Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Asesmen Nasional dan Profil Pelajar Pancasila, Sebuah Reformasi Pendidikan Abad 21

1 Februari 2021   23:11 Diperbarui: 2 Februari 2021   16:17 3180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil tes PISA pelajar Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan kualitas pendidikan dasar dan menengah tanah air sangat rendah. Kurang lebih 70% siswa Indonesia disebut-sebut memiliki kompetensi literasi membaca di bawah minimum.

Kesimpulan yang sama juga terkait keterampilan matematika dan sains pelajar Indonesia di usia SMP-SMA. Dikatakan, 71% siswa Indonesia berada di bawah kompetensi minimum untuk matematika dan 60% siswa di bawah kompetensi minimum untuk keterampilan sains.

Rendahnya raihan skor PISA pelajar Indonesia ini disebut-sebut hampir tak berkembang dalam 10-15 tahun terakhir. Kondisi ini pun menyebabkan Indonesia konsisten menjadi salah satu negara dengan peringkat hasil PISA yang terendah.

Dari 80 negara yang diuji di PISA di seluruh dunia pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-75, peringkat ke-6 paling bawah. Skor PISA pelajar Indonesia hanya lebih tinggi sedikit dari negara-negara seperti Morocco, Kosovo dan Lebanon. Sementara di 3 peringkat teratas diisi oleh China, Singapore dan Macao.

Menyikapi kondisi ini, tampaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tidak ingin tinggal diam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah reformasi asesmen untuk mendorong peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.

Sebagaimana diketahui bersama, Kemdikbud secara resmi telah menghentikan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021. Sebenarnya, sejak tahun 2019 lalu dimana pandemi covid-19 mulai terjadi di tanah air, Kemdikbud telah membatalkan pelaksanaan UN.

Meski tak ingin disebut sebagai pengganti UN, Kemdikbud kemudian menetapkan akan melaksanakan Asesmen Nasional (AN) dengan tujuan untuk mengevaluasi kinerja dan mutu sistem Pendidikan nasional.

Berbeda dengan UN, hasil Asesmen Nasional tidak memiliki konsekuensi apapun pada kelulusan siswa di tingkat satuan pendidikan. Hasil AN diharapkan dapat memberikan umpan balik untuk tindak lanjut pembelajaran dan kompetensi siswa.

Karena itu, secara teknis Asesmen Nasional tidak akan dilaksanakan pada siswa di tingkat akhir setiap satuan pendidikan. Peserta AN juga bukan semua siswa tetapi sejumlah siswa yang dipilih secara acak pada kelas 5 SD, kelas 8 SMP dan kelas 11 SMA/K.

Seperti telah dijelaskan di atas, Asesmen Nasional diterapkan untuk meningkatkan mutu Pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian siswa dalam menguasai materi pelajaran dan nilai ujian akhir, melainkan lebih difokuskan pada pencapaian kompetensi siswa yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap.

Pendidikan di abad 21, diharapkan dapat menyesuaikan dengan arus perubahan yang sedang terjadi di dunia. Siswa sebagai pelaku utama pembelajaran dituntut dapat menguasai berbagai kecakapan hidup seperti kecakapan belajar dan berinovasi, kecakapan menggunakan teknologi informasi, serta kecakapan untuk bekerja dan berkontribusi pada masyarakat.

Dalam hal ini, Kemdikbud yakin bahwa Asesmen Nasional yang akan diberlakukan pertama kali sekitar bulan September -- Oktober tahun 2021 ini diharapkan dapat menjadi alat ukur untuk mengetahui ketercapaian kompetensi yang harus dikuasai siswa di abad 21.

Asesmen Nasional diharapkan tidak sekedar memotret hasil belajar kognitif siswa, sebagaimana yang menjadi tujuan UN, namun juga memetakan hasil belajar sosial emosional, termasuk sikap, nilai, keyakinan, serta perilaku yang menjadi aktualisasi diri di berbagai konteks yang relevan.

Selain tuntutan kecakapan abad 21, Profil Pelajar Pancasila juga menjadi rujukan pencapaian karakter bagi seluruh siswa di Indonesia. Bahkan Kemdikbud meyakini bahwa profil pelajar pancasila ini sudah merangkum serangkaian kecakapan hidup abad 21.

Lalu apa saja yang dimaksud Profil Pelajar Pancasila?

Profil Pelajar Pancasila sebagaimana dirumuskan oleh Kemdikbud adalah 6 karakter yang diharapkan menjadi profil pelajar Indonesia. Keenamnya adalah (1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, (2) Berkebhinekaan global, (3) Mandiri, (4) Bernalar kritis, (5) Kreatif, serta (6) Gotong royong.

Sebagai seorang guru, saya tertarik untuk memaknai keenam karakter dari Profil Pelajar Pancasila sehingga menjadi tujuan pembelajaran yang ingin saya capai di kelas pada peserta didik saya di sekolah.

#1 Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia

Karakter pertaama ini mengandung 3 kata kunci yang sengaja dibedakan yaitu beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.

KKBI mendefinisikan kata "beriman" sebagai kata kerja mempunyai iman (ketetapan hati); mempunyai keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, yang berarti setiap pelajar Indonesia adalah seorang yang percaya kepada Tuhan, bukan ateis, dan memegang satu agama atau keyakinan tertentu.

Kata "bertakwa" didefinisikan sebagai menjalankan takwa, yang ditunjukkan dengan terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kata ini juga merujuk pada keinsafan diri yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Seorang pelajar yang bertakwa menurut saya tidak sekedar menunjukkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan ritualitas kegiatan agama secara ketat, tetapi lebih dari itu menunjukkan kualitas dan teladan hidup yang saleh, tidak melenceng dari kehidupan yang seharusnya.

Sedangkan frase "berakhlak mulia" didefinisikan sebagai memiliki budi pekerti dan kelakuan yang mulia, terhormat, bermutu tinggi dan berharga. Jika ketakwaan terkait langsung bagaimana penilaian Tuhan secara langsung kepada umatNya, maka "berakhlak" terkait penilaian dari sesama manusia.

Hal ini menjadi sesuatu yang menarik, bahwa ternyata beriman dan beragama tidak hanya soal bagaimana hubungan kita dengan Tuhan (hal ini memang yang utama), tetapi hal lain yang tak dapat diabaikan tetapi justru menjadi cerminan dari yang utama itu adalah bagaimana orang-orang di sekitar kita menilai hidup kita.

Tentu saja ini tidak boleh dibalikkan, yaitu mengutamakan penilaian manusia baru kemudian mencari penilaian dari Tuhan. Tetapi jika kita merasa sudah sangat baik di hadapan Tuhan tetapi jadi batu sandungan bagi sesama, dalam hal ini kita perlu mengevaluasia kualitas keimanan kita.

Termasuk juga akhlak mulia kepada alam dan kepada negara. Bagaimana mungkin seseorang bisa cukup yakin telah dipandang mulia oleh Tuhan, jika sikapnya pada ciptaan lainnya termasuk alam tidak mencerminkan Tuhan yang memelihara alam ciptaanNya.

Termasuk kepada negara, karena tentu saja bukan secara kebetulan seseorang terlahir sebagai warga suatu negara, pasti ada rencana Tuhan baginya untuk berkontribusi secara positif bagi negeri tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

#2 Berkebinekaan Global

Pelajar Indonesia yang Berkebinekaan Global tidak hanya mengupayakan dan mempertahankan budaya Indonesia yang luhur, tetapi juga mengakui sebagai identitasnya sebagai suatu bangsa. Karakter ini sangat penting mengingat tanah air kita terdiri dari beragam agama, suku, ras dan budaya yang jika tidak disikapi dengan baik dapat memicu konflik yang memecah belah.

Namun, mencintai budaya sendiri tidak lantas menjadikan pelajar Indonesia tertutup dengan dunia luar. Penambahan kata "global" pada "berkebinekaan" berarti bahwa pelajar Indonesia tetap berpikiran terbuka dala berinteraksi dengan budaya lain dan tetap mengedepankan rasa saling menghargai bahkan terbuka dengan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ada.

Pelajar yang Berkebinekaan Global tentu saja harus lebih dulu mengenal dan menghargai budaya luhur bangsa, baru kemudian mengenal budaya lainnya. Dalam hal ini, diperlukan kemampuan berkomunikasi interkultural yang baik, sesuai dengan salah satu tuntutan kecakapan abad 21 yaitu berkomunikasi.

#3 Gotong Royong

Negeri kita dikenal sejak dulu dengan karakter gotong royong yang menjadi budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Meski harus diakui, seiring dengan era modernisasi saat ini, karakter ini dirasakan mulai luntur bagi para generasi muda kita.

Gotong royong bearti kemampuan untuk melakukan kegiataan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan. Bagi generasi yang lahir sebelum tahun 90an, terutama di suku tertentu, pastilah sangat akrab dengan kebiasaan "rewang" ketika sedang punya hajatan tertentu.

Namun belakangan ini, budaya "rewang" itu mulai terkikis disebabkan oleh satu atau beberapa hal. Kita tentu saja tidak berharap budaya 'gotong royong' yang menjadi budaya luhur ini hilang dari tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Karena itu adalah tanggung jawab kita bersama, terutama pelaku dunia pendidikan untuk kembali menanamkan dan memperkuat budaya gotong royong bagi generasi muda kita.

Ada 3 kata kunci dari karakter 'gotong royong' yaitu kolaborasi, kepedulian dan berbagi. Ketiga hal ini perlu dibiasakan dan dibudayakan saat anak-anak kita belajar di kelas seperti melatih mereka untuk belajar secara berkelompok atau mengerjakan suatu proyek atau aksi sosial secara bersama-sama.

#4 Mandiri

Pelajar Indonesia harus menunjukkan profil sebagai seorang pelajar yang mandiri, yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya sendiri. Pembelajaran Jarak Jauh di masa pandemi covid-19 ini adalah kesempatan baik bagi kita untuk mengevaluasi bagaimana kualitas kemandirian anak-anak kita kini.

Kemandirian secara sederhana berarti kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi. Serang pelajar yang memiliki karakter mandiri akan memilki self regulation yang baik, sehingga hal yang dilakukannya adalah cerminan dari tanggung jawab yang dimilki bukan sekedar untuk menghindari hukuman dari kealfaannya.

Tentu saja orangtua punya peran penting untuk melatih anak-anak di rumah memiliki sikap mandiri yang baik. Orangtua yang secara kebablasan memanjakan anak-anak saat berada di rumah secara tidak langsung akan membiasakan mereka untuk tidak memiliki karakter mandiri.

#5 Bernalar Kritis

Kemampuan berpikir kritis adalah satu satu tuntutan di abad 21. Kerakter ini terkait kemampuan secara objektif memproses informasi baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkan.

Di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, kita tentu menyayangkan melimpahnya informasi hoax yang bahkan bersifat destruktif beredar liar di media sosial. Sayangnya, pelajar kita tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memproses informasi tersebut dengan baik.

Parahnya lagi, hal ini tidak hanya dialami oleh pelajar kita yang terbilang masih sangat muda, tetapi juga terjadi pada golongan tua bahkan kaum terpelajar.

Jika sudah sangat sulit untuk melatih karaker berpikir kritis ini bagi yang sudah 'membatu', maka harapan kita tentu saja ada pada para pelajar kita yang masih dalam proses pembentukan jati diri.

Karena itu, saya sangat setuju jika dalam Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) yang dirancang Kemdikbud, kemampuan dasar yang diukur adalah kemampuan literasi dan numerasi. Kedua kemampuan ini mutlak diperlukan dan menjadi potret kemampuan bernalar kritis para peserta didik.

#6 Kreatif

Mau tidak mau, kemampuan dan karakter terakhir ini wajib dimiliki agar generasi muda kita mampu survive dan berbicara banyak di abad 21 ini. Seorang pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat dan berdampak.

"Orisinal" menjadi kata kunci penting dalam karakter 'kreatif'. Orisinal yang dimaksud disini terkait dua hal yaitu menghasilkan gagasan yang orisinal dan menghasilkan karya / tindakan yang orisinal.

Proses pembelajaran di sekolah harus didesain untuk melatif peserta didik untuk kreatif. Karena itu, proses pembelajaran yang berkutat pada pencapaian kemampuan menghafal dan meniru sudah tidak relevan lagi untuk dikejar.

Proses pembelajaran harus menghadirkan budaya Higher Order Thinking Sklills (HOTS) dengan penerapan model pembelajaran berbasis project. Dengan berbekal kemampuan kognitif dan keterampilan dasar, proses pembelajaran di sekolah diharapkan melatih daya analisa hingga melahirkan ide, gagasan atau bahkan karya-karya kreatif yang 'out of the box' atau bahkan 'no box.'

Pekanbaru, 1 Februari 2021

*) Disarikan dari Kegiatan Bimtek Guru Belajar Seri Asesmen Kompetensi Minimal Kemdikbud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun