Kesaksian ini ditulis karena banyaknya pertanyaan dari sahabat, bagaimana awalnya bapak dicurigai tertular virus corona hingga akhirnya mengalami perawatan di ICU lebih dari 1 bulan.
Sebelum dirawat di rumah sakit sebagai pasien covid-19, bapak tidak mendapatkan penanganan medis yang cukup baik selama 9 hari. Bukan tidak pergi ke RS untuk mendapatkan perawatan, bahkan sebelum dirawat di RS Siloam Kelapa Dua, bapak telah dibawa ke 10 RS dan semua RS menolak untuk merawat bapak.
Proses 9 hari mencari RS di Jakarta saat itu sangat sulit kami rasakan. Padahal bapak yang sudah berusia lebih 65 tahun dengan gejala covid-19, harusnya mendapatkan perawatan medis segera mungkin. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Kisah 10 hari mencari pertolongan medis ini kami rangkum dalam tulisan berikut.
Hari itu (24/03/2020), bapak kami RCHP Hutasoit mulai merasakan demam. Hari sebelumnya, bapak mengantarkan anak laki-lakinya ke Puskesmas karena juga merasakan demam tinggi.
Waktu itu adalah awal-awal penularan virus corona di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kasus terkonfirmasi positif covid-19 belum setinggi saat ini. PSBB pun belum diberlakukan di Jakarta.
Namun, pemberitaan tentang penularan virus corona mulai banyak dibicarakan di media massa. Di media sosial pun mulai bermunculan pesan berantai tentang bagaimana penularan virus corona serta gejala-gejala sebagai tanda seseorang terinfeksi covid-19.
Meski tidak tinggal di Jakarta, berita yang beredar membuat kami yang tinggal di Pekanbaru sangat mengkuatirkan orangtua kami yang tinggal di Pondok Gede.Â
Terlebih karena usia mereka sudah lanjut usia (lansia), sejujurnya setiap hari kami sangat mengkuatirkan mereka tertular virus corona.
Terlebih saat mengetahui bapak mulai merasakan demam, rasa was-was pun makin bertambah. Saat itu kami mendesak bapak segera dibawa ke Rumah Sakit (RS) untuk test laboratorium.
Keesokan harinya (25/03/2020) bapak dibawa ke RS terdekat. Kebetulan ada RS yang lokasinya tak jauh dari rumah dan tersedia layanan cek darah.
Hasil test labor menyimpulkan ada peningkatan sel darah putih. Ini mengindikasikan adanya semacam virus atau bakteri yang mulai menyerang tubuh.
Karena kondisi fisik bapak masih sangat kuat saat itu, dokter pun menyarankan bapak pulang ke rumah untuk beristirahat. Beberapa obat-obatan diberikan untuk mengatasi keluhan yang dirasakan terutama soal demam yang dialami.
Namun berselang beberapa hari, suhu tubuh bapak tidak kunjung turun bahkan makin tinggi, selalu di atas 39 derajat celcius. Karena kondisi demam sudah berlangsung 4 hari, kami pun memutuskan jika hari kelima bapak tetap demam, bapak harus segera dibawa ke RS untuk test kemungkinan terinfeksi covid-19.
Memasuki hari kelima demam (28/03/2020), bapak dibawa ke salah satu RS swasta di Jakarta Timur dengan ditemani ibu (HR br Sianipar) dan sepupu kami. Setibanya di sana, dokter yang memeriksa bapak melakukan pemeriksaan thorax, dan kesimpulan yang diberikan adalah bronchopneumonia.
Kami pun meminta agar bapak dirawat inap di RS tersebut. Namun ternyata pihak RS menolak dengan alasan kemungkinan bapak terinfeksi virus corona dan karena RS tersebut bukan RS rujukan covid-19. Pihak RS lalu menyarankan kami membawa bapak ke RS rujukan untuk diperiksa lebih lanjut di sana.
Tanpa pikir panjang, saat itu juga bapak dibawa ke RS Darurat Wisma Atlet. Karena ibu sudah lansia, kami memintanya untuk pulang beristirahat dan bapak ditemani oleh sepupu berdua menuju Wisma Atlet.
Saat itu hari sudah mulai malam. Jam menunjukkan pukul 22.00 saat bapak tiba di lobby RS Darurat Wiswa Atlet.
Pemandangan di sana terlihat sangat mencekam. Ada banyak orang yang sedang menunggu giliran untuk diperiksa. Bersamaan kedatangan mereka, datang pula 1 bus berisi orang-orang dari kelompok tertentu yang diduga terpapar virus corona.
Kondisi bapak yang masih demam, sebenarnya membuat kami kuatir jika ia harus menunggu lama untuk diperiksa karena hanya duduk di kursi tunggu di ruangan yang relatif terbuka. Ditambah pula informasi dari sepupu soal panjangnya antrian pasien suspek yang butuh penanganan, membuat suasana hati makin tak menentu.
Namun kepalang tanggung sudah ada disana, tidak ada salahnya sedikit sabar menunggu agar dapat penanganan.
Bapak pun dibawa ke ruang pemeriksaan. Dari informasi yang diberikan sepupu yang mendampingi, bapak akan segera dilakukan rapid test.
Kurang lebih 2 jam di sana, kira-kira hampir pukul 12 tengah malam, hasil rapid test bapak pun keluar. Kesimpulan hasil test rapid menyatakan non reaktif. Bapak pun diminta untuk pulang dan beristirahat di rumah.
Atas anjuran dari RS Wisma Atlet, bapak pun dibawa pulang dan disarankan melakukan isolasi mandiri di rumah. Saat itu status bapak dinyatakan sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP).
Namun sejujurnya, ini makin menggelisahkan kami. Entah mengapa, keyakinan bapak terpapar virus corona makin kuat dipikiran kami. Terlebih di rumah ada ibu yang juga lansia, membuat kekuatiran kami makin bertambah kalau-kalau ibu akan ikut tertular.
Namun tidak ada pilihan saat itu, kami pun mengikuti anjuran RSD Wisma Atlet untuk merawat bapak di rumah, dengan kemungkinan risiko yang terjadi.
Bapak terus mengalami demam hingga hari kesembilan (01/04/2020). Selain demam, ia mulai merasakan keluhan lain seperti batuk, pusing dan pegal-pegal. Kondisi fisiknya pun mulai makin lemah.
Hari itu juga kami membawa bapak untuk kembali ke Rumah Sakit. Namun 2 RS yang kami datangi menolak untuk merawat bapak dengan alasan hasil thorax bronchopneumonia dan kedua RS ini bukan RS rujukan covid-19.
Bapak kembali disarankan dibawa ke RS Rujukan covid-19. Kami pun membawa bapak ke dua RS Rujukan di Jakarta.
Namun di dua RS ini, bapak tidak diterima bahkan untuk sekadar singgah di IGD. Pihak RS hanya melihat riwayat rekam medis sebelumnya.
Hasil non reaktif rapid test dari Wisma Atlet menjadi alasan penolakan perawatan bapak. RS Rujukan berdalih hanya menerima pasien yang telah dinyatakan positif covid-19.
Tujuan kami sebenarnya adalah supaya bapak dicek lebih lanjut, tidak sampai rapid test saja. Dari beberapa informasi yang kami dengar, seringkali pasien covid-19 non reaktif saat rapid test pada awalnya.
Namun karena hasil non reaktif rapid test ini, membuat justru bapak tidak ditangani oleh RS non rujukan maupun RS rujukan. RS non rujukan menolak karena alasan bronchopneumonia, sedangkan RS rujukan menolak karena hasil rapid test non reaktif.
Hingga hari kesembilan itu (01/04/2020) total kami telah membawa bapak ke 10 RS berbeda. 4 kali diterima di IGD dan dilakukan pemeriksaan labor, selebihnya tanpa pemeriksaan sama sekali hanya melihat riwayat rekam medis sebelumnya.
Bahkan di salah satu RS yang didatangi, bapak dilarang turun dari mobil oleh pihak RS.
Di RSD Wiswa Atlet pun, bapak telah di test rapid dua kali. Yang kedua pada tanggal 1 April 2020, juga dengan hasil rapid test non reaktif.
Kondisi ini membuat kegelisahan kami makin memuncak, ditambah lagi kondisi fisik bapak makin menurun. Karena hari itu sudah cukup larut malam, kami pun memutuskan membawa kembali bapak pulang ke rumah.
Malam itu juga, kami menceritakan detail kejadian ini ke rekan dokter tim Task Force Perkantas. Sebagai informasi, Tim Task Force adalah tim yang dibentuk oleh Yayasan Perkantas dalam menolong orang-orang yang terkena covid-19 untuk mendapatkan edukasi dan informasi pertolongan medis yang dibutuhkan terkait virus corona.
Setelah melakukan conference call bersama tiga orang dokter sekaligus, rekan-rekan dokter ini pun berjanji akan membantu mencarikan RS yang bersedia merawat bapak malam itu juga.
Kondisi bapak sudah sangat lemah. Sesampainya di rumah ia segera tertidur pulas.
Pukul 1 dini hari, kami mendapat informasi ada 1 RS yang bersedia untuk menerima bapak. Namun karena bapak sudah terlelap, kami tidak tega untuk membangunkan dan membawanya kembali ke RS. Kamipun sepakat esok pagi akan segera membawa bapak ke RS.
Pagi itu (02/04/2020) adalah hari ke-10 bapak merasakan demam. Nafasnya mulai terasa lebih cepat. Secara manual kami menghitung jumlah tarikan nafas bapak dalam semenit, dan rata-rata terhitung di atas 30 tarikan nafas.
Menurut rekan-rekan dokter Tim Task Force Perkantas, bapak mulai mengalami sesak nafas. Jika tidak dibantu dengan oksigen, dikuatirkan bapak akan makin kesulitan bernafas.
Kami pun segera mencari tabung oksigen lengkap dengan selang-selangnya dengan bantuan keluarga dari adik bapak (baca: keluarga namboru). Sepupu yang di rumah juga mencari oksigen portabel di apotik terdekat.
Dengan berbekal oksigen ini, bapak pun segera dibawa ke RS Siloam Karawaci, di Tangerang Banten. Jauh memang dari Pondok Gede, butuh perjalanan sekitar 4 jam menuju ke sana. Namun tidak ada pilihan lain, mendengar RS ini bersedia merawat bapak saja sudah membuat kami sangat bersyukur.
Setibanya di RS Siloam Karawaci, bapak diterima di IGD darurat yang khusus untuk pasien suspek covid-19. Bapak kembali diberikan serangkaian test baik test darah maupun rongent thorax.
Bapak pun dijadwalkan akan test swab esok hari. Jadilah malam itu bapak tidur di IGD Siloam Karawaci.
Keesokan harinya (03/04/2020), dokter menjelaskan hasil labor dan kondisi bapak. Dari penjelasan yang diberikan, besar indikasi bapak terpapar virus corona. Hari itu juga dilakukan test swab kepada bapak.
Namun, karena hasil test swab baru bisa keluar 3-5 hari, bapak dirujuk ke RS Siloam Kelapa Dua, yang merupakan RS khusus menangani pasien Covid-19. Malam harinya, dengan Ambulance bapak dibawa oleh tim medis menuju RS Siloam Kelapa Dua, Tangerang.
Sepupu yang menemani lantas melakukan video call dengan kami di Pekanbaru, memvisualisasikan bagaimana bapak dimasukkan ke Ambulance.
Perasaan kami bercampur aduk antara sedih sekaligus senang karena bapak akan dirawat disana. Air mata pun mengalir tak tertahankan sambil menyaksikan kejadian tersebut.
Saat itu juga, kami bersyukur kepada Tuhan, karena ada satu RS yang bersedia menerima bapak untuk dirawat. Terbayar semua perasaan sedih dan kecewa karena penolakan yang dialami sebanyak 11 kali dari 10 RS berbeda sebelumnya.
Dalam doa syukur itu kami sampaikan juga harapan, bapak akan mendapatkan perawatan terbaik di RS Siloam Kelapa Dua. Kami percaya, Tuhanlah yang menunjukkan RS Silom Kelapa Dua sebagai tempat terbaik untuk perawatan bapak walaupun harus mengalami 11 kali penolakan.
Entah mengapa, setelah menyaksikan bapak dibawa dengan Ambulance ke RS Siloam Kelapa Dua, kami merasakan damai sejahtera. Keyakinan hati sangat kuat bahwa bapak akan sembuh disana dalam hari-hari ke depan.
Kurang lebih 2 bulan lamanya bapak dirawat di RS Siloam Kelapa Dua. Dalam dua bulan itu pula ada banyak kisah perjuangan bapak untuk sembuh yang mengurai banyak air mata.
Kisah perjuangan 60 hari perawatan bapak di RS Siloam Kelapa Dua akan saya ceritakan pada tulisan berikutnya.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kejadian ini?
Perjuangan sulitnya mendapatkan RS ini terjadi di awal-awal pandemi covid-19. Tak terbayangkan lagi bagaimana sulitnya sekarang di saat kasus terkonfirmasi covid-19 terus meningkat.
Saat ini, RS Rujukan covid-19 di beberapa kota dikabarkan telah penuh. Pemerintah menyiapkan beberapa hotel sebagai tempat isolasi mandiri pasien covid-19.
Untuk pasien OTG, tentu tidak akan jadi masalah diisolasi di mana pun juga. Yang jadi masalah adalah bagi pasien dengan usia lansia atau dengan penyakit penyerta yang tidak sekadar memerlukan tempat untuk mengisolasi diri, tetapi juga peralatan medis yang memadai khususnya ventilator.
Bisa dibilang, ketersediaan ventilator sangat terbatas. Banyak pasien covid-19 yang dikabarkan harus antri menggunakan ventilator padahal kondisi paru-paru yang terpapar buruk oleh virus corona memerlukan bantuan ventilator segera.
Jika terlambat diberikan bantuan ventilator, maka akibatnya bisa fatal, gagal pernafasan dan menyebabkan kematian.
Karena itu sebelum terjadi, jauh lebih baik untuk mencegah dari pada mengobati. Tetaplah patuhi protokol kesehatan dengan disiplin agar kita terhindar dari penularan virus corona yang berbahaya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H