Menurut Paus Fransiskus keugaharian dan kerendahan hati tidak merasakan tanggapan pada abad terakhir, tetapi ketika suatu kebajikan tidak dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan sosial yang melahirkan distingsi di berbagai aspek kehidupan, terutama ketidakseimbangan ekologis. Ia kemudian mengajak siapa pun untuk berani menyampaikan persoalan-persoalan terkait integritas hidup manusia, sebab hilangnya kerendahan hati manusia mengarahkannya pada sikap penguasaan segala sesuatu tanpa batas, yang tentunya menimbulkan kemerosotan lingkungan. Namun demikian, Paus menyadari bahwa bukan suatu hal yang mudah menghayati sekaligus mengembangkan kerendahan hati dan keugaharian saat ini, apalagi jika setiap orang menganggap dirinya otonom sekaligus penguasa, mengabaikan Allah dari hidupya, bahkan menggantikan posisi-Nya.[19]
Â
Setiap orang akan kesulitan menumbuhkan hidup yang sederhana dan bahagia, apabila tidak berdamai terlebih dahulu dengan dirinya sendiri. Namun, kedamaian batin tidak dapat dilepaskan dari tindakan untuk memelihara lingkungan dan mengusahakan kesejahteraan umum, sebab penghayatan yang mendalam diperoleh dari gaya hidup balance yang disertai kemampuan mengagumi berbagai hal maupun peristiwa di sekitar hidupnya.[20] Ia memiliki keyakinan bahwa suatu kesalahan besar dan kebodohan apabila menjadikan kesuksesan, kesenangan, kenikmatan dan kepuasan sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan baginya adalah hidup sesuai dengan kodrat,[21] yang ditunjukkan di dalam kewajiban-kewajiban, hidup pantas, dan jujur.[22] Â Â Â
Kebahagiaan Sejati dan (Mengalahkan) Budaya Konsumtif
Dalam sejarah hidup manusia, kebahagiaan menjadi tujuan utama yang hendak dicapai oleh setiap orang, yang biasanya ditemukan dalam berbagai bentuk dan kepuasan, tergantung kebahagiaan seperti apa yang diharapkannya. Perkembangan zaman kemudian tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam mewujudkan kebahagiaan yang sebelum-selama ini dicita-citakannya. Sehubungan dengan ensiklik Laudato Si' yang menjadi bahan utama penjabaran tulisan ini, dapat dilihat bahwa kebahagiaan banyak orang masih bergulat pada berbagai kesenangan duniawi, apalagi dalam budaya konsumtif.
Â
Budaya konsumtif bahkan telah berkembang secara masif dalam kehidupan global, sehingga mendorong pribadi maupun kelompok menghalalkan hidup boros, padahal situasi sesama di sekitarnya hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan, yang mengakibatkan kesenjangan yang tidak manusiawi satu sama lain.[23] Perilaku konsumtif mengubah seseorang menjadi pribadi yang hanya tahu-mampu memakai sekaligus tidak mampu menghasilkan, sehingga sangat bergantung pada produksi pihak lain.[24] Tindakannya tidak lagi didasarkan pada pertimbangan rasional karena dikuasai oleh keinginan besar yang tidak masuk akal.[25] Ia menghendaki-membeli sesuatu bagi diri maupun kelompoknya bukan terdorong kebutuhan, melainkan gengsi, ikut-ikutan (tren zaman), hedonisme, menumpuk barang-barang dan kepuasan diri yang superficial (dangkal).
Â
Perubahan zaman (situasi saat ini) terus membangkitkan perasaan ketidakpastian, dilema, maupun ketidakamanan dalam berbagai aspek kehidupan, yang kemudian melahirkan-menggiring bentuk-bentuk egoisme 'berjemaah'. Orang-orang memiliki prinsip hidup hanya bagi diri-pemikiran-kelompoknya, keserakahan, tawar hati terhadap sesama, tergila-tergila untuk membeli, menggenggam, dan mengkosumsi barang-barang duniawi. Berbagai sikap buruk yang tidak hanya merusak relasi dengan orang lain (krisis sosial), tetapi juga menimbulkan cuaca dan bencana alam yang besar. Dengan kata lain, budaya konsumtif selalu melahirkan kekerasan dan tindakan saling menghancurkan karena in se buruk-merugikan serta tidak semua orang dapat menikmati gaya hidup yang demikian.[26]
Â
Padahal kenyatannya, manusia merupakan pribadi yang relasional, sekalipun memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. akan tetapi, ia tidak dapat hidup tanpa komunitas, sebab di dalamnya terjalin persekutuan. Pribadi yang satu dan lainnya diciptakan untuk suatu pertemuan timbal-balik, sehingga tanpa adanya pertemuan, maka hidup tidak dapat dipertahankan lagi.[27] Pemahaman yang berbicara mengenai situasi batin seseorang yang menghayati segalanya dengan jujur, kemudian membuatnya mampu hadir bagi orang lain tanpa memiliki niat yang buruk karena menyerahkan diri seutuhnya sebagai anugerah Allah.[28] Kebahagiaannya terletak pada bagaimana dirinya hadir, peduli, dan empati kepada orang-orang yang hadir di sekitar hidupnya, bukan hanya untuk diri-kelompoknya sendiri.