Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sang Penindas

9 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 9 Mei 2020   08:02 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Stop, jangan lihat aku seperti itu!"

Meski ini peringatan, tapi aku lembut mengatakannya.

"Kenapa?"

"Jangan kamu, biar aku yang menatapmu. Jika itu, aku masih mampu."

Ia tersenyum. Mungkin ia kira aku sedang menggodanya. Tidak, ini serius.

Kulihat ia tersenyum. Bencana bagiku. Tetapi biarlah, kunikmati senyum itu.  Sejurus dengan itu,  ia mengarahkan matanya jauh ke depan. Pada deretan gedung-gedung dihadapannya. Tetapi aku yakin, tidak satupun bangunan-bangunan megah itu menjadi fokusnya.

"Lin, kamu tahu. Jika hari ini aku ke IGD. Hasil diagnosa dokter jaga 99 % pasti mengarah ke kamu penyebabnya."

"Enak aja!" Ia protes, sambil memanyunkan mukanya. Tetap saja, ia mempesona.

"Coba kamu pikir. Jantungku berdegup lebih kencang. Suhu tubuhku menjadi lebih panas. Dan aku mengalami ganggguan tidur, sejak bertemu kamu."

"Mas, mahasiswa semester lima, kok rayuanmu ABG banget sih." Ia tertawa lepas.

Alina. Jurusan bimbingan konseling.  Asal sekolah YSKI. Alamat Banyumanik, Semarang. Alamat tinggal sekarang, Jalan Cemara A no 231. Begitu ia mengisi data yang ada di meja panitia. Dapat !

"Mang, Alina yo." Begitu aku menginformasikan ke salah satu panitia penyambutan, teman akrabku di senat mahasiswa. Ia tersenyum.

"Dasar Gondes !"

Meski mengumpat, ia tahu, ini adalah kode-kode yang biasa ketika menyambut kedatangan mahasiswa baru. Apalagi statusku jelas, jomblo.

"Alina." Ia menyebutkan namanya ketika berdiri di depanku. Meski terpampang juga di kertas karton yang menggantung di dadanya. Sebuah prosesi yang harus dijalani setiap mahasiswa baru di hari terakhir Social Gatherng fakultas. Wawancara. Cara kami merekrut bibit-bibit potensial untuk menjadi kader senat mahasiswa.

 "Menurutku nanti aku akan bergabung di Senat Mahasiswa. Karena sepertinya berorganisasi saat mahasiswa itu menarik. Aku suka." Begitu ia menutup kalimatnya. Mendengarnya, aku lega.

Aku lupa, sejak kapan aku mulai mengakrabi telpon koin yang terpajang di lapangan gang V. Dekat kontrakanku. Kadang harus berbaris diantara para pembantu, yang akan ber-say hello dengan pembantu tetangganya. Tetapi yang kutahu, sejak Alina mulai mengisi hari-hariku.

Kesibukanku bertambah. Tidak lagi hanya kuliah, demonstrasi menentang orde baru, dan rapat-rapat senat. Kali ini aku punya aktifitas baru, menunggu.

Menunggu Alina selesai kuliah dan mengantarnya pulang. Memang hanya itu. Aku tidak berani mengajaknya makan, ngobrol di  kafetaria kampus, atau semacamnya yang banyak dilakukan teman-teman mahasiswa lain. Aku cukup tahu diri, kirimanku sama sekali tidak lancar dari kampung nun jauh di Sumatera sana.

Aku menikmati setiap langkah kaki ketika menyusuri jalan Kemiri dan berakhir di jalan Cemara. Berdiskusi pada hal-hal yang tidak  terlalu penting. Pokok bahasan yang sama sekali berbeda dengan rapat-rapat senat mahasiswa. Tetapi aku tidak tahu, apakah Alina juga menikmati langkah-langkah itu.

"Mas, nanti jangan langsung pulang ya. Aku mau bicara."

Malam itu, ia tidak seriang biasanya.

"Kenapa nggak sekarang aja."  Meski sebenarnya aku senang ia akan menahanku di kosannya lebih lama.

"Nanti saja di kosan."

Alina mengeluarkan beberapa bungkus makanan. Kiriman dari mama katanya. Melihat gelagatnya, ia ingin aku bertahan lebih lama. Seperti biasanya juga, ketika ia ingin aku mendengarkan kisah-kisahnya. Makanan, minuman, itu adalah amunisi yang ia pakai untuk menahanku. Meski tanpa itu semua, aku akan selalu siap sedia untuknya.

"Mas, papa bilang, aku jadi. Harus tahun ini, mungkin bulan depan. Dipercepat."

Mendengarnya, aku hanya terdiam. Kalimat itu sangat berarti bagiku. Singkat, tetapi berdampak besar. Bagiku, entah untuk Alina. Pastinya, ini akan segera menghentikan kebahagianku menikmati jalan-jalan sunyi sepanjang jalan menuju kos Alina. Rasa bahagia yang  belum sepenuhnya menemukan titik puncaknya. Tetapi dipaksa harus melengkungkan gambar grafiknya.

"Kondisinya Mas, kata papa mulai semakin tidak aman."

Bagi seorang demonstran sepertiku, aku paham benar dengan kalimat ini. Bagi gadis secantik Alina, sebenarnya bukan hanya untuk dia, tetapi semua yang seperti Alina, kondisinya memang mulai menggelisahkan.

Isu tentang Kulit kuning dan mata sipit, mulai banyak kudengar. Krisis ekonomi, sudah kea rah krisis politik, dan juga mulai melebar kemana-mana. Ada banyak kepentingan yang bermain dan memainkan peran, aku sama sekali tidak tahu. Mana yang nantinya akan lahir menjadi arus utama. Bagiku dan teman-teman, arus utamanya sudah jelas; turunkan Suharto, hanya itu. Tetapi pasca itu terjadi, tidak ada yang bisa menebak. Sehingga kekuatiran keluarga Alina sangat dapat dipahami.

Sebagai gadis keturunan, Alina tidak sipit, tetapi darah yang mengalir di tubuhnya, tidak mungkin diingkari. Dan memang sama sekali tidak perlu diingkari. Jika belakangan isu-isu rasial mulai didengungkan, juga menjadi fakta yang mencemaskan. BUkan saja keluarga besar Alina, tetapi juga keluarga besar masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia.

Aku hanya diam, tetapi pikiranku menerawang. Alina masih menatapku. Kali ini tatapannya tak tampak lucu. Tetapi tatapannya itu benar-benar menindas perasaanku. Aku mencintainya, dan tidak ingin melepasnya pergi. Memang, Amerika adalah impiannya yang sempat tertunda. Namun caranya bukan seperti sekarang. Barangkali hati ini akan lebih rela.

"Jadi, ini adalah hari-hari terakhir kebersamaan kita dong." Berat, akhirnya kalimat itu terucap juga.

Ia tidak lagi menatapku. Aku lega, karena kini aku punya kesempatan menatapnya. Mengagumi setiap pesona yang terpancar dari wajah cantiknya. Jika aku bersamanya, aku pastikan ini adalah anugerah terindah yang Tuhan beri. Namun aku tidak tahu bagaimana akhirnya kelak, itu urusan Tuhan. Bagianku adalah menikmati apa yang Tuhan sudah anugerahkan saat ini, mensyukuri setiap detiknya bersama dengan Alina.

Suka atau tidak, aku harus merelakannya pergi. Berlalu dari hari-hariku. Tetapi  aku sangat bersyukur dapat bertemu, mengenal, dan mencintainya. Itu cukup bagiku. Bagian dari penggalan cerita bahagiaku. Jika kehidupan adalah perjalanan merajut kisah, aku sudah menemukan satu bagian dari kisahku. Kisah selanjutnya, aku berharap pada Tuhan, Ia memberi aku kekuatan untuk memperjuangkan cintaku. Cinta yang setahuku akan banyak membutuhkan perjuangan.

Kukecup keningnya perlahan. Akupun pamit pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun