Kuperhatikan sosok perempuan yang usianya jauh di bawahku. Selisih sepuluh tahunan. Dia begitu supel, ceplas-ceplos. Senyum tak lepas dari wajahnya yang chubby dengan lesung pipi yang menambah kecantikannya.
Aku mengenalnya beberapa hari, lewat program literasi. Dia peserta, aku yang menjadi narasumbernya. Saat mengajukan pertanyaan, cara bicaranya sudah mencuri hatiku. Masih ditambah lagi saat para peserta diwajibkan untuk mempresentasikan tugas yang kuberikan atas permintaan panitia. Tulisannya sangat kritis.
Sesaat aku melupakan rasa sedihku karena membesarkan buah hati sendirian. Bukan karena cerai hidup, melainkan cerai mati. Tepatnya istriku tak selamat saat melahirkan putriku.
Meski sudah sepuluh tahun ditinggal istriku, sama sekali aku tak berniat untuk menikah lagi. Rasa cintaku begitu besar untuk ibu anakku. Dia adalah sosok sempurna yang mau mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkan putri kami.
Kurasa tak ada seorangpun yang bisa menggantikan kedudukannya di hatiku. Dia, bidadariku. Yang mau menemaniku dalam suka duka. Tanpa mengeluarkan keluhan yang menambah beban hidupku.
"Kamu itu nikah lagi saja, Wa. Biar bisa menjadi tempat berbagi cerita. Bertukar pikiran."
Aku tersenyum saat Ibu mengatakan hal itu. Beliau begitu risau dengan nasibku yang sering menyendiri, setelah putriku tidur lelap.
"Sebelum Rasyid nikah, kamu nikah duluan. Harapan Ibu begitu, Wa."
Aku tak menanggapi ucapan Ibu. Bagaimana bisa menanggapi, jelas-jelas aku belum menemukan wanita yang bisa mengubah angkuhnya hatiku karena hanya menempatkan ibu anakku sebagai permaisuri hatiku.
"Kamu sudah punya calon kan, Wa?"