Tahun dua ribu-an.
Aku membolak-balik katalog buku manual yang disusun berdasar abjad, di Perpustakaan Yayasan Hatta. Kalau saja bukan karena urusan skripsi, mana mungkin aku mau membuka katalog manual, dengan kertas berbentuk persegi panjang berukuran dua belas kali tujuh sentimeter-an dan berwarna putih kekuningan itu.Â
Tentu debu tebal menempel pada katalog itu. Membuat ujung tangan menjadi hitam. Perpustakaan tertua di Yogyakarta itu menjadi ujung tombak perjuangan menjadi sarjana bagiku. Dengan letak di depan Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, tepatnya di Jalan Laksda Adisucipto Yogyakarta.
Meski tahu kalau pengelolaan dan kondisi terbatas dan ketinggalan zaman, entah kenapa aku tak mau mengenakan masker saat ke sana.Â
Dibandingkan dengan perpustakaan di seputar Jogja, perpustakaan ini sepi, sedikit angker dan pengap. Mahasiswa seangkatanku lebih menyukai perpustakaan yang sudah bersentuhan dengan komputerisasi.
"Skripsi Sejarah itu harus ada sumber primernya, Mbak," ujar Pak Danar, dosen pembimbing skripsi, saat aku berkonsultasi dan dalam proposal masih menggunakan sumber skunder.Â
"Masih ingat tentang sumber primer itu seperti apa 'kan, Mbak?" tanya beliau padaku.
Aku menjawab dengan anggukan. Sebelum beliau menjadi dosen pembimbing, beliau memegang mata kuliah tentang Metodologi Penulisan Sejarah, yang menekankan untuk mempergunakan sumber primer.
Dari materi yang disampaikan saat di kelas atau Diktat karya beliau, aku ingat kalau buku dikatakan sebagai sumber primer jika si penulis adalah saksi perjalanan peristiwa dalam sejarah yang akan ditulis. Artinya, jika disusun dalam waktu yang satu periode dengan peristiwa yang ditulis, bisa dikatakan buku tersebut merupakan sumber primer.
Dalam satu hari, setidaknya sampai siang hari, pengunjung perpustakaan ini hanya ada puluhan orang. Jarang mahasiswa yang mau bersinggungan dengan buku kuno. Kalau ada mahasiswa yang ke sana, sering dijuluki mahasiswa kuno, atau antik. Tentu aku masuk di dalamnya.
Dengan berjongkok di sudut tempat loker katalog buku, pelan-pelan kubuka dan kubaca tulisan tangan yang tintanya mulai memudar. Kuyakin, meski itu tulisan tangan, bukan berarti tulisan tangan Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia yang sangat menyukai dunia literasi.Â
Dari beliau, ada sebuah ungkapan yang intinya bahwa beliau tak akan khawatir meski dipenjara, asalkan ada buku yang menemani beliau. Sungguh quote luar biasa dan menjadikan aku lebih bersemangat dalam mencari buku sebagai sumber primer penulisan skripsiku dan buku-buku penunjang skripsi lainnya.
Setelah berpusing-pusing membuka katalog usang itu, mataku terbelalak, tak percaya kalau buku yang kubutuhkan ada di perpustakaan ini.Â
"Hei, kenapa kamu, Tia?"Â
Suara Hanan menyadarkan aku yang sedari tadi asyik sendiri. Padahal ada dia yang selalu menemaniku ke perpustakaan satu ke perpustakaan lainnya.Â
Kutunjukkan katalog berisi judul buku yang disusun oleh seorang penulis yang mengabadikan keadaan Thailand pada akhir abad kesembilan belas sampai awal abad keduapuluh. Buku itu ditulis tahun 1898 dengan judul Five Years in Siam from 1891-1896.
"Mantap," ucapnya, tangan kanannya menepuk pundakku.
Tak berapa lama, dia membantuku menyalin katalog itu pada sebuah kertas, lalu menyerahkan kepada petugas perpustakaan.Â
"Tunggu sebentar, baru dicarikan bukunya," ucap Hanan.
"Oke!" jawabku singkat sambil menyelonjorkan kedua kaki yang pegal-pegal karena terlalu lama berjongkok saat mencari daftar buku di katalog.
"Yang semangatlah, biar cepet lulus. Kalau bisa kita barengan lulusnya."
"Ah, mana bisa! Kamu itu sudah mau ujian, lah aku masih nyusun proposal," sungutku.
Hanan tertawa dan menawarkan sebotol air mineral.Â
"Minum dulu. Biar lebih semangat mendebat aku," ucapnya enteng.
Sambil menunggu buku yang kubutuhkan ketemu, Hanan mengajakku bicara. Meski aku sambil lalu mendengarnya.
"Nanti aku bantu ngumpulin data buat skripsimu."
"Nggak usah! Kamu cuma bikin aku nggak tenang nyusun skripsi kalau bantuin," sahutku.
"Kamu ini, disemangati kok nggak mau," ujarnya, sambil berjalan ke arah petugas yang memanggil namanya.
Kulihat dia menerima sebuah buku tebal. Setelahnya, dia menghampiri dan menyerahkan buku itu padaku.
"Ini mau kamu baca terus dicatat atau difotokopi?" tanyanya.
"Aku masih capek. Istirahat dulu sajalah."
Buku yang diserahkan Hanan itu hanya kupangku.
"Pusing itu jangan dipelihara. Kalau perlu bantuan, ya minta bantuan aku. Nggak usah gengsi!"
Aku tertawa saat dia kesal seperti itu.
"Buku yang sulit didapat, butuh perjuangan ya harus kamu perlakukan baik. Lekas dibaca atau difotokopi di bagian yang datanya kamu butuhin." Hanan kembali mengambil buku dari pangkuanku.
"Iya, iya... aku tahu. Sini bukunya!"
Kurebut buku itu. Hanan jadi marah karenanya.
"Ambil buku itu nggak sembarangan! Sayang sama bukunya, tahu! Mana buku bersejarah, buku yang bersanding dengan karya Bung Hatta."
Aku menghormat ke arah Hanan dan lekas membawa buku itu ke tempat fotokopi. Sementara Hanan menjadi jaminan kalau buku akan kembali ke perpustakaan lagi.
***
"Kamu tahu nggak, Tia?"
"Nggak," jawabku.
Jitakan kecil singgah di kepalaku. Setelah aku memfotokopi buku dan mengembalikannya, aku diajak ke kantin kampus, sebelum aku mengedit proposal sekaligus menyicil bagian skripsi lainnya.
"Aku itu seneng baca buku karena dibiasakan dari kecil," ucapnya.
"Makanya aku bisa koleksi buku banyak di rumah karena aku suka beli dan baca buku. Siapa tahu, nanti bisa seperti Bung Hatta yang bisa menginspirasi orang sepertimu," lanjutnya.
Aku terkejut, kenapa harus aku yang terinspirasi.
"Kok aku sih?"
"Iya, soalnya kamu itu males baca."
Aku diam. Memang kata-kata Hanan itu tidak sepenuhnya salah. Aku bukan mahasiswi yang cinta buku. Ke perpustakaan ya hanya karena ada tugas dari dosen. Kalau tak ada tugas, cuma dolan ke sana kemari, mengisi waktu.
"Perempuan itu yang rajin baca, biar kalau punya anak juga rajin," nasehat Hanan.
"Ya, Pak Hanan, siap!" sahutku.
Raut muka sebal kulihat jelas. Aku tertawa.
"Bundaku dulu selalu menyuruhku membaca. Aku boleh bermain layang-layang atau pinjam sepeda Ayah kalau sudah baca buku," ceritanya.
"Terus?"
"Kamu juga harus seperti Bundaku!"
"Apaan sih? Jelas aku nggak mau!" tolakku.
***
Kini.
"Ayah! Aku pinjam motor!" seru seorang remaja usia enam belas tahun. Namanya Rayyan.
"Tiketnya ada sama Bundamu," jawab Hanan.
Dengan langkah lebar, Rayyan mendekatiku. Tak lupa memberi sedikit pelukan dan mencium pipiku.Â
"Kenapa? Kok kayak ada maunya?" tanyaku.
Rayyan berbisik,"Aku pinjam motor Ayah, Bunda."
Kutatap remaja berwajah yang begitu mirip dengan Hanan itu.
"Mau ke mana? Rumah cewek?"
Rayyan tersenyum.Â
"Nggak aneh-aneh kalau dolan sama anak orang. Awas kalau sampai malu-maluin Bunda!" ancamku.
"Jadi boleh, Bunda?"
Aku mengangguk, seraya menyerahkan kunci etalase koleksi buku di ruang tengah. Tak lama, remaja itu membawa sebuah buku dan membaca di sampingku. Akupun ikut mengambil buku untuk kubaca. Lalu menuju ke ruang baca.
Tugasku hanya memberi contoh dan mendampingi saat dia membaca, selebihnya Hanan, ayahnya yang bertugas menanyakan isi bukunya.
"Bunda juga harus baca kalau aku baca," protes Rayyan, waktu masih kecil.
Tentu aku menuruti kemauannya, biar anak itu mau membaca sesuai petuah sang ayah. Kalau tak kulakukan, sudah pasti aku diceramahi Hanan.Â
"Ibu itu menjadi madrasah pertama bagi anak. Jadi contoh yang baiklah, Tia!" tegurnya saat aku menolak untuk memberi contoh kepada Rayyan.
"Apa ini?" tanya Hanan yang tiba-tiba di belakangku.
Aku tersenyum manis ke arahnya, dengan hati deg-degan. Dia meraih buku yang kupegang. Ada dua buku yang kupegang secara bertumpuk.
Satu buku yang kalau dilihat dari depan judul dan isinya tentang agama, tetapi di dalamnya kuselipkan buku favoritku untuk kubaca.
Hanan merebut buku yang kupegang dan menarik tanganku, menjauhi Rayyan yang masih asyik membaca.
"Selama ini kamu mengelabuiku? Kamu baca novel begini?" tanya Hanan kesal. Dia mengira kalau aku mau membaca buku-buku non fiksi.
"Mendingan bukan buku komik, Yah!" ucapku.Â
Terus terang, hatiku sedih dan jengkel juga kalau dimarahi Hanan seperti ini. Dia sudah tahu kalau aku memang sulit membaca, dari dulu. Bukannya menerima aku apa adanya, tapi malah memaksaku untuk mengikuti hobinya membaca.Â
Saat aku senang membaca pun tetap salah di matanya. Baginya buku itu harus yang non fiksi. Kini aku kesal padanya dan berusaha membela diri.Â
"Ada apa, Bunda-Ayah?" tanya Rayyan yang mendengar keributan antara Bunda dan Ayahnya.
Rayyan mendekati kami. Baik aku maupun Hanan tak menjawab pertanyaan Rayyan. Rayyan menatapku dengan wajah penasaran. Tatapannya beralih ke ayahnya.Â
Dia mendekati ayahnya, lalu mengambil buku novel milikku yang masih dipegang suamiku itu.Â
"Ayah, Bunda kan sudah baca buku. Nggak usah marah. Kasihan Bunda!"
___
Branjang, 17-21 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H