Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secercah Senyum di Bibir Amat

4 Januari 2017   10:59 Diperbarui: 4 Januari 2017   11:15 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Ari Awalu Romadon

Amat lalu menutup buku dan menyimpannya ke tas, kemudian segera menuju ke dapur dan menyambar dua ember besar yang biasa ia pakai untuk mengangkut air dari sumur umum. Jarak sumur umum -yang katanya dibangun oleh salah seorang caleg sebagai hadiah kepada warga karena telah memenangkan suara pada pemilu beberapa tahun lalu- dari rumahnya tidak terlalu jauh, tapi cukup menguras tenaga saat harus membawa dua ember besar berisi air. Dan untuk memenuhi bak di rumahnya, setidaknya Amat harus tiga kali bolak-balik, dan jelas harus antri dengan warga lain yang juga belum memiliki sumber air.

“Eh, Mat, bibi duluan yaa... udah kebelet banget nih...” serobot Bi Ipah, mengambil alih bagian Amat menampung air. Amat hanya bisa pasrah dan melongo membiarkan Bi Ipah mendahuluinya. Ia tak mau cari ribut, apalagi Bi Ipah terkenal paling nyinyir sekampungnya. Bakal ribet kalau berurusan sama dia. Sementara, di atas sana, matahari semakin jelas menampakkan diri di sela-sela dahan pepohonan. Amat mendesah, kini ancaman kesiangan mengintai dirinya. 

Kesiangan berarti siap menerima hukuman dari guru piket, membersihkan WC atau lari mengelilingi lapangan basket, dan bisa juga berdampak dirinya tidak bisa ikut ulangan. Dalam kesepakatan kontrak belajar juga disebutkan, jika sewaktu Pak Gatot mengabsen, memanggil nama siswa, dan siswa tersebut tidak berada di kelas, maka dianggap tidak hadir. Artinya, jika ia kesiangan, maka dianggap tidak hadir di jam pelajaran Pak Gatot, dan secara otomatis dianggap tidak ikut ulangan. Sepertinya hal itu akan terjadi, cemasnya. Hatinya kembali berdebar, bayangan kesiangan dan tidak bisa ikut ulangan matematika begitu jelas terpampang nyata di hadapannya.

“Amaat, noh pegang dulu ade-adenya, emak mau masak sayur untuk bekal bapakmu ke sawah...!” perintah emak, begitu Amat tiba di dapur, membawa air yang ketiga balikan. Rupanya ade-adenya sudah bangun.

Amat kembali mendesah, membuang napas, tak jelas, karena capai atau hanya untuk membuang sesak, keringat mengucur di dahi, “tapi ini udah siang, Mak. Amat bisa kesiangan nanti, Amat ada ulangan.”

“Ah, bentaran aja kok, emak tanggung nih,” Emak bergeming, tangannya sibuk memotong-motong sayuran, mengulek bumbu, lalu memasukkan ke dalam kuali yang sudah siap di tungku. Di dapurnya, tidak tersedia kompor gas. Pernah sih dulu dapat pembagian dari pak RT, tapi sudah rusak dan belum kebeli lagi. Jadi, Emak pun kembali memanfaatkan tungku dan kayu bakar. Dan untuk mencari kayu bakar, juga masuk ke dalam daftar tugas Amat. Kadang-kadang sih Bapak juga ikut mencari kalau ada waktu luang di sela pekerjaannya.

Setelah menuangkan air ke bak, Amat segera memangku adik-adiknya yang sudah mulai merangkak, menggapai-gapai apapun yang bisa diraihnya untuk digeletakkan begitu saja, semaunya. Berantakan. Ia membawa kedua adiknya ke luar rumah. Membiarkannya bermain di teras. Bermain tanah. Setidaknya di sini lebih aman, tidak terlalu banyak barang-barang yang akan diraihnya. Hati Amat semakin tak menentu. Pikiran antara membolos atau tetap sekolah, meskipun kesiangan, mulai merasuk, apalagi dari kejauhan sudah tampak teman-temannya berjalan bergerombol, dengan tas dan seragam masing-masing. Membolos? atau kesiangan?

“Amaaat, ayo mandi, sini ade-adenya biar emak yang pegang!” suara Emak kembali membuyarkan pikirannya. Amat menoleh ke arah suara, ternyata Emak sudah berdiri di pintu.

“Emak udah selesai?” tanya Amat gamang.

Emak mengangguk, “iya, cepat mandi, gih!”

Tanpa membuang waktu, Amat segera melesat ke kamar mandi, membuka baju, lalu mengguyur seluruh badannya dengan air. Ia melakukan semuanya dengan cepat. Kemudian mengenakan pakaian seragamnya juga dengan cepat, seragam putih biru yang warnanya sudah memudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun