Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secercah Senyum di Bibir Amat

4 Januari 2017   10:59 Diperbarui: 4 Januari 2017   11:15 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Ari Awalu Romadon

Amat terbangun dengan cepat. Mimpinya menjadi Superman ia tinggalkan begitu saja. Pak Gatot, guru matematikanya lebih menyeramkan dari pada Darkseid yang sedang dihadapi. Ia memilih kabur dari pertarungan sengit yang sedang berlangsung, meski harus dengan olok-olok dan sebutan pecundang. Amat tidak peduli. Pikirannya hanya tertumpu pada tugas matematika yang belum dikerjakan, dan harus dikumpulkan pagi ini, pada jam pelajaran pertama, jam pelajaran Pak Gatot. Bagi Amat –dan mungkin juga bagi murid lainnya, tugas itu menjadi sangat penting, karena akan berlaku sebagai tiket masuk kelas dan syarat wajib untuk bisa ikut ulangan. 

Artinya, jika tidak mengumpulkan, maka tidak akan diizinkan masuk ke kelas, yang secara otomatis tidak bisa ikut ulangan. Sekilas tampak kejam, namun aturan tersebut dibuat untuk melatih kedisiplinan murid-murid, dan yang pasti, sudah menjadi kesepakatan, dan tertuang dalam kontrak belajar yang ditandatangani Pak Gatot sebagai guru mata pelajaran dan juga murid-murid di kelasnya. Jadi, siapapun tidak bisa protes. Aturan harus tetap ditegakkan dan kesepakatan harus tetap dilaksanakan. 

Untuk hal ini, Pak Gatot dikenal sangat tegas dan konsisten, beliau tidak akan menerima alasan apapun. Bagi beliau, tidak mengumpulkan berarti tidak mengerjakan, dan konsekuensinya sudah sangat jelas. Minggu kemarin, Sandi harus berdiri di lapangan sambil menghormat bendera selama jam pelajaran, karena ‘lupa’ membawa buku tugasnya, padahal sudah mengerjakan, katanya. Tentu, Amat tidak mau bernasib seperti Sandi. Membayangkannya pun sudah alergi. Apalagi ada ulangan hari ini. Bisa rugi banyak. Tidak ikut ulangan, sama dengan membiarkan ada angka merah di raport.

Dengan segenap kemampuan yang dimiliki, Amat segera melahap soal-soal yang tertulis di buku tugasnya. Angka-angka yang berderet panjang, ia tekuri satu per satu, guna dicari jalan penyelesaiannya. Sekilas wajahnya tampak serius, kening berkerut, mata melotot tajam tak berkedip, mulutnya komat-kamit, berbicara sendiri, tangannya sibuk menulis atau menghapus, lalu mencorat-coret di kertas lain, mengotret, menemukan angka yang cocok untuk jawabannya. Begitu seterusnya, berulang-ulang, dan terkadang ia tersenyum sendiri penuh kepuasan, jika menemukan jawaban yang dicarinya. 

Namun, tak jarang juga wajahnya memancarkan kegelisahan akut, hatinya resah, berdebar, khawatir tidak bisa menyelesaikan semua tugasnya, jika mengingat tak lagi memiliki waktu banyak dan masih harus berbagi dengan rutinitas pagi lainnya. Amat menyesal, kenapa baru sekarang ia menyentuh buku tugasnya, padahal dari minggu lalu sudah berniat mengerjakan, namun ‘kesibukan’ yang harus dijalani tidak menyisakan sedikitpun waktu dan energi untuk membuka buku. 

Setiap pulang sekolah, harus turun ke sawah membantu bapak, mengarit padi yang sudah menguning, ikut gadeng di sawah orang lain, mumpung sedang musim panen lumayan bisa dapat upah beberapa karung. Terkadang, baru bisa pulang dari sawah ketika gelap mulai merangkak, membungkus malam dengan gulita. Dan, begitu sampai kembali di rumah, harus membantu ibu, mengambil air dari sumur umum, karena di rumahnya belum memiliki sumber air sendiri. Barulah ia akan mandi, makan, dan kalau masih belum terlalu lelah, ikut mengaji ke surau Wak Ilyas, bersama teman-temannya. Sepulang mengaji, matanya sudah tak bisa lagi dibuka, ia pun akan terlelap, menyusuri mimpi-mimpinya. Tugas pun terabaikan.

Amat masih saja berkutat dengan angka-angka di buku tugasnya. Kali ini soal yang diberikan dua kali lipat banyaknya dari biasa. Padahal untuk satu soal pun memerlukan jalan penyelesaian yang panjang dan rumit. Tapi Amat tidak punya pilihan, apalagi tawar-menawar, mau tidak mau, soal-soal itu harus diselesaikan, terlepas jawabannya benar atau tidak, yang penting sudah dikerjakan, dan bisa lolos dari hukuman yang sudah disiapkan Pak Gatot, terlebih bisa ikut ulangan. Namun, untuk sekedar menyelesaikan pun, tidak semudah yang dibayangkan. Baginya, mendingan ikut ngarit padi di sawah tetangga saja bersama bapak, tidak perlu mengerutkan kening sampai keriting begini.

“Amaaat... air di bak udah kosong tuh... ayo ambil air!” teriak Emak dari dapur membuyarkan pikirannya. Amat tersentak, lalu melirik jam butut yang menempel di dinding. Dinding berbahan kayu dan sudah hampir lapuk, dimakan usia dan juga rayap. Seingatnya, sejak ia dilahirkan, belum pernah satu kalipun rumahnya direnovasi. Padahal konon, rumah itu warisan dari nenek, emaknya emak yang memang asli kampung itu. Dan katanya, menurut cerita nenek sewaktu masih hidup, rumah itu dibangun sebelum emaknya dilahirkan, artinya umur rumah itu lebih tua dari pada umur emaknya. Pantas saja, kalau sudah banyak yang keropos disana-sini. 

Astaga, setengah tujuh kurang sepuluh, dengusnya kaget, melihat angka yang ditunjuk jarum jam. Ia lalu melihat tugasnya yang belum selesai dengan pandangan nanar. Mungkinkah menyelesaikan semuanya dalam waktu sesingkat ini? Belum ambil air untuk isi bak dan keperluan dapur, belum mandi, beres-beres, sarapan, dan untuk jalan kaki ke sekolah, yang jaraknya tak kurang dari tiga kilometer dari rumah. Ditambah lagi kalau dua adiknya yang masih kecil-kecil rewel, biasanya Amat akan disuruh menjaganya, sementara emak memasak di dapur. Untunglah, kali ini adiknya masih belum pada bangun.

“Amaaatt, lagi apa sih Kamu?! Cepetan, nih, air nya udah abis, buat mandi adik-adikmu nanti...!” teriak emak lagi, suaranya lebih nyaring dari sebelumnya.

“Iya, Mak,” dengan terpaksa Amat menyudahi mengerjakan tugasnya, pasrah, semoga saja Pak Gatot sedang berbahagia, dapat undian, ulang tahun atau apalah, sehingga akan sedikit bertoleransi. Tidak terlalu ketat dalam memeriksa tugasnya, Amat berharap dalam hati. Meski ia yakin, harapannya tak akan terwujud, karena Pak Gatot akan selalu tegas, disiplin dan konsisten, dalam kondisi apapun.

Amat lalu menutup buku dan menyimpannya ke tas, kemudian segera menuju ke dapur dan menyambar dua ember besar yang biasa ia pakai untuk mengangkut air dari sumur umum. Jarak sumur umum -yang katanya dibangun oleh salah seorang caleg sebagai hadiah kepada warga karena telah memenangkan suara pada pemilu beberapa tahun lalu- dari rumahnya tidak terlalu jauh, tapi cukup menguras tenaga saat harus membawa dua ember besar berisi air. Dan untuk memenuhi bak di rumahnya, setidaknya Amat harus tiga kali bolak-balik, dan jelas harus antri dengan warga lain yang juga belum memiliki sumber air.

“Eh, Mat, bibi duluan yaa... udah kebelet banget nih...” serobot Bi Ipah, mengambil alih bagian Amat menampung air. Amat hanya bisa pasrah dan melongo membiarkan Bi Ipah mendahuluinya. Ia tak mau cari ribut, apalagi Bi Ipah terkenal paling nyinyir sekampungnya. Bakal ribet kalau berurusan sama dia. Sementara, di atas sana, matahari semakin jelas menampakkan diri di sela-sela dahan pepohonan. Amat mendesah, kini ancaman kesiangan mengintai dirinya. 

Kesiangan berarti siap menerima hukuman dari guru piket, membersihkan WC atau lari mengelilingi lapangan basket, dan bisa juga berdampak dirinya tidak bisa ikut ulangan. Dalam kesepakatan kontrak belajar juga disebutkan, jika sewaktu Pak Gatot mengabsen, memanggil nama siswa, dan siswa tersebut tidak berada di kelas, maka dianggap tidak hadir. Artinya, jika ia kesiangan, maka dianggap tidak hadir di jam pelajaran Pak Gatot, dan secara otomatis dianggap tidak ikut ulangan. Sepertinya hal itu akan terjadi, cemasnya. Hatinya kembali berdebar, bayangan kesiangan dan tidak bisa ikut ulangan matematika begitu jelas terpampang nyata di hadapannya.

“Amaat, noh pegang dulu ade-adenya, emak mau masak sayur untuk bekal bapakmu ke sawah...!” perintah emak, begitu Amat tiba di dapur, membawa air yang ketiga balikan. Rupanya ade-adenya sudah bangun.

Amat kembali mendesah, membuang napas, tak jelas, karena capai atau hanya untuk membuang sesak, keringat mengucur di dahi, “tapi ini udah siang, Mak. Amat bisa kesiangan nanti, Amat ada ulangan.”

“Ah, bentaran aja kok, emak tanggung nih,” Emak bergeming, tangannya sibuk memotong-motong sayuran, mengulek bumbu, lalu memasukkan ke dalam kuali yang sudah siap di tungku. Di dapurnya, tidak tersedia kompor gas. Pernah sih dulu dapat pembagian dari pak RT, tapi sudah rusak dan belum kebeli lagi. Jadi, Emak pun kembali memanfaatkan tungku dan kayu bakar. Dan untuk mencari kayu bakar, juga masuk ke dalam daftar tugas Amat. Kadang-kadang sih Bapak juga ikut mencari kalau ada waktu luang di sela pekerjaannya.

Setelah menuangkan air ke bak, Amat segera memangku adik-adiknya yang sudah mulai merangkak, menggapai-gapai apapun yang bisa diraihnya untuk digeletakkan begitu saja, semaunya. Berantakan. Ia membawa kedua adiknya ke luar rumah. Membiarkannya bermain di teras. Bermain tanah. Setidaknya di sini lebih aman, tidak terlalu banyak barang-barang yang akan diraihnya. Hati Amat semakin tak menentu. Pikiran antara membolos atau tetap sekolah, meskipun kesiangan, mulai merasuk, apalagi dari kejauhan sudah tampak teman-temannya berjalan bergerombol, dengan tas dan seragam masing-masing. Membolos? atau kesiangan?

“Amaaat, ayo mandi, sini ade-adenya biar emak yang pegang!” suara Emak kembali membuyarkan pikirannya. Amat menoleh ke arah suara, ternyata Emak sudah berdiri di pintu.

“Emak udah selesai?” tanya Amat gamang.

Emak mengangguk, “iya, cepat mandi, gih!”

Tanpa membuang waktu, Amat segera melesat ke kamar mandi, membuka baju, lalu mengguyur seluruh badannya dengan air. Ia melakukan semuanya dengan cepat. Kemudian mengenakan pakaian seragamnya juga dengan cepat, seragam putih biru yang warnanya sudah memudar.

“Mak, Amat berangkat dulu ya,” pamit Amat pada emak yang masih berdiri di teras bersama kedua adiknya. Amat memilih pergi ke sekolah.

“Kamu udah sarapan?” tanya emak memastikan.

Amat menggeleng, “gak akan keburu, Mak. Amat puasa saja hari ini.”

Mendengar jawaban anaknya, hati Emak kembali trenyuh. Lagi-lagi anaknya harus menahan lapar, karena tak sempat sarapan dan beliau tak bisa membekalinya dengan uang jajan.

“Ya udah, tapi nanti kalau tidak kuat, buka saja, ya?” maksud Emak, kalau pulang sekolah tidak kuat menahan lapar, makan saja. Amat mengangguk. Lalu melesat, berlari, menyusuri jalan, menuju sekolah. Emak hanya menatap kepergian anaknya, semoga kuat menjalani harinya. Amat tidak suka dibawakan bekal nasi, malu, kaya anak TK saja, katanya.

Amat sudah tidak melihat teman-temannya lagi di jalan. Di depannya, apalagi di belakang. Ia tidak sempat menengok jam dinding tadi, tapi ia yakin, dirinya sudah kesiangan. Matahari sudah terlihat semakin jelas. Membulat. Pikiran itu pun kembali merasuk, membolos atau meneruskan langkah ke sekolah? Membolos, akan aman dari hukuman membersihkan WC atau lari mengelilingi lapangan basket, tapi akan ketinggalan pelajaran dan tidak ikut ulangan, dan pasti, besok akan dipanggil ke ruang BP. 

Urusan bersama Pak Gatot akan runyam. Nilai di raport akan merah. Dan, ia tidak mau itu terjadi. Kesiangan, meski akan dapat hukuman dari guru piket, dan mungkin tetap tidak bisa ikut ulangan, nilai di raport bisa juga merah. Tapi, ia akan berbicara terus terang kepada Pak Gatot, perihal kenapa dirinya sampai harus kesiangan. Ini bukan keinginannya. 

Ia sudah berusaha semaksimal yang ia bisa agar semuanya berjalan lancar. Tentang ikut mengarit padi di sawah, tentang mengantri di sumur umum, dan juga tentang menjaga adik-adik yang masih kecil. Semoga kali ini Pak Gatot mau mendengar. Dan berkenan memberi kesempatan untuk ulangan susulan. Kalaupun tidak, setidaknya sudah berupaya hingga di batas akhir kemampuan. 

Ada sesal mengalir ke seluruh pembuluh darahnya. Menyesali keadaan juga menyesali keluarganya. Tapi, ia tidak menyalahkan siapapun. Mungkin memang kehidupan seperti ini yang harus dijalani. Dan dengan hati diliputi gulana, ia tetap meneruskan langkah, cepat-cepat. Tak lupa selalu menyematkan harap, semoga sekolah bisa mewujudkan cita-cita, agar hidup dan keluarganya menjadi lebih baik.

***

Saya menghentikan sepeda motor saya, di samping Amat yang sedang berjalan setengah berlari. Tergopoh-gopoh. Nafas tersengal, keringat membanjiri seluruh tubuh. Mesin motor tidak saya matikan. Amat pun berhenti dan menoleh.

“Abang...” sapanya lemah. Selarik senyum terbersit di bibirnya. Sumringah.

“Ayo naik,” saya langsung mengajaknya naik ke motor saya.

Dengan senyum yang masih menyembul disela napasnya yang masih ngos-ngosan, Amat mengangguk, dan segera naik di jok belakang. Saya merasakan, ada rasa lega menyergapnya seketika. Saya pun kembali melaju, memboncengnya, melintasi jalanan. Kebetulan tempat kerja saya searah dengan sekolah Amat. Amat adalah tetangga saya, dan saya mengenalnya sebagai anak yang baik, rajin dan patuh pada orang tua.

Di depan pintu gerbang sekolahnya, saya berhenti, bersamaan dengan suara bel yang melengking, tanda masuk. Amat pun turun lalu menghampiri saya ke depan. “Makasih Bang, makasih banget, saya gak kesiangan, saya gak kesiangan,” ucapnya girang. “Makasih ya Bang, makasih.”

Saya mengangguk, tersenyum, ikut senang karena Amat tidak kesiangan.

“Sekali lagi, makasih ya, Bang. Makasih, makasih.” Ucapannya terdengar begitu dalam dan tulus, sebelum akhirnya berlari menerobos pintu gerbang yang sebentar lagi akan ditutup oleh Pak Satpam. Senyum masih merekah di bibirnya. Ceria.

Saya hanya menatap kepergiannya dengan kening sedikit berkerut. Sebuah pertanyaan terlintas di hati, rasanya saya tidak melakukan hal yang luar biasa, hanya mengajaknya naik di motor saya, itu pun kebetulan saja bareng. Tapi, Amat berterima kasih sampai sebegitunya?

Ah, apapun itu, saya bersyukur, bisa menjadi sebab orang lain bahagia. Semoga kedepan, senantiasa diberi kemampuan untuk tetap bisa membantu siapapun yang membutuhkan. Karena, membantu tidak selalu berupa sesuatu yang mewah atau mahal. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain?

Saya alihkan pandangan saya ke langit luas, lalu tersenyum. Ada hangat merasuk ke relung sukma. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan, menuju kantor.

--------

Fb: Ari Awalu R

Ig: @awaluromadona

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun