"Mang, Alina yo." Begitu aku menginformasikan ke salah satu panitia penyambutan, teman akrabku di senat mahasiswa. Ia tersenyum.
"Dasar Gondes !"
Meski mengumpat, ia tahu, ini adalah kode-kode yang biasa ketika menyambut kedatangan mahasiswa baru. Apalagi statusku jelas, jomblo.
"Alina." Ia menyebutkan namanya ketika berdiri di depanku. Meski terpampang juga di kertas karton yang menggantung di dadanya. Sebuah prosesi yang harus dijalani setiap mahasiswa baru di hari terakhir Social Gatherng fakultas. Wawancara. Cara kami merekrut bibit-bibit potensial untuk menjadi kader senat mahasiswa.
 "Menurutku nanti aku akan bergabung di Senat Mahasiswa. Karena sepertinya berorganisasi saat mahasiswa itu menarik. Aku suka." Begitu ia menutup kalimatnya. Mendengarnya, aku lega.
Aku lupa, sejak kapan aku mulai mengakrabi telpon koin yang terpajang di lapangan gang V. Dekat kontrakanku. Kadang harus berbaris diantara para pembantu, yang akan ber-say hello dengan pembantu tetangganya. Tetapi yang kutahu, sejak Alina mulai mengisi hari-hariku.
Kesibukanku bertambah. Tidak lagi hanya kuliah, demonstrasi menentang orde baru, dan rapat-rapat senat. Kali ini aku punya aktifitas baru, menunggu.
Menunggu Alina selesai kuliah dan mengantarnya pulang. Memang hanya itu. Aku tidak berani mengajaknya makan, ngobrol di  kafetaria kampus, atau semacamnya yang banyak dilakukan teman-teman mahasiswa lain. Aku cukup tahu diri, kirimanku sama sekali tidak lancar dari kampung nun jauh di Sumatera sana.
Aku menikmati setiap langkah kaki ketika menyusuri jalan Kemiri dan berakhir di jalan Cemara. Berdiskusi pada hal-hal yang tidak  terlalu penting. Pokok bahasan yang sama sekali berbeda dengan rapat-rapat senat mahasiswa. Tetapi aku tidak tahu, apakah Alina juga menikmati langkah-langkah itu.
"Mas, nanti jangan langsung pulang ya. Aku mau bicara."
Malam itu, ia tidak seriang biasanya.