Â
Paus kemudian menunjukkan bahwa kegembiraan dan damai dapat diwujudkan lewat spiritualitas Kristiani yang selama ini telah dihayati dalam tradisi Gereja, yakni gaya hidup kenabian dan kontemplatif. Praktik kerohanian mengembangkan keugaharian dalam realitas hidup sehari-hari, sehingga mampu mensyukuri hal-hal kecil dan sederhana di sekitarnya. Sikap bersyukur selanjutnya membangkitkan kerendahan hati seseorang agar tidak mudah terperangkap untuk merajai segala sesuatu tanpa batas. Ia menemukan kebahagiaan sejati di dalamnya, bukan pada budaya konsumtif yang telah berkembang pesat dewasa ini.
Keugaharian dan Kerendahan Hati: Jalan Mencapai KebahagiaanÂ
Dalam perubahan-perkembangan dunia akhir-akhir ini, gaya hidup (lifestyle) menjadi topik pembicaraan yang tidak pernah usang untuk diperdebatkan karena menjadi urusan pribadi sekaligus masyarakat sebagai suatu komunitas, sekalipun kenyataannya lebih pada urusan khalayak ramai. Suatu cara hidup pasti akan mempengaruhi orang lain di lingkungan mana seseorang maupun kelompok menerapkannya, sehingga bukan hanya mengenai persoalan pribadi, melainkan bersama karena kenyatannya suatu kebiasaan baik pasti akan menciptakan masyarakat yang baik dan sebaliknya.[8]
Â
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si' art 222-227 mendorong semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menghayati gaya hidup kenabian dan kontemplatif supaya mampu menghayati sukacita dengan lebih mendalam tanpa antusiasme budaya konsumtif, sehingga setiap orang memiliki keyakinan bahwa 'kurang adalah lebih'. Oleh sebab itu, hidup-bertumbuh dalam keugaharian memampukan seseorang begembira dengan apa yang tidak banyak (sedikit), sebab hidup dalam kesederhanaan mendorongnya menghargai hal-hal kecil dan berterima kasih atas kesempatan hidup tanpa menjadikan berhala apa yang dimilikinya, apalagi bersedih dengan berbagai sesuatu yang tidak ada padanya.[9]
Â
Menghayati keugaharian dengan sadar dan bebas lebih lanjut akan melahirkan kemerdekaan diri,[10] bukan berada dalam berbagai kekurangan atau intensitas rendah, melainkan sebaliknya.[11] Pada kenyataannya, seseorang yang mampu menikmati setiap momen dan menemukan kebahagiaan dalam hidup adalah pribadi yang berhenti untuk mencatuk di sana-sini atau mencari apa yang tidak dimilikinya, sehingga dengan tegas mengatakan cukup terhadap tawaran duniawi yang menggodanya. Ia menghargai orang lain, permasalahan-permasalahan yang hadir, belajar berelasi, dan menikmati segala sesuatu yang sederhana. Siapa pun mampu menerapkan hidup secara instensif, sekalipun tidak mempunyai banyak hal dihidupnya, ketika menemukan kelegaan dalam pertemuan persaudaraan, pelayanan, pengembangan bakat, alam, dan doa.[12]
Â
Selain keugaharian, kerendahan hati merupakan sikap batin agar secara terus-menerus berusaha mengalahkan tendensi alamiah manusia yang menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan tidak membutuhkan campur tangan ilahi dalam segala usahanya.[13] Oleh sebab itu, kerendahan hati yang tidak memadai mengubah seseorang berada dalam kesombongan buta. Sebaliknya, apabila terlalu berlebihan akan membuatnya rendah diri.[14] Seseorang akan berkembang dalam kerendahan hati sejati ketika dihayati bersama orang lain, sebab ia membuka mata (hatinya) untuk melihat bagaimana Tuhan melakukan banyak hal yang mengagumkan dalam kehidupan orang lain.[15] Yesus sendiri mengajar para murid untuk bersikap rendah hati, baik itu mengenai tempat yang paling rendah[16] maupun melalui perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai.[17] Pada akhirnya, Yesus mengundang setiap orang untuk percaya akan Dia karena kerendahan hati-Nya.[18]
Â