Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Baru: Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan (1)

24 Mei 2024   16:11 Diperbarui: 24 Mei 2024   16:26 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"kepastian hukum dan keadilan merupakan 2(dua) tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memenuhi tuntunan kepastian hukum maka semakin besar pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkret.. Jika dalam penerapan yang konkret, terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim sedapat mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum."

Pasal ini menarik, karena dalam teori Gustav Radbruch yang diketahui oleh banyak penstudi hukum, terdapat juga kemanfaatan hukum. Dan dengan demikian, dapat ditarik suatu pertanyaan sederhana saja. Dimana posisi kemanfaatan hukum dalam hukum pidana? Penulis serahkan jawabannya pada pembaca. Adapun pertimbangan pemidanaan meliputi:

  • Bentuk kesalahan pelaku tindak pidana.
  • Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.
  • Sikap batin pelaku tindak pidana.
  • Tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan.
  • Cara melakukan tindak pidana.
  • Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana.
  • Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana.
  • Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana.
  • Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban atau keluarga korban.
  • Pemanfaatan dari korban dan/atau keluarga korban, dan/atau,
  • Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Secara sederhana, pertimbangan tersebut pada dasarnya menjadi 'bingkai praktis' bagi hakim untuk menentukan beban hukuman yang dapat diberikan pada subjek hukum pidana yang sedang diadili, termasuk juga ketika putusan yang seyogianya dijatuhkan merupakan putusan bebas atau lepas dan tidak memberikan hukuman. Tentu, semua kembali pada kebijaksanaan hakim.

Namun, fungsi lain daripada adanya kriteria tersebut adalah, publik juga dapat ikut mempertimbangkan suatu bobot perkara yang dialami oleh terdakwa. Hal ini menjadi penting karena dengan demikian kebijaksanaan hakim dalam memutus akan lebih terarah dan tidak secara tertutup dikuasai mereka. Hal ini bermuara pada kepastian hukum dalam arti material yaitu pada ranah masyarakat yang kemudian bisa menimbang secara lebih objektif terkait suatu perkara.

Kemudian, bila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh badan hukum/korporasi, maka pertimbangan yang digunakan meliputi:

  • Tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
  • Tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat korporasi;
  • Lama tindak pidana dilakukan;
  • Frekuensi tindak pidana oleh korporasi;
  • Bentuk kesalahan tindak pidana;
  • Keterlibatan pejabat;
  • Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
  • Rekam jejak korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
  • Pengaruh pemidanaan terhadap korporasi;
  • Kerja sama korporasi dalam penangangan tindak pidana;

Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Tidak jarang, dalam suatu kasus pidana seseorang diancam dengan pidana pokok secara alternatif. Yang dimaksud pidana pokok secara alternatif, sederhananya adalah, orang tersebut diancam dengan dua jenis bentuk perbuatan pidana. Misalnya mencuri dan merampok (mencuri dengan kekerasan). Pada saat hal itu terjadi, maka hakim memiliki kebebasan untuk menggunakan mana dasar pidana yang digunakan sebagai pokoknya.

Adapun pada artikel tindak dan pertanggungjawaban pidana, telah tertuang bahwa pidana memiliki alasan pembenar dan alasan pemaaf. Selain itu, ada juga yang dikenal sebagai alasan pemberat pidana. Diatur dalam pasal 58, alasan pemberat pidana meliputi:

  • Pejabat yang melakukan tindak pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana.
  • Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara.
  • Pengulangan tindak pidana.

Apabila alasan pemberat pidana tersebut dengan sah dan meyakinkan dilakukan, maka pemberatan beban pidana dapat ditambah, sebanyak 1/3 dari maksimum ancaman pidana. Misalnya, dalam pasal 458 ayat 1 tentang pembunuhan, dikatakan pidana penjara yang dapat diberikan maksimal 15 tahun. 1/3 dari 15 tahun tersebut, yaitu 5 tahun, menjadi beban pemberat pidana, sehingga pada prakteknya, memungkinkan terdakwa diputus melebihi ketentuan awal. Menggunakan contoh rumusan pembunuhan tersebut misalnya, maka pidana maksimal yang dapat dinikmati terdakwa setidaknya menjadi 20 tahun, belum ditambah faktor lain.

Lain-lain

Hal lain yang dapat ditemukan dalam pemidanaan, yang meliputi keberlakuan atau keabsahan pemidanaan, terutama pidana penjara. Dan grasi. Dalam hal pidana penjara, pidana penjara adalah salah satu dari banyak bentuk jenis pidana lainnya. Pidana penjara diketahui merupakan suatu jenis pidana yang menahan kemerdekaan seseorang yang secara definitif diatur dalam pasal 22 KUHP lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun