“Mak, Amat berangkat dulu ya,” pamit Amat pada emak yang masih berdiri di teras bersama kedua adiknya. Amat memilih pergi ke sekolah.
“Kamu udah sarapan?” tanya emak memastikan.
Amat menggeleng, “gak akan keburu, Mak. Amat puasa saja hari ini.”
Mendengar jawaban anaknya, hati Emak kembali trenyuh. Lagi-lagi anaknya harus menahan lapar, karena tak sempat sarapan dan beliau tak bisa membekalinya dengan uang jajan.
“Ya udah, tapi nanti kalau tidak kuat, buka saja, ya?” maksud Emak, kalau pulang sekolah tidak kuat menahan lapar, makan saja. Amat mengangguk. Lalu melesat, berlari, menyusuri jalan, menuju sekolah. Emak hanya menatap kepergian anaknya, semoga kuat menjalani harinya. Amat tidak suka dibawakan bekal nasi, malu, kaya anak TK saja, katanya.
Amat sudah tidak melihat teman-temannya lagi di jalan. Di depannya, apalagi di belakang. Ia tidak sempat menengok jam dinding tadi, tapi ia yakin, dirinya sudah kesiangan. Matahari sudah terlihat semakin jelas. Membulat. Pikiran itu pun kembali merasuk, membolos atau meneruskan langkah ke sekolah? Membolos, akan aman dari hukuman membersihkan WC atau lari mengelilingi lapangan basket, tapi akan ketinggalan pelajaran dan tidak ikut ulangan, dan pasti, besok akan dipanggil ke ruang BP.
Urusan bersama Pak Gatot akan runyam. Nilai di raport akan merah. Dan, ia tidak mau itu terjadi. Kesiangan, meski akan dapat hukuman dari guru piket, dan mungkin tetap tidak bisa ikut ulangan, nilai di raport bisa juga merah. Tapi, ia akan berbicara terus terang kepada Pak Gatot, perihal kenapa dirinya sampai harus kesiangan. Ini bukan keinginannya.
Ia sudah berusaha semaksimal yang ia bisa agar semuanya berjalan lancar. Tentang ikut mengarit padi di sawah, tentang mengantri di sumur umum, dan juga tentang menjaga adik-adik yang masih kecil. Semoga kali ini Pak Gatot mau mendengar. Dan berkenan memberi kesempatan untuk ulangan susulan. Kalaupun tidak, setidaknya sudah berupaya hingga di batas akhir kemampuan.
Ada sesal mengalir ke seluruh pembuluh darahnya. Menyesali keadaan juga menyesali keluarganya. Tapi, ia tidak menyalahkan siapapun. Mungkin memang kehidupan seperti ini yang harus dijalani. Dan dengan hati diliputi gulana, ia tetap meneruskan langkah, cepat-cepat. Tak lupa selalu menyematkan harap, semoga sekolah bisa mewujudkan cita-cita, agar hidup dan keluarganya menjadi lebih baik.
***
Saya menghentikan sepeda motor saya, di samping Amat yang sedang berjalan setengah berlari. Tergopoh-gopoh. Nafas tersengal, keringat membanjiri seluruh tubuh. Mesin motor tidak saya matikan. Amat pun berhenti dan menoleh.