Generasi Z, generasi yang lahir di era digital, seringkali diidentikkan dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out) dan JOMO (Joy of Missing Out). Kedua konsep ini sangat relevan untuk dibahas dalam konteks kehidupan kerja mereka.
Generasi Z, anak-anak digital yang lahir dan tumbuh di era informasi yang melimpah, memiliki hubungan yang unik dengan konsep waktu dan pengalaman. Diterpa oleh notifikasi yang tak henti, update status yang silih berganti, dan pilihan hiburan yang tak terbatas, mereka seringkali merasa terdorong untuk selalu terlibat dan tidak ingin ketinggalan.
Inilah inti dari FOMO, ketakutan akan kehilangan momen-momen berharga yang terjadi di sekitar mereka. Di tempat kerja, FOMO ini dapat memanifestasikan diri dalam bentuk keinginan untuk selalu terhubung, menjawab email dengan segera, dan menghadiri setiap rapat, bahkan jika tidak terlalu relevan.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, generasi Z juga mulai menyadari bahwa selalu terhubung dan mengejar segala sesuatu justru bisa membuat mereka kelelahan. Mereka mulai merindukan ketenangan, fokus, dan waktu untuk diri sendiri.
Inilah munculnya JOMO, kebahagiaan dalam melewatkan sesuatu. JOMO menawarkan perspektif yang menyegarkan, bahwa tidak semua hal perlu diikuti dan tidak apa-apa jika ada beberapa kesempatan yang terlewatkan.
Di dunia kerja, JOMO mendorong generasi Z untuk lebih selektif dalam memilih tugas, menetapkan batas waktu kerja, dan memprioritaskan keseimbangan hidup.
FOMO dan JOMO bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sisi dari koin yang sama. Generasi Z seringkali mengalami fluktuasi antara keduanya tergantung pada situasi dan konteks.
Pada satu sisi, mereka ingin merasakan sensasi FOMO, yaitu terlibat dalam berbagai aktivitas dan merasakan semangat komunitas. Di sisi lain, mereka juga ingin merasakan kedamaian JOMO, yaitu fokus pada tujuan pribadi dan menikmati waktu untuk diri sendiri.
Penting bagi perusahaan untuk memahami dinamika FOMO dan JOMO pada generasi Z. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang fleksibel, mendukung keseimbangan hidup, dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri, perusahaan dapat membantu generasi Z menemukan keseimbangan antara keduanya.
Selain itu, perusahaan juga perlu memberikan edukasi mengenai manajemen waktu dan prioritas, sehingga karyawan dapat lebih bijak dalam memilih aktivitas dan menghindari perasaan terbebani.
Mari kita bedah lebih lanjut bagaimana FOMO dan JOMO mempengaruhi perilaku generasi Z di tempat kerja:
FOMO di Tempat Kerja
FOMO di Tempat Kerja: Ancaman Silen Produktivitas
FOMO atau Fear of Missing Out di tempat kerja telah menjadi fenomena yang semakin umum, terutama di kalangan generasi muda.Â
Ketakutan akan kehilangan peluang, pengakuan, atau informasi penting mendorong individu untuk terus terhubung dengan pekerjaan, bahkan di luar jam kerja. Hal ini memicu berbagai konsekuensi negatif, mulai dari penurunan produktivitas hingga masalah kesehatan mental.
Salah satu dampak paling nyata dari FOMO di tempat kerja adalah penurunan kualitas kerja. Ketika individu terlalu fokus pada apa yang mungkin mereka lewatkan, konsentrasi mereka terhadap tugas yang sedang dikerjakan menjadi terganggu.
Mereka cenderung mudah teralihkan oleh notifikasi, email, atau pesan instan yang masuk, sehingga sulit untuk menyelesaikan pekerjaan dengan efisien. Selain itu, FOMO juga dapat memicu perasaan terburu-buru dan stres yang berlebihan, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hasil kerja.
FOMO juga dapat memicu persaingan yang tidak sehat di antara rekan kerja. Individu yang terjebak dalam lingkaran FOMO cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain dan merasa tidak cukup baik.
Hal ini dapat memicu perasaan iri, dengki, dan keinginan untuk selalu tampil lebih baik. Akibatnya, hubungan antar rekan kerja menjadi tegang dan kolaborasi menjadi sulit terjalin.
Dampak jangka panjang dari FOMO di tempat kerja tidak hanya terbatas pada kinerja individu, tetapi juga pada kesejahteraan mental. Stres kronis yang disebabkan oleh FOMO dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan tidur.
Selain itu, FOMO juga dapat menyebabkan gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurang tidur, pola makan yang buruk, dan kurangnya aktivitas fisik.
JOMO di Tempat Kerja
JOMO di Tempat Kerja: Menikmati Kehidupan di Luar Jam Kerja
Konsep JOMO atau Joy of Missing Out semakin populer di kalangan generasi muda, khususnya generasi Z. Di lingkungan kerja, JOMO merepresentasikan sebuah sikap yang lebih santai dan seimbang.
Alih-alih merasa tertekan untuk selalu online, mengejar deadline ketat, atau mengikuti setiap tren terbaru di industri, individu yang menganut JOMO lebih memilih untuk menikmati waktu luang mereka, mengejar minat pribadi, dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan orang-orang di sekitar mereka.
JOMO adalah sebuah pilihan gaya hidup yang dapat membawa dampak positif bagi kesejahteraan kita. Dengan menerapkan prinsip-prinsip JOMO di tempat kerja, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.
Namun, penting untuk diingat bahwa JOMO bukanlah tentang menjadi malas atau menghindari tanggung jawab. JOMO adalah tentang menemukan keseimbangan yang tepat antara kehidupan profesional dan pribadi.
Tergantung atau Keduanya?
Tergantung atau Keduanya? Pertanyaan ini membawa kita pada pemahaman yang lebih nuansa tentang pengalaman generasi Z di dunia kerja. Faktanya, FOMO dan JOMO bukan sekadar label yang menempel secara permanen pada individu, melainkan fluktuasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal.
Faktor Internal
Kepribadian memainkan peran yang sangat signifikan. Individu dengan sifat kompetitif, perfeksionis, atau yang memiliki harga diri rendah cenderung lebih rentan terhadap FOMO. Sebaliknya, mereka yang memiliki sifat santai, optimis, dan berorientasi pada tujuan jangka panjang lebih cenderung merasakan JOMO.
Selain itu, tingkat stres, kesehatan mental, dan keseimbangan kerja-hidup juga turut mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk mengalami FOMO atau JOMO.
Faktor Eksternal
Lingkungan kerja memiliki pengaruh yang sangat besar. Budaya perusahaan yang menekankan kompetisi, produktivitas ekstrem, dan ketersediaan 24/7 akan semakin memperkuat perasaan FOMO. Sebaliknya, budaya yang mendorong kolaborasi, keseimbangan, dan pengembangan diri akan lebih mendukung munculnya JOMO.
Beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sosial di tempat kerja, dan ketidakjelasan peran juga dapat memicu FOMO.
Dinamika yang Berubah
Penting untuk diingat bahwa FOMO dan JOMO bukanlah kondisi yang statis. Seseorang dapat mengalami FOMO dalam satu proyek atau tahap karier tertentu, namun kemudian beralih ke JOMO di situasi yang berbeda.
Misalnya, seorang karyawan baru mungkin merasa FOMO untuk membuktikan diri, namun setelah beberapa waktu, ia mungkin lebih fokus pada pengembangan keterampilan dan keseimbangan hidup.
Konsekuensi dari FOMO dan JOMO
Baik FOMO maupun JOMO memiliki konsekuensi yang signifikan bagi individu dan organisasi. FOMO dapat menyebabkan stres, kecemasan, kelelahan, dan penurunan produktivitas.Â
Dalam jangka panjang, FOMO dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental. Di sisi lain, JOMO yang berlebihan juga dapat menghambat pertumbuhan karier dan membuat seseorang merasa tertinggal.
Menemukan Keseimbangan
Tujuan utama adalah menemukan keseimbangan antara FOMO dan JOMO. Ini berarti mampu mengenali dan mengelola perasaan takut ketinggalan, sekaligus menghargai pentingnya waktu luang dan pengembangan diri.
FOMO dan JOMO adalah dua konsep yang saling terkait dan kompleks. Pemahaman yang mendalam tentang dinamika keduanya sangat penting bagi individu dan organisasi.Â
Dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung, perusahaan dapat membantu generasi Z untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, serta memberikan kontribusi yang optimal bagi organisasi.
Kesimpulan
FOMO dan JOMO adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya memiliki dampak yang signifikan terhadap motivasi dan produktivitas kerja generasi Z. Perusahaan perlu memahami dinamika ini dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan.Â
Dengan demikian, generasi Z dapat memberikan kontribusi terbaik mereka bagi perusahaan dan mencapai kesuksesan dalam karier mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H