Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Cinta

11 Januari 2017   15:18 Diperbarui: 11 Januari 2017   15:21 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ari Awalu Romadon (Fb: Ari Awalu R)

Jalan ini adalah jalan yang paling kusuka. Bukan karena jalan ini indah seperti Puncak. Bukan pula karena ramai seperti Malioboro. Bukan! Jalan ini hanya jalan kompleks biasa. Atau bisa dikatakan hanya sebuah gang, meski ukurannya lebih besar dari gang pada umumnya, dan bisa dilalui oleh sebuah mobil.

Jalan ini sangat berarti bagiku. Jantungku selalu berdebar kencang bila akan melewatinya. Hatiku berharap-harap, semoga bisa melihatmu. Ya! Jalan ini memang lebih indah karena kamu tinggal di situ. Jalan ini menjadi lebih hangat, karena kamu ada di situ!

Di jalan inilah pertama kali aku melihatmu. Kamu begitu menawan, hingga mataku sulit untuk berpaling. Kamu mampu menyedot seluruh perhatianku, hingga aku rela berdiri lama hanya untuk memandangimu. Padahal aku belum tahu siapa kamu, begitupun kamu. Karena kita memang belum saling mengenal.

Sebenarnya jalan ini tidak praktis untuk kulalui. Karena jika melewati jalan ini, berarti aku mengambil jalan memutar, dan artinya jarak yang harus kutempuh menjadi lebih jauh. Tapi tidaklah mengapa. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Aku ingat bagaimana kisah cinta seorang Qais pada Laila. Dia pun rela melewati jalan yang panjang dan terjal hanya untuk melihat pujaan hatinya. Lantas kenapa aku tidak?! Inilah dahsyatnya cinta. Cinta mampu melumpuhkan logika.

Dan aku tidak merasa keberatan, walau jarak tempuhku menjadi lebih jauh. Tidak. Bahkan aku pun tidak merasa rugi, meski harus kehilangan waktu lebih banyak. Aku justru akan merasa hampa, jika tidak melihatmu. Untuk itu, jangan tertawakan aku, jika aku bisa lima sampai sepuluh kali, bolak-balik melewati jalan ini dalam satu hari hanya untuk bisa melihatmu ---walaupun aku tak selalu beruntung bisa melihatmu setiap melewati jalan ini. Tapi anehnya, aku tidak pernah merasa bosan dan menyerah. Aku menyadari itu sebagai pengorbanan cinta. Kamu seperti matahari yang menarik planet-planet untuk mengorbit dan berputar mengelilinginya. Dan akulah planet itu. Planet tunggal yang mengorbit padamu.

Pernah pada suatu kali, kamu memergoki aku yang sedang memperhatikanmu dari jauh. Mungkin kamu merasakan gelombang elektromagnet yang aku kirimkan lewat tatapan mataku. Hingga kamu pun menoleh kepadaku. Aku sangat gugup, karena itulah saat pertama kali kita beradu pandang. Aku merasa jadi salah tingkah. Bahkan aku tidak tahu bagaimana rona wajahku? Yang jelas aku sangat malu. Apakah kamu sudah tahu, kalau selama ini aku selalu memperhatikanmu dengan diam-diam? Jika ya, apa yang harus aku lakukan sekarang?

Namun, tanpa kuduga, kamu malah melempar senyum padaku. Sungguh, senyuman yang manis sekali. Membuat jantungku tersentak, dan berdegup lebih kencang. Aku hanya diam terpaku, tak mampu membalas. Mungkin terhipnotis oleh pesonamu. Benarkah kamu tersenyum untukku? Pikiranku melayang, menembus awan-awan, merangkai bahagia dalam dada. Aku hampir tak percaya. Ini seperti mimpi. Mimpi yang menerbangkan sukmaku menembus batas sadarku. Hingga aku terlena, dan baru mendapatkan kesadaranku kembali, saat akhirnya kamu pergi dengan sepeda motormu. Kemanakah? Entah. Aku hanya menatap kepergianmu hingga benar-benar hilang dari mataku. Aku pun tak tahu apa yang kamu pikirkan saat itu? Mungkin aku terlihat seperti orang bego. Ah, jika teringat saat itu, aku sangat malu. 

Dan hari ini aku kembali melewati jalan ini. Ingin melihatmu, atau jika beruntung bisa berkenalan denganmu. Tapi sudah beberapa hari bolak-balik, aku tak pernah melihatmu lagi. Padahal aku selalu memperhatikan dengan seksama ke arah teras rumahmu, dimana aku biasa menemukanmu sedang duduk santai sambil membaca buku atau menulis. 

Kini kamu tak ada lagi disitu. Lalu kemanakah gerangan? Apakah kamu marah padaku? Merasa terganggu? Hingga akhirnya menghindar dariku? Aku hanya bertanya-tanya dalam hati, menebak-nebak berbagai kemungkinan, tanpa bisa membuat suatu simpulan. 

Benarkah kamu marah padaku? Jika ya, aku mohon, maafkanlah aku, dan kembalilah ke tempatmu, agar aku bisa melihatmu lagi. Sungguh, aku merasa sangat kehilanganmu! Kehilangan arah dan tujuan, seperti planet yang lepas dari pusat orbitnya!

"Hai..." sapa seseorang yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. Aku pun segera menoleh. Ya Tuhan! Aku ingin berteriak karena bahagia. Tapi aku tak bisa berkata-kata. Suaraku seperti tercekat, jantungku berdegup kencang, darahku mengalir cepat. Di dadaku bercampur segala perasaan. Kamu kah itu?!

"Kok diam?" tanyamu, "Apa aku terlihat begitu menyeramkan?" 

Aku masih belum bisa apa-apa. Tenggorokanku seolah kering. Padahal aku ingin bertanya banyak padamu, kemana saja selama ini? Kok tak pernah kelihatan lagi? Apakah kamu marah padaku? Dan sengaja menghindariku? Tapi, mulutku seolah terkunci.

"Eh, kita belum kenalan, kan? Perkenalkan, namaku Galuh," katamu sambil menjulurkan tangan padaku, lalu dengan malu-malu aku pun menjabat tanganmu.

"Kemala," Aku menyebut nama dengan pelan.

"Kemala, nama yang cantik, seperti orangnya," Kamu memuji sambil tersenyum.

"Ah, Kamu bisa saja. Makasih." Aku merasa tersanjung.

"Baik, apakah Kamu bersedia menjadi temanku?" tanya kamu sambil menatap mataku, seolah ingin meyakinkan bahwa kamu benar-benar ingin aku menjadi temanmu. Aku merasakan itu. 

Aku mengangguk. Tersipu.

"Makasih, Mala. Jadi, mulai saat ini kita menjadi teman, ok. Dan sebagai tandanya, kita cantelan, mau kan?" katamu lagi sambil menjulurkan kelingking tangan kananmu. Senyum pun tetap merekah di bibirmu.

"Ok." Aku pun menyambut kelingkingmu, dan mencantelkan kelingking tangan kananku di sana. Lalu kita menariknya bersama. Terciptalah sebuah ikatan kelingking yang kuat. Semoga pertemanan kita pun sekuat itu. Kulihat kamu tersenyum lagi. Kepuasan jelas terpancar. Oh Tuhan, aku bahagia, akhirnya aku bisa mengenalmu dan menjadi temanmu.

"Mari ikut aku, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," ajak kamu, lalu menuju sepeda motormu yang diparkir tak jauh dari tempat kita berdiri, dan menaikinya.

"Ayo naik!" Kamu menyuruh, karena aku hanya diam saja. Aku pun segera naik di belakangmu, dan tak lama motorpun melaju, entah kemana. Aku ikut saja, karena aku yakin akan aman bersamamu.

Sepeda motormu meliuk-liuk menerobos arus kendaraan yang deras. Sesekali mataku terpejam karena takut seperti akan menabrak kendaraan lain. Tanpa sadar aku pun memeluk tubuhmu.

Aku tak tahu kamu akan membawaku kemana, karena semakin jauh, aku semakin tak mengenal jalan ini. Sepertinya aku belum pernah jalan-jalan hingga sejauh ini. Dimanakah? Kamu terus saja memacu sepeda motormu. Aku tak berani bertanya, khawatir mengganggu konsentrasimu. Aku hanya melihat pemandangan di sepanjang jalan. Sudah mulai sepi. Arus kendaraan tidak sepadat tadi. Namun cukup indah. Di kiri-kanan ditumbuhi pohon-pohon yang menghijau, menjulang tinggi. Juga dipenuhi bunga-bunga liar yang bermekaran, warna-warni. Tiba-tiba motormu berbelok ke arah kanan, meninggalkan jalan utama dan memasuki jalan setapak. Disini tampak semakin sepi. Sebenarnya kamu hendak membawaku kemana? Dan apakah sesuatu yang ingin kau tunjukkan?

Tak lama menyusuri jalan setapak, tiba-tiba kamu menghentikan sepeda motormu. Kita pun berhenti di situ. Dan tampaklah di hadapan kita sebuah telaga yang menghampar luas, ditumbuhi bunga-bunga rawa beraneka warna, disorot mentari sore yang keemasan, dihiasi burung-burung yang beterbangan, maka terciptalah panorama yang sangat indah. Ah, dimanakah ini? Apakah ini syurga?

"Kamu suka tempat ini?" tanyamu lengkap dengan senyum menghias bibirmu. Aku mengangguk. Sungguh, aku sangat menyukainya. Disini begitu indah, sejuk dan tenang. Banyak pemandangan yang bisa kulihat, ikan-ikan yang berenang sesuka hati, angsa putih yang menari dan langit biru yang terbentang kokoh. 

"Aku juga suka. Sangat suka. Di sini aku merasa tenang, seperti menemukan dunia sendiri," katamu bertutur. "Makanya aku sering kesini, kalau lagi senang atau lagi sedih, telaga ini yang selalu menjadi temanku. Telaga ini juga yang sering menjadi inspirasiku. Oh iya, aku juga menulis, lho."

"Menulis? Menulis apa?" 

"Ya, menulis apa saja, puisi, cerpen, juga novel."

"O ya, aku suka puisi, aku juga suka novel, boleh kan aku membaca karyamu?" Aku merajuk, seperti anak kecil yang minta dibelikan permen.

"Boleh, besok jam 4 sore, Kamu datang saja kerumahku, aku simpan semuanya di laci lemari kamarku. Kuncinya aku taruh dibawah kasur," jawabmu menunjukkan tempat dimana menaruh karyamu.

"Kamu tidak menerbitkannya? Sayang kalau hanya disimpan saja," sesalku.

"Aku berniat menerbitkan, tapi sekarang belum selesai, nanti Kamu saja yang menyelesaikan dan menerbitkannya, ya..." pintamu.

"Tapi aku tidak bisa menulis," jawabku jujur. Aku memang tidak pandai menulis puisi, apalagi novel.

"Nanti kalau Kamu sudah membaca novelku, Kamu pasti bisa melanjutkan," katamu optimis.

"Aku tidak yakin." Aku malah pesimis.

"Kenapa? Kita kan sahabat, jadi Kamu bisa tahu apa yang ada di pikiranku," kata kamu lagi, meyakinkanku. "Aku yakin itu!"

"Aku tidak janji, ya?"

"Karena Kamu belum mencobanya."

Terserah kamu deh, kataku dalam hati.

"Kenapa tidak Kamu saja yang menyelesaikannya?" tanyaku kemudian.

"Karena aku tidak mungkin kembali ke rumah itu." Suaramu  datar, namun terdengar ada kesedihan di sana.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Nanti Kamu akan tahu jawabannya. Aku tidak bisa menceritakannya sekarang," jawabmu penuh misteri.

"Tapi kita masih bisa berteman, kan?" tanyaku meminta kepastian. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi. Kamu mengangguk. Tatapanmu kosong ke arah telaga. Meskipun begitu, aku merasa lega.

"Pulang yu, sudah terlalu sore, nanti Kamu dicari ibumu."  Kamu mengajak.

Sejujurnya aku masih betah berada di situ bersamamu. Apalagi semakin sore, pemandangannya semakin indah, dengan lembayung senja berwarna jingga yang menjadi latarnya, dan angin sore yang berhembus sepoi-sepoi, seolah menarik tanganku untuk tetap berada di sana.

Tapi, hari memang sudah beranjak sore, aku harus segera pulang. Aku tidak mau ayah dan ibu panik mencariku. Akhirnya kami pun meninggalkan tempat itu. Dan sebelumnya aku mengajukan satu permintaan padamu.

"Lain kali, ajak aku kesini lagi, ya?"

Kamu pun hanya mengangguk pelan.

Hari ini memberi begitu banyak kenangan bagiku. Dan aku akan selalu menyimpannya dengan rapi, di salah satu sudut hatiku. Tapi, kenapa waktu begitu cepat berlalu? Bisikku dalam perjalanan pulang. Rasanya baru sepuluh menit aku di situ bersamamu. Ahh, andai waktu ini milik kita....

***

Besoknya, jam 4 sore aku datang ke rumahmu. Tapi aku heran kenapa banyak orang di sana, berpakaian hitam dengan wajah muram dan menunjukkan kesedihan, seolah menyiratkan luka yang dalam. Hatiku bertanya-tanya, ada apakah gerangan? Lantas dimanakah dirimu? Dari tadi aku belum melihatmu. Atau mungkin kamu pun sedang berduka? Aku ingin bertemu denganmu, setidaknya ingin sedikit menghiburmu, mengurangi sedihmu.

 Aku pun segera mencarimu. Tatapanku diedarkan ke seluruh penjuru ruangan. Tapi kamu tidak ada. Aku tidak menemukanmu diantara mereka, lalu dimanakah dirimu sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi?

Akhirnya aku bertanya pada salah seorang dari mereka, dan dia menunjuk pada sesosok jasad yang sudah dibungkus kain kafan. Aku pun mendekati jasad itu. Seketika, air mataku jatuh bertumpah ruah. Kesedihan menyeruak di seluruh rongga dadaku. Jasadmu baru ditemukan tadi siang, setelah tenggelam selama satu minggu di telaga itu.

Aku tidak tahu lagi apa yang aku rasakan. Terlalu menyakitkan.

Samar-samar aku melihatmu di dinding dan tersenyum padaku sambil melambaikan tangan, seolah mengucapkan perpisahan. Semakin lama semakin menjauh, dan akhirnya menghilang.

"Galuh..." bisikku pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun