Ketika penulis dengan sekilas melihat BAB III yang mengatur tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam KUHPB, yang dimulai dari pasal 51 sampai dengan pasal 131, penulis yakin Bagian ini tidak dapat diulas hanya dalam satu artikel. Bukan karena hanya mengandung puluhan pasal, tapi juga karena banyak hal teknis yang juga baru saja penulis ketahui sehingga menjadi menarik untuk dihayati seraya minum kopi.
Adapun Bab III Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan terbagi menjadi beberapa bagian yang meliputi:
1. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (pasal 51-pasal 63).
2. Pidana dan Tindakan (pasal 64-pasal 111).
3. Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak (pasal 112-pasal 117).
4. Pidana dan Tindakan bagi Korporasi (pasal 118-pasal 124).
5. Perbarengan (pasal 125-pasal 131).
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Pada bagian Tujuan dan Pedoman Pemidanaan ini kemudian dibagi menjadi beberapa paragraph, yang meliputi:
- Tujuan pemidanaan;
- Pedoman pemidanaan;
- Pedoman penerapan pidana penjara dengan rumusan tunggal dan alternatif;
- Pemberatan pidana
- Ketentuan lain.
Berdasarkan pasal 51, dikatakan pemidanaan memiliki beberapa tujuan, yang secara ringkas meliputi:
- Mencegah dilakukannya tindak pidana.
- Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan.
- Menyelesaikan konflik yang timbul akibat Tindak Pidana, yang diharapkan berdampak mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.
- Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dimana kemudian secara khusus diterangkan bahwa Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Kemudian, dalam Pedoman Pemidanaan pada pasal 53 ada tertuang bahwa pada intinya dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan, dimana hakim wajib mengutamakan keadilan. Dalam Penjelasan KUHPB sendiri, ada berbunyi:
"kepastian hukum dan keadilan merupakan 2(dua) tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memenuhi tuntunan kepastian hukum maka semakin besar pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkret.. Jika dalam penerapan yang konkret, terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim sedapat mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum."
Pasal ini menarik, karena dalam teori Gustav Radbruch yang diketahui oleh banyak penstudi hukum, terdapat juga kemanfaatan hukum. Dan dengan demikian, dapat ditarik suatu pertanyaan sederhana saja. Dimana posisi kemanfaatan hukum dalam hukum pidana? Penulis serahkan jawabannya pada pembaca. Adapun pertimbangan pemidanaan meliputi:
- Bentuk kesalahan pelaku tindak pidana.
- Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.
- Sikap batin pelaku tindak pidana.
- Tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan.
- Cara melakukan tindak pidana.
- Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana.
- Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana.
- Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana.
- Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban atau keluarga korban.
- Pemanfaatan dari korban dan/atau keluarga korban, dan/atau,
- Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Secara sederhana, pertimbangan tersebut pada dasarnya menjadi 'bingkai praktis' bagi hakim untuk menentukan beban hukuman yang dapat diberikan pada subjek hukum pidana yang sedang diadili, termasuk juga ketika putusan yang seyogianya dijatuhkan merupakan putusan bebas atau lepas dan tidak memberikan hukuman. Tentu, semua kembali pada kebijaksanaan hakim.
Namun, fungsi lain daripada adanya kriteria tersebut adalah, publik juga dapat ikut mempertimbangkan suatu bobot perkara yang dialami oleh terdakwa. Hal ini menjadi penting karena dengan demikian kebijaksanaan hakim dalam memutus akan lebih terarah dan tidak secara tertutup dikuasai mereka. Hal ini bermuara pada kepastian hukum dalam arti material yaitu pada ranah masyarakat yang kemudian bisa menimbang secara lebih objektif terkait suatu perkara.
Kemudian, bila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh badan hukum/korporasi, maka pertimbangan yang digunakan meliputi:
- Tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
- Tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat korporasi;
- Lama tindak pidana dilakukan;
- Frekuensi tindak pidana oleh korporasi;
- Bentuk kesalahan tindak pidana;
- Keterlibatan pejabat;
- Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
- Rekam jejak korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
- Pengaruh pemidanaan terhadap korporasi;
- Kerja sama korporasi dalam penangangan tindak pidana;
Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif
Tidak jarang, dalam suatu kasus pidana seseorang diancam dengan pidana pokok secara alternatif. Yang dimaksud pidana pokok secara alternatif, sederhananya adalah, orang tersebut diancam dengan dua jenis bentuk perbuatan pidana. Misalnya mencuri dan merampok (mencuri dengan kekerasan). Pada saat hal itu terjadi, maka hakim memiliki kebebasan untuk menggunakan mana dasar pidana yang digunakan sebagai pokoknya.
Adapun pada artikel tindak dan pertanggungjawaban pidana, telah tertuang bahwa pidana memiliki alasan pembenar dan alasan pemaaf. Selain itu, ada juga yang dikenal sebagai alasan pemberat pidana. Diatur dalam pasal 58, alasan pemberat pidana meliputi:
- Pejabat yang melakukan tindak pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana.
- Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara.
- Pengulangan tindak pidana.
Apabila alasan pemberat pidana tersebut dengan sah dan meyakinkan dilakukan, maka pemberatan beban pidana dapat ditambah, sebanyak 1/3 dari maksimum ancaman pidana. Misalnya, dalam pasal 458 ayat 1 tentang pembunuhan, dikatakan pidana penjara yang dapat diberikan maksimal 15 tahun. 1/3 dari 15 tahun tersebut, yaitu 5 tahun, menjadi beban pemberat pidana, sehingga pada prakteknya, memungkinkan terdakwa diputus melebihi ketentuan awal. Menggunakan contoh rumusan pembunuhan tersebut misalnya, maka pidana maksimal yang dapat dinikmati terdakwa setidaknya menjadi 20 tahun, belum ditambah faktor lain.
Lain-lain
Hal lain yang dapat ditemukan dalam pemidanaan, yang meliputi keberlakuan atau keabsahan pemidanaan, terutama pidana penjara. Dan grasi. Dalam hal pidana penjara, pidana penjara adalah salah satu dari banyak bentuk jenis pidana lainnya. Pidana penjara diketahui merupakan suatu jenis pidana yang menahan kemerdekaan seseorang yang secara definitif diatur dalam pasal 22 KUHP lama.
Dalam KUHPB, diketahui bahwa pemenjaraan seseorang dalam baru berlaku ketika putusan mengatakan demikian. Konsekuensi logisnya, pemenjaraan seseorang sebelum ada putusan tersebut dapat dianggap sebagai pemenjaraan yang tidak sah.
Kemudian terkait grasi, grasi adalah ampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman. Di Indonesia, pemberian grasi dilakukan oleh presiden sebagaimana berakar dari Pasal 14 ayat 1 UUD NRI 1945 amandemen keempat yang berbunyi:
"presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung."
Adapun Keterkaitan grasi dengan KUHPB, didasarkan atas adanya proses pemberian grasi tersebut, yaitu permohonan grasi. Pasal 62 ayat 1 KUHPB dengan tegas berbunyi:
"permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati."
Demikian sedikit tentang Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan. Artikel ini jauh dari sempurna selain karena keterbatasan penulis, juga karena kesederhanaan. Kali ini Penulis lebih menekankan bagian Pemidanaan saja dan akan melanjutkan bagian Pidana dan Tindakan di artikel selanjutnya, bila tidak hanya Pidana saja. Yang penting, ada sedikit gambaran tentang apa itu pemidanaan. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan:
KUHPB.
UUD NRI 1945
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H