Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Love Is...

17 Januari 2017   09:14 Diperbarui: 17 Januari 2017   09:17 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta. Begitu mudahnya kita menyebut kata itu. Namun, apakah semudah itu pula kita mengetahui maknanya? Telah banyak para pujangga yang mencoba mendefinisikan arti cinta. Tapi bagiku semua itu Bullshit! Hanya omong kosong! Karena pada kenyataannya, cinta tak seindah lembayung senja, cinta tak sehangat mentari pagi, cinta tak ada yang semanis madu!

--- Cinta hanyalah sebuah lorong gelap dan penuh duri! Menyakitkan! ---

Cinta hanya membuat kita mabuk kepayang, tanpa tahu perangkap apa yang sebenarnya telah dipersiapkan. Karena jaring-jaring cinta begitu halus, hingga kadang tak menyadari kalau ternyata kita telah terjerat di dalamnya. Ah! Cinta terlalu rumit jika diuraikan.

Aku mendesah panjang, menerawang ke masa-masa yang pernah aku lalui dengan penuh cinta. Namun, semakin aku terlarut, selalu saja terbentur pada sebuah kenyataan bahwa cinta yang pernah aku jalani hanya membawaku terbenam pada jurang yang sangat dalam dan pekat! Menyesakkan! Aku tak pernah bisa mengingkari itu.

“Bu Ismi, ada telepon dari Pak Pras, mau diterima?” tanya Santi sekretarisku.

Aku sedikit terperanjak. Pras? Lagi-lagi dia. Mau apalagi dia meneleponku?! Ah, paling-paling hanya mengajakku makan siang. Aku tidak tertarik. Tak ada kapok-kapoknya, padahal sudah berkali-kali aku menolak.

Aku menggeleng. “Bilang saja, saya sedang keluar kantor.” Tentu aku berkata dengan suara pelan.

Santi mengangguk, lalu berbicara pada Pras yang ada di seberang, “Maaf, Pak Pras, Bu Isminya sedang tidak ada ditempat. Ada pesan yang bisa saya sampaikan?”

Entah apa yang dikatakan Pras pada Santi. Tak lama kemudian kulihat Santi menaruh gagang telepon. Ah, apapun itu, aku tak mau tahu!

“Bu, kata Pak Pras, Ibu harus menjaga kondisi, jangan terlalu capek dan jangan lupa makan yang teratur.” Santi menyampaikan pesan dari Pras. Aku diam saja. Apa pedulinya dia?! Terserah aku saja! Ngatur!

Pras. Dia memang tidak pernah berhenti untuk mencari perhatianku. Aku tahu itu, karena setiap laki-laki yang memberikan perhatian lebih pada seorang perempuan selalu memiliki maksud yang tersembunyi. Tak pernah tulus. Aku yakin itu.

Tapi aku tak bisa membuka lagi pintu hatiku yang sudah terkunci rapat. Aku tak bisa! Terlalu banyak alasan untuk itu. Tiga kali dikhianati, ditinggalkan dan dicampakkan oleh laki-laki membuat aku yakin dengan kesimpulan bahwa semua laki-laki itu brengsek! Tidak ada yang bisa dipercaya!

***

Jam tanganku menunjukkan pukul 7.40 malam saat mobilku memasuki pekarangan rumah. Pekerjaan yang menumpuk dan jalanan yang macet sudah cukup menjadi alasan kenapa aku pulang terlambat dari biasanya. Bagi bidang pekerjaanku, akhir tahun merupakan masa-masa yang sangat melelahkan, karena semua laporan yang menyangkut keuangan harus selesai dan sesuai. Agar pendapatan dan pengeluaran bisa terlihat, jadi mudah untuk dianalisa, apakah kecenderungannya surplus atau malah merugi. Untuk itu, aku dan divisi harus bekerja ekstra agar semuanya bisa selesai tepat waktu. Tak terkecuali hari Sabtu, kami tetap bekerja lembur!

Hembusan angin malam menerpa wajahku saat aku membuka pintu mobilku. Dan setelah memastikan tidak ada bawaanku yang tertinggal, akupun segera turun. Udara malam di bulan Desember ini cukup dingin, seperti biasanya.

Setelah mengunci pintu mobil, aku bergegas masuk ke rumah. Tak kuat berlama-lama di luar. Dinginnya cukup menusuk. Di teras rumah, aku bertemu dengan Safira, adikku yang nomor tiga, dia masih kuliah semester 5. Safira tidak sendirian, tapi bersama Tyo, pacarnya, dan sepertinya mereka sudah bersiap mau pergi. Mengetahui kedatanganku, Tyo tersenyum dan mengangguk sopan padaku.

“Baru pulang, Mbak?” tanya Safira.

“Iya, mau kemana kalian?” Aku menyelidik.

“Ke depan Mbak, sekalian mau nonton,” jawab Tyo, tetap menaruh hormat padaku.

“Ooh, ya udah. Hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam.” Aku mengingatkan.

“Iya Mbak, mari...” Tyo pamit.

“Aku pergi dulu ya Mbak, daaagh.” Safira menimpali.

Lima menit kemudian, mereka sudah melaju dengan Brio silver-nya Tyo.

Aku pun segera masuk. Dan begitu melewati ruang tamu, aku melihat Sherma, adik bungsuku yang masih kelas 1 SMA, tengah duduk dan menerima seorang tamu. Tamunya adalah seorang laki-laki remaja, mungkin usianya tak terpaut jauh dengan Sherma. Tampangnya imut, putih dan agak rapi. Ini adalah kali pertama Sherma mengajak teman laki-lakinya ke rumah. Menyadari aku menatap dirinya, anak laki-laki itu tersenyum ramah padaku. Aku tak membalasnya. Sherma terlihat sedikit gelisah. Lalu dengan sedikit gemetar, ia memperkenalkan teman laki-lakinya itu padaku.

“Mbak, kenalin, ini Andika temen aku.”

Anak laki-laki itu kembali tersenyum. Aku hanya mengangguk. Lantas, aku pun bergegas menuju kamarku di lantai dua. Penat ini harus segera disingkirkan!

Sherma, sekarang dia sudah berani mengajak teman laki-lakinya ke rumah. Apalagi ini malam minggu. Tidak mungkin kalau hanya teman biasa. Aku tahu betul gelagat seperti ini. Ya, Sherma sudah memiliki pacar. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku tidak mau dia mengalami hal yang sama denganku!

***

“Mbak, bangun Mbak, katanya mau jogging, yu, mumpung masih pagi.” Sayup-sayup kudengar ada suara membangunkanku, dan kurasa ada tangan yang mengguncang tubuhku.

“Iya Mbak, ntar keburu panas.” Suara lain menimpali.

“Uuuuuhhh....” Aku menggeliat, lalu membuka mataku. Kulihat Safira dan Sherma sudah siap dengan training pack-nya.

“Mbak, jadi kan joggingnya?” tanya Sherma lagi.

Aku mengangguk. “Bentar ya, mbak beres-beres dulu, belum cuci muka dan sikat gigi.” Aku beranjak dari tempat tidur. Mereka menunggu.

Dua puluh menit kemudian kami sudah turun ke jalan, mengitari perumahan menuju lapangan besar di dekat komplek. Lapangan inilah yang menjadi pusat kegiatan kalau hari minggu pagi. Selain jogging, di sana juga banyak fasilitas olahraga lainnya, dan yang pasti banyak penjual jajanan. Jadi setelah capek berolahraga, bisa langsung mengisi perut dengan berbagai pilihan makanan yang dijajakan.

Tiap hari Minggu lapangan ini memang selalu penuh. Kami pun langsung bergabung dengan mereka yang sama-sama jogging. Udara pagi yang masih segar membuat pikiran kembali fresh. Dan keringat yang mengucur, cukup jitu untuk membakar lemak yang mulai menonjol di beberapa bagian tubuh.

Setelah melewati 7 putaran track, aku merasa capek dan haus. Begitu pun dengan dua adikku.

“Mbak, brenti dulu yu, capek nih,” ajak Sherma disela nafasnya yang ngos-ngosan.

“Iya nih, aus.” Safira menambahkan.

“He-eh,” jawabku lalu keluar dari track. Safira dan Sherma mengikuti. Dan begitu tiba di luar, ada dua orang laki-laki menghampiri. Ternyata Tyo dan Andika. Mereka serempak mengangguk hormat ke arahku.

“Hai, kok ada disini?!” sergah Safira sumringah dan langsung menghambur ke arah Tyo.

Sementara Sherma tampak malu-malu menuju ke arah Andika, “Kamu kok gak bilang-bilang mau kesini?!” katanya dengan suara sedikit ditahan. Andika hanya tersenyum.

“Udah jogging-nya, Mbak?” sapa Tyo padaku, mungkin ini sekedar basa-basi.

“Rajin ya Mbak, sehat.” Andika menimpali.

Aku tersenyum.

Aku tahu apa yang ada dipikiran mereka. Apalagi kalau bukan agar aku segera hengkang dari situ.

“Sher, Fir, Mbak pulang duluan ya, belum ngeprint laporan buat besok.”

“Lho Mbak, gak minum dulu? Katanya aus?” cegah Sherma.

“Aaah gampang. Mbak tinggal dulu ya.” Aku pun bergegas pergi dari situ.

***

Sehabis makan malam, aku sengaja masuk ke kamar Sherma. Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya. Tapi ternyata Safira juga sedang ada di sana. Sepertinya mereka tengah asyik membicarakan pacar masing-masing.

“Ehm!” Aku mendehem. Menyadari kehadiranku, mereka langsung terdiam, lalu menoleh ke arahku.

“Eh Mbak, sini Mbak, gabung,” ajak Sherma.

“Iya Mbak, biar tambah asyik,” lanjut Safira.

Lalu aku duduk di kursi belajar Sherma yang kosong, karena mereka duduk di kasur.

“Sher, mbak mau tanya, Kamu pacaran sama Andika?” tanyaku to the point.

Seketika Pipi Sherma memerah. Ia pun terdiam. Safira ikut diam. Mereka saling berpandangan. Dan akhirnya Sherma mengangguk perlahan.

“Sejak kapan?!” selidikku tegas.

Sherma masih terpekur dalam diam. Hanya hembusan nafasnya yang terdengar. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin ia merasa kalau dirinya sedang diinterogasi.

“Baru tiga minggu.” Akhirnya ia menjawab, meski lirih, suaranya hampir tak terdengar. Sherma terlihat sedikit gemetar.

“Sudah tiga minggu?!” tanyaku meyakinkan.

Sherma mengangguk lagi. Aku menarik nafas panjang, menahan letupan kecil yang berkecamuk dalam dada. Kemudian, kupandangi Sherma dengan lekat. Sherma menunduk.

“Oh, jadi sekarang Kamu sudah berani pacaran, ya?! Gimana dengan pelajaran Kamu?! Apakah tidak terganggu?! Atau Kamu merasa sudah cukup pintar, hingga tidak perlu belajar dan mendingan asyik pacaran?! Gitu?! Sher, Kamu tahu kan, kalau Kamu belum boleh untuk pacaran?! Kamu harus konsentrasi pada pelajaran kamu!!” ujarku dengan nada meninggi.

“Sherma, denger ya?! Hidup Kamu itu masih panjang, perjalanan Kamu masih jauh, banyak hal yang belum Kamu raih! Mbak gak mau, Kamu gagal dalam meraih cita-citamu. Kamu tahu kan, Mbak Mita, dia harus menikah di usia muda karena kebablasan!!” lanjutku masih dengan nada tinggi. Mita adalah adikku yang nomor dua, dia terpaksa harus keluar dari sekolah dan menikah di usia muda, karena ketahuan hamil.

“Sekarang Kamu masih kelas satu SMA. Masih kecil. Umurmu pun belum genap 17 tahun. Siapa yang membolehkan Kamu pacaran, heh! Pokoknya Kamu tidak boleh pacaran!”

Sherma semakin menunduk. Bulir-bulir bening mengalir dipipinya.

“Camkan itu!” Aku mengultimatum. Lalu beranjak keluar dari kamar Sherma. Tapi belum sampai aku di pintu, tiba-tiba Safira memanggilku.

“Mbak,” katanya datar.

Aku berhenti, lalu menoleh ke arah Safira.

“Mbak, aku tahu yang Mbak pikirkan, kenapa Mbak tidak begitu respek sama Tyo dan Andika, dan Mbak tidak membolehkan kami pacaran. Sebenarnya bukan karena Mbak gak mau melihat kami gagal, tapi karena Mbak punya dendam sama laki-laki!!” tuding  Safira lantang. Kata-katanya begitu menusuk hatiku. Aku terhenyak.

“Apa maksud Kamu?!” tanyaku sambil menatap Safira. Tapi ia malah membalas tatapanku.

“Mbak, aku bukan anak kecil lagi! Aku tahu, selama ini Mbak menyimpan kebencian pada laki-laki karena masa lalu Mbak, hingga akhirnya Mbak mengajak kami untuk ikut membenci mereka!  Begitu, kan?!”

“Itu gak adil Mbak! Mbak gak bisa berbuat seperti itu! Karena kami juga punya hak untuk menentukan bagaimana hidup kami! Mbak jangan bawa-bawa kami dalam masalah pribadi Mbak!” kata Safira masih lantang.

Hatiku semakin tertusuk. Tak kusangka, Safira akan berkata senekat itu padaku.

“Aku ingat, dulu Mbak juga berbuat hal yang sama padaku, saat aku mulai pacaran sama Tyo. Tapi Mbak lihat kan?! Sampai saat ini Tyo masih setia padaku. Dan Mbak tahu? kami sudah menjalani hubungan ini hampir 5 tahun! Apakah ini tak cukup sebagai bukti kalau tidak semua laki-laki itu brengsek seperti yang Mbak pikirkan!”

Degh! Hatiku semakin tertusuk. Sakit. Tak kusangka Safira begitu berani.

“Safira! Kamu berani ngomong begitu sama Mbak?! Siapa yang ngajarin Kamu menjadi begini, heh?! Pasti si Tyo sialan itu, kan?! Lihat... ini yang Kamu bilang dia tidak brengsek! Apa Kamu tidak sadar, heh?!” Aku tak bisa lagi menahan emosi.

“Bukan! Ini aku sendiri, Mbak! Karena aku sudah tidak tahan dengan sikap Mbak yang selalu memandang Tyo dengan sebelah mata!”

“Tuh kan? Kamu lebih membela si Tyo itu daripada Mbak, kakakmu sendiri!”

“Iya. Karena aku ingin membuka mata Mbak lebar-lebar, kalau tidak semua laki-laki itu brengsek seperti mantan pacar-pacar Mbak!”

Degh! Hatiku tersentak lagi. Aku hampir terjerembab mendengarnya, seolah ada tangan yang menamparku dengan keras! Hatiku semakin mendidih. Ingin kutampar mulut Safira yang sudah lancang berbicara begitu kasar padaku! Tapi, aku menyadari kalau dia itu adikku.

“Terserah Kalian! Mbak hanya gak mau Kalian mengalami hal yang sama seperti Mbak!” pungkasku kesal. Lalu segera keluar dari kamar Sherma.

Setibanya di kamarku, aku terdiam, merenungi apa yang baru saja terjadi. Safira, adikku, sekarang sudah berani berbicara lancang, bahkan Sherma pun ikut-ikutan tidak nurut padaku. Padahal aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mereka bahagia, dan tidak mengalami hal yang menyakitkan sepertiku. Itu saja!

Aku hanya ingin mereka sukses dengan pelajarannya. Juga sukses dengan masa depannya. Aku tak mau mereka sakit hati karena cinta, sepertiku. Atau bahkan berhenti di tengah jalan, seperti Mita.

Tapi kenapa mereka malah menentangku?! Sudah sejauh itukah cinta meracuni mereka?! Ah, bullshit! Persetan dengan cinta! Kalian tidak tahu, bagaimana cinta akan menghancurkan hidup kalian! Tanpa kalian menyadarinya! Mbak hanya ingin menyelamatkan kalian dari kejahatan cinta yang tak pernah bisa diprediksi! jerit hatiku, miris.

Aku sudah tidak percaya lagi pada cinta dan laki-laki. Semuanya pendusta, pembohong, pengkhianat! Aku ingat saat dengan tegasnya Mario berjanji padaku, di bandara saat akan pergi melanjutkan kuliah ke luar negeri, “Ismi, aku sangat mencintaimu, Kamu adalah satu-satunya wanita yang ada di hatiku. Aku tak akan pernah mengkhianatimu, percayalah,” katanya. Aku pun mengangguk. Aku percaya padanya, karena kulihat kesungguhan di matanya.

Tapi, setahun kemudian saat dia pulang untuk berlibur, dia sudah menggandeng wanita bule, teman kuliahnya di sana. Dan dengan mudahnya dia meninggalkanku. Aku merasa dibohongi! dikhianati! dicampakkan! Padahal selama ini aku selalu menunggunya dengan setia. Tapi apa yang aku dapatkan?! sakit. Hatiku terluka. Perih. Itulah yang aku dapatkan dari kesetiaan pada cinta. Ternyata cinta itu pahit! Namun, untunglah, saat itu aku bisa menerimanya dengan sadar, mungkin ini adalah jalan yang harus aku tempuh dalam hidupku. Walau pedih, tapi aku harus melewatinya. Biarlah, aku tak boleh putus asa. Aku hanya berharap, mudah-mudahan aku bisa menemukan kembali cintaku.

Butuh waktu yang lama, agar aku bisa menyembuhkan luka itu, hingga akhirnya datang Yoga dalam hidupku. Dia cukup baik dan pengertian. Dia menawarkan cinta yang manis, hingga aku pun percaya kalau dia bisa menjadi pelipur hatiku. Mudah-mudahan dengannya aku bisa merajut kembali mimpiku yang telah terkoyak. Tapi ternyata tidak! Yoga yang selama ini aku percaya, dengan mudahnya pergi meninggalkanku dan berselingkuh dengan Tina, sahabatku sendiri! Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan. Aku seperti melayang-layang, tidak menjejak bumi. Aku seolah masuk ke dunia lain yang tidak pernah kukenal. Aku merasa menjadi orang asing. Aku benar-benar terpuruk. Luka ini semakin perih! semakin menyakitkan! Aku depresi, frustasi! Sungguh tak menyangka kalau Yoga bisa berbuat seperti itu! Aku pun tak habis pikir, kenapa Tina tega berbuat itu padaku?! Apa salahku?! Cinta memang busuk! Hanya mementingkan diri sendiri! Tanpa pernah peduli pada orang lain! Egois!!

Aku pun kembali tersungkur karena cinta. Dan aku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa kembali berdiri tegak. Di tengah-tengah kegalauan hatiku, muncullah Gunawan, dia mengajakku menari mengikuti nyanyian cinta. Aku pun terlena dan mengikuti setiap gerakannya. Tapi ternyata, kali ini pun cinta kembali mempermainkanku! Saat aku mulai merasakan getaran-getaran cinta, Gunawan pergi meninggalkanku dan menikah dengan putri dari teman bisnis papanya. Dan aku kembali terhempas pada jurang cinta yang sangat dalam dan pekat. Cinta memang kejam! Tak pernah membiarkan aku bernapas dengan bahagia, meski hanya sekejap.

Sejak saat itu, aku bertekad, aku tak akan pernah lagi tertipu oleh jebakan-jebakan cinta. Aku tak butuh semua itu! Cinta hanya membuatku sengsara! Dan aku tak mau adik-adikku mengalami hal yang sama sepertiku. Apakah aku salah?!

***

“Bu Ismi, ada tamu,” kata Santi memberitahuku saat aku baru kembali ke ruanganku, sehabis meeting.

“Siapa?” tanyaku, lalu duduk di meja.

“Pak Pras. Dia sudah lama menunggu Ibu, mungkin sudah lebih dari satu jam.” Santi menjelaskan.

“Oooh, tadi Kamu bilang apa padanya ?”

“Saya bilang, Ibu sedang meeting, tidak tahu selesainya jam berapa, kalau mau menunggu, silahkan.”

“Iya, iya ya udah sekarang kamu bilang lagi sama dia, kalau saya gak bisa diganggu. Meetingnya lama, mungkin sampai sore.”

Santi pun mengangguk, lalu segera pergi untuk melaksanakan perintahku. Dan tak lama kemudian dia sudah kembali. Ada secarik kertas di tangannya.

“Bu, ini dari Pak Pras,” katanya seraya menyerahkan kertas itu padaku. Tapi aku tidak mau menerimanya.

“Baca saja, San, apa katanya?!”

Terpaksa Santi membuka kertas itu dan langsung membacanya.

“Ini undangan dinner buat ibu, waktunya besok malam, di Royal Kafe, meja nomor 15. Disini juga tertulis, supaya ibu mau menyempatkan datang.” Aku hanya menanggapinya dengan cuek.

“Oh, kayanya saya gak bisa datang, San. Kamu aja yang datang ya? Bilang saja saya yang menyuruh,” tawarku pada Santi. Lalu akupun kembali terpekur dengan angka-angka yang berderet panjang, pusing. Sementara Santi terlihat bengong.

***

Malam Minggu ini, tumben adik-adikku ada di rumah. Bahkan pacar-pacar mereka pun tidak ada yang datang. Apa yang terjadi dengan mereka? Apakah mereka sudah putus? Baguslah kalau begitu. Akhirnya mereka sadar juga, hmmhhh... Dan seperti biasa malam Minggu seperti ini selalu aku habiskan di kamar, sendiri, paling cuma nonton atau baca buku.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar.

“Siapa? Masuk aja, gak dikunci,” kataku dengan suara keras. Pintu pun terbuka. Ternyata Sherma.

“Eh, kamu Sher? ada apa?”

“Enggak ada apa-apa kok, cuma mau ngasih tahu aja, ada tamu buat Mbak.”

“Tamu? Siapa Sher?” tanyaku ingin tahu, “Buat mbak? gak salah?” lanjutku. Tumben, malam Minggu begini ada tamu buatku. Siapa?

“Gak tahu, mungkin teman Mbak. Laki-laki,” jawab Sherma mengidentifikasi.

“Oh, ya udah, tar mbak ke bawah, makasih ya…” jawabku. Ah, paling juga Firman, temanku di kantor. Mungkin cuma mampir.

Setelah selesai, Sherma pun hendak kembali ke kamarnya.

“Eh, Sher…” panggilku.

“Iya Mbak.” Terpaksa Sherma berhenti dan menoleh ke arahku.

“Tumben Kamu dan Safira gak pergi. Tyo dan Andika juga gak datang, kenapa? Kalian putus?”

“Oooh itu, kirain apaan? Kebetulan Andika lagi ikut sama keluarganya ke Medan, ada sodaranya yang menikah, kalau Kak Tyo sedang kemping sama teman-temannya di Ciwidey. Emangnya kenapa Mbak?”

“Enggak, cuma pengen tahu aja.”

“Ooh, ya udah ya Mbak, aku ke kamar dulu,” kata Sherma pamit. Aku mengangguk. Kirain udah putus, bisikku.

Setelah merapikan rambut, akupun segera turun. Dan, begitu tiba di ruang tamu, aku melihat sosok seorang laki-laki yang selama ini sudah aku kenal. Ya, dia adalah Prasetyo. Tapi kulihat wajahnya muram, bibirnya cemberut. Sepertinya ia sedang kesal. Pras menatapku lekat dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Jelas aku merasa risih diperlakukan seperti itu. Sesaat beku.

“Hai Pras, apa kabar?” sapaku untuk mencairkan kebekuan. Suasana begini membuat tidak nyaman. Pras tidak segera menyahut. Ia tetap saja menatapku.

“Pras, helloo… kok malah bengong begitu sih?! Kamu salah minum obat, ya?” tanyaku lagi dengan sedikit bercanda, tapi tetap saja Pras hanya bungkam. Aku jadi bingung. Apa aku perlu memanggil ambulans?!

“Ya udah, kalau gak mau ngomong, mendingan aku ke atas lagi ya…” Lalu aku beranjak dari dudukku dan segera melangkah menuju tangga. Tapi belum juga aku menginjak tangga pertama, Pras memanggilku.

“Ismi…!” panggilnya. Aku pun menghentikan langkah.

“Nah gitu dong, jangan cembetut aja,” godaku. Lalu kembali duduk di kursi.

Tapi Pras tetap saja manyun. Matanya masih saja menatapku. Aku jadi takut, lalu kulihat Pras menghela nafas panjang….

“Ismi,” katanya dengan suara gemetar, seperti sedang menahan kemarahannya. Aku sedikit ciut, belum pernah aku melihat dia berlaku seperti itu.

“Aku benar-benar tidak menyangka, Kamu tega berbuat itu padaku! Kenapa Kamu tidak memberitahu kalau Kamu tidak bisa datang ke undangan makan malamku?! Kamu kan bisa menelepon, atau SMS! Tidak dengan menyuruh Santi menggantikanmu!” katanya menumpahkan kekesalannya. Oo… ternyata ini masalahnya. Sudah kubilang kalau aku tidak tertarik untuk datang. Tapi aku tidak menyangka, kalau Santi benar-benar menuruti perintahku. Padahal hanya iseng.

“Aku kecewa sama Kamu! Lalu selama ini Kamu menganggapku sebagai apa, heh?! ternyata Kamu wanita yang paling tega! Bahkan Kamu pun tidak pernah menghargai aku! Aku hanya ingin membantumu melupakan masa lalumu! Dan membuka mata hatimu, kalau tidak semua laki-laki itu brengsek seperti mantan pacar-pacarmu!!” ungkap Pras tegas.

Degh! kok dia bisa tahu masa laluku?! Padahal aku tidak pernah bercerita padanya.

“Ismi, kemanapun kamu pergi, sekencang apapun Kamu lari, Kamu tidak akan bisa menghindari kenyataan, kalau sebagai manusia, kita butuh mencintai dan dicintai dengan tulus! Tapi apa yang aku dapat?! Kamu tidak pernah mengganggap keberadaanku, berkali-kali aku dicuekin, berkali-kali pula aku dikecewakan, inikah balasan yang kau berikan padaku?!” tudingya dengan nada yang masih tinggi.

“Pras, maaf, aku tidak tertarik berbicara soal cinta, buatku, cinta sudah mati! Aku tak butuh cinta,  cinta hanya membuatku sengsara!”

“Ismi, tak ada mahluk yang tidak butuh cinta! Bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun, apalagi kita sebagai manusia, kita tidak bisa memungkiri itu! Buka matamu lebar-lebar! Ismi…! Kamu tidak bisa terus-terusan tenggelam dalam masa lalumu!”

“Ah, peduli apa dengan semua itu, saat ini aku sudah cukup bahagia tanpa cinta!”

“Terserah! Aku hanya kasian melihatmu! Tapi kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pada suatu saat nanti Kamu akan menyadari kalau yang aku katakan ini benar! Dan kamu akan menyesal!” katanya sedikit mengancam. “Permisi!” lanjutnya, lalu pergi meningalkanku.

Ah, cinta! Bull shit, tahu?!

***

Pagi ini, Aku sudah berada di hotel Mulya. Hari ini adalah acara reuni akbar, jurusan akuntansi angkatan tahun 89. Banyak teman-teman kuliahku yang datang ke sana, lumayan, bisa temu kangen sama mereka. Kebanyakan mereka datang dengan pasangan masing-masing, bahkan mengajak anak-anak.

“Hai Is,” sapa seseorang sambil mencolek bahuku dari belakang. Aku langsung menoleh, ternyata Rima.

“Hei Rim, apa kabar?” sambutku senang. Rima adalah teman baikku, tapi setelah lulus, kami tidak pernah ketemu lagi, karena Rima ikut suaminya ke Jepang. Dan sekarang menyempatkan hadir ke acara itu, aku tidak menyangka bisa ketemu lagi disini.

“Baik, kenalin, ini suamiku,” katanya memperkenalkan laki-laki yang ada di sampingnya,  “Pap, ini Ismi temen baikku waktu kuliah,”  Rima memperkenalkan aku pada suaminya. Kami pun saling berjabat tangan

“Ka, Zi, ayo kasih salam sama Tante,” lanjut Rima lagi pada anak-anaknya, dan mereka pun langsung menyalamiku sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Kamu kesini sama siapa Is? Mana suami dan anak-anakmu? Mereka gak ikut?!” tanya Rima ingin tahu. Degh! pertanyaan ini selalu saja menghampiriku, dimanapun, dalam acara apapun. Atau pertanyaan standar lainnya: Kapan menikah? Sebel. Seolah menyeretku pada opini publik tentang sebuah kebahagiaan hakiki, menikah dan berkeluarga. Aku hanya tersenyum.

“Lama ya kita tidak ketemu. Anakmu sudah berapa? Kalau aku sudah tiga, tapi yang ikut kesini cuma dua, Rika dan Ezi. Yang paling besar gak ikut kesini, dia memilih jalan-jalan sama sepupu-sepupunya,” tutur Rima bercerita. Aku tersenyum lagi.

“Ya udah, aku ke sana dulu ya, aku ingin banyak ketemu teman-teman, mumpung ada kesempatan, kalau udah balik ke Jepang kan sulit?! Ok ya, sukses buat Kamu!” pamit Rima, lalu pergi meninggalkanku, suami dan anak-anaknya mengikuti.

Sepeninggal Rima, ada beberapa teman yang menghampiriku. Seperti biasa pertanyaan yang mereka lontarkan selalu sama. Menikah? Suami? Anak? Jelas aku merasa kesal! Apakah manusia hanya dinilai dari satu sisi itu saja?! Lama-lama aku bosan dengan suasana itu, lalu tanpa sepengetahuan mereka, aku keluar dari hotel Mulya, tempat acara reuni itu diadakan. Meski menurutku, ini bukan acara reuni, melainkan acara pamer keluarga.

Pikiranku menerawang pada semua jalan hidup yang telah aku lalui. Teringat saat aku tertawan oleh cinta, begitu menaruh harapan dan percaya pada cinta. Teringat juga saat cinta menghempaskanku, dan menyeretku dalam lorong-lorongnya yang gelap, pengap, sesak. Teringat saat Pras datang ke rumah dan marah-marah padaku, dan teringat juga pada Rima dan teman-teman lain yang begitu bahagia dengan keluarganya.

Semua bayangan itu datang silih berganti, memenuhi ruang imajiku yang berlari-lari mencari kepastian. Apakah aku benar-benar bahagia tanpa cinta?! Ah, aku capek. Aku capek dengan semua kebencian dan dendamku pada cinta. Ternyata aku memang tidak pernah bahagia. Yang ada, mungkin aku merasa iri pada Rima dan teman-teman lain, atau mungkin juga pada Sherma dan Safira, yang bisa menikmati cintanya dengan indah.

Entah kenapa tiba-tiba mobilku berhenti. Mesinnya tiba-tiba mati. Sial! Kenapa ini?! Mana aku tidak tahu masalah mesin mobil, lagi. Duuh… mana rumah masih jauh pula?! Dan aku tidak tahu dimana ada bengkel di daerah sini?! Aku benar-benar sial! Aku pun turun, mencoba memeriksa mesin sepengetahuanku, buka sini, sambung sana, tutup itu, buka ini, asal banget. Lantas, akupun mencoba menyalakan lagi. Ternyata, tetap tidak hidup-hidup. Atau mungkin, malah tambah parah karena aku salah mengotak-atik. Terus, aku harus gimana?!

 Selama ini, biasanya, kalau aku mengalami kesulitan, aku langsung telpon Pras, dan dia akan segera datang. Tapi untuk saat ini, sepertinya aku tidak berhak lagi karena Pras sudah bertunangan dengan Santi, dan sebentar lagi akan menikah. Lalu aku harus menelepon siapa? Aku tidak punya adik laki-laki, sementara ayah sudah tua. Aku tidak tega jika harus menelepon ayah. Apalagi kalau tidak salah, hari ini jadwal ayah sama mamacheck up ke dokter. Tyo sama Andika ? Aku malu minta tolong sama mereka. Selama ini sikapku kurang bersahabat, belum tentu mereka mau. Aku bingung! Apa yang harus aku lakukan?!

Jujur, aku akui, di saat-saat seperti ini aku butuh sosok seorang lelaki. Coba kalau aku punya suami? Tapi, ah, sudahlah. Aku pun segera menepis pikiran itu.

***

Aku masih mendapati diriku berada di tempat itu saat mentari bergeser ke ufuk barat. Aku berpikir untuk meninggalkan mobilku, tapi aku tidak yakin akan aman? Aku menghela nafas panjang. Kulihat banyak orang berlalu lalang. Ada seorang suami yang berjalan sambil menggandeng mesra tangan istrinya yang sedang hamil. Ada seorang bapak yang menuntun anaknya sambil bertanya ini dan itu. Ada juga sepasang muda-mudi, yang berjalan bersama, menikmati angin sore. Mereka tampak bahagia. Lalu di atas sebuah pohon, kulihat sepasang merpati sedang bercengkrama dengan riang.

Ah, kenapa hati ini jadi merasa hampa?! Seolah ada ruang kosong yang tak pernah terjamah. Ada ruang kosong yang menganga tak pernah tersentuh oleh apapun, karena hanya cinta yang bisa menyentuhnya. Ternyata Pras benar, sebagai manusia kita butuh cinta. Kita butuh untuk berbagi, mencintai dan dicintai.

Tapi, masihkah ada yang mau menerima cintaku?! Lalu kulihat diriku, ternyata, diri ini sudah tidak muda lagi. Besok, umurku empat puluh lima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun