"Kenapa nggak sekarang aja."Â Meski sebenarnya aku senang ia akan menahanku di kosannya lebih lama.
"Nanti saja di kosan."
Alina mengeluarkan beberapa bungkus makanan. Kiriman dari mama katanya. Melihat gelagatnya, ia ingin aku bertahan lebih lama. Seperti biasanya juga, ketika ia ingin aku mendengarkan kisah-kisahnya. Makanan, minuman, itu adalah amunisi yang ia pakai untuk menahanku. Meski tanpa itu semua, aku akan selalu siap sedia untuknya.
"Mas, papa bilang, aku jadi. Harus tahun ini, mungkin bulan depan. Dipercepat."
Mendengarnya, aku hanya terdiam. Kalimat itu sangat berarti bagiku. Singkat, tetapi berdampak besar. Bagiku, entah untuk Alina. Pastinya, ini akan segera menghentikan kebahagianku menikmati jalan-jalan sunyi sepanjang jalan menuju kos Alina. Rasa bahagia yang  belum sepenuhnya menemukan titik puncaknya. Tetapi dipaksa harus melengkungkan gambar grafiknya.
"Kondisinya Mas, kata papa mulai semakin tidak aman."
Bagi seorang demonstran sepertiku, aku paham benar dengan kalimat ini. Bagi gadis secantik Alina, sebenarnya bukan hanya untuk dia, tetapi semua yang seperti Alina, kondisinya memang mulai menggelisahkan.
Isu tentang Kulit kuning dan mata sipit, mulai banyak kudengar. Krisis ekonomi, sudah kea rah krisis politik, dan juga mulai melebar kemana-mana. Ada banyak kepentingan yang bermain dan memainkan peran, aku sama sekali tidak tahu. Mana yang nantinya akan lahir menjadi arus utama. Bagiku dan teman-teman, arus utamanya sudah jelas; turunkan Suharto, hanya itu. Tetapi pasca itu terjadi, tidak ada yang bisa menebak. Sehingga kekuatiran keluarga Alina sangat dapat dipahami.
Sebagai gadis keturunan, Alina tidak sipit, tetapi darah yang mengalir di tubuhnya, tidak mungkin diingkari. Dan memang sama sekali tidak perlu diingkari. Jika belakangan isu-isu rasial mulai didengungkan, juga menjadi fakta yang mencemaskan. BUkan saja keluarga besar Alina, tetapi juga keluarga besar masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia.
Aku hanya diam, tetapi pikiranku menerawang. Alina masih menatapku. Kali ini tatapannya tak tampak lucu. Tetapi tatapannya itu benar-benar menindas perasaanku. Aku mencintainya, dan tidak ingin melepasnya pergi. Memang, Amerika adalah impiannya yang sempat tertunda. Namun caranya bukan seperti sekarang. Barangkali hati ini akan lebih rela.
"Jadi, ini adalah hari-hari terakhir kebersamaan kita dong." Berat, akhirnya kalimat itu terucap juga.