjangan yang tidak manusiawi satu sama lain.[23] Perilaku konsumtif mengubah seseorang menjadi pribadi yang hanya tahu-mampu memakai sekaligus tidak mampu menghasilkan, sehingga sangat bergantung pada produksi pihak lain.[24] Tindakannya tidak lagi didasarkan pada pertimbangan rasional karena dikuasai oleh keinginan besar yang tidak masuk akal.[25] Ia menghendaki-membeli sesuatu bagi diri maupun kelompoknya bukan terdorong kebutuhan, melainkan gengsi, ikut-ikutan (tren zaman), hedonisme, menumpuk barang-barang dan kepuasan diri yang superficial (dangkal).

 

Perubahan zaman (situasi saat ini) terus membangkitkan perasaan ketidakpastian, dilema, maupun ketidakamanan dalam berbagai aspek kehidupan, yang kemudian melahirkan-menggiring bentuk-bentuk egoisme 'berjemaah'. Orang-orang memiliki prinsip hidup hanya bagi diri-pemikiran-kelompoknya, keserakahan, tawar hati terhadap sesama, tergila-tergila untuk membeli, menggenggam, dan mengkosumsi barang-barang duniawi. Berbagai sikap buruk yang tidak hanya merusak relasi dengan orang lain (krisis sosial), tetapi juga menimbulkan cuaca dan bencana alam yang besar. Dengan kata lain, budaya konsumtif selalu melahirkan kekerasan dan tindakan saling menghancurkan karena in se buruk-merugikan serta tidak semua orang dapat menikmati gaya hidup yang demikian.[26]

 

Padahal kenyatannya, manusia merupakan pribadi yang relasional, sekalipun memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. akan tetapi, ia tidak dapat hidup tanpa komunitas, sebab di dalamnya terjalin persekutuan. Pribadi yang satu dan lainnya diciptakan untuk suatu pertemuan timbal-balik, sehingga tanpa adanya pertemuan, maka hidup tidak dapat dipertahankan lagi.[27] Pemahaman yang berbicara mengenai situasi batin seseorang yang menghayati segalanya dengan jujur, kemudian membuatnya mampu hadir bagi orang lain tanpa memiliki niat yang buruk karena menyerahkan diri seutuhnya sebagai anugerah Allah.[28] Kebahagiaannya terletak pada bagaimana dirinya hadir, peduli, dan empati kepada orang-orang yang hadir di sekitar hidupnya, bukan hanya untuk diri-kelompoknya sendiri.

 

Seseorang mampu bersyukur kepada Allah atas segala sesuatu yang dimilikinya, sekalipun tidak lengkap, banyak, maupun mewah. Akan tetapi ia tetap peka terhadap kebutuhan sesamanya yang sangat berkekurangan-melarat dan hidup dalam solidaritas yang teguh karena menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah serta bergantung pada belaskasih dan rahmat-Nya.[29] Kenyataan yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan dan kerinduan untuk mencapai suatu tujuan tertinggi, yang merupakan kebahagian sejati. Namun, hal tersebut tidak ditemukan pada berbagai kegiatan intelektual praktis maupun karya kreatif manusia, melainkan dalam kontemplasi akan Allah. Melaluinya, ia dipenuhi kebahagiaan yang tidak terhingga-terucapkan, sehingga tidak menginginkan apa-apa lagi dalam hidupnya. Kebahagiaan (sejati) yang telah dimilikinya merupakan partisipasi dalam kehidupan dan kebahagiaan Allah, yang akan membawanya pada kesempurnaan hidup.[30]

 

Penutup

Kebahagiaan tentunya menjadi keinginan sekaligus tujuan setiap orang selama peziarahan hidupnya di dunia. Oleh sebab itu, ia akan mengusahakan berbagai sarana maupun cara untuk dapat mewujudkannya. Namun, melalui sejarah kehidupan dapat dilihat bahwa kebahagiaan manusia sering kali terletak pada kesenangan dan pemuasan nafsu yang sempit-tidak teratur. Kenyataan ini terealisasi pada perilaku budaya konsumtif masyarakat global yang terus berkembang hingga sejauh ini, sehingga menyebabkan kehancuran alam dan relasi seseorang dengan sesamanya. Seseorang (kelompok) hanya mementingkan hidupnya, sehingga tidak peduli dengan orang-orang maupun dunia sekitarnya. Dengan demikian ia tidak mampu bersikap ugahari dan rendah hati dalam hidupnya, padahal keutamaan tersebut adalah jalan mencapai kebahagiaan karena melaluinya seseorang mampu bersyukur dalam hal-hal kecil-sederhana dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun