Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Tak Bersyarat

26 Juli 2024   17:37 Diperbarui: 26 Juli 2024   17:42 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kudengar suara tangismu kuluapkan amarah padamu. Aku begitu kesal. Kamu berani membantah ucapan dan perintahku. 

Kamu hanya kuminta untuk melepas gorden yang sudah mulai kotor oleh debu, lalu membawanya ke loundry. Aku begitu kecewa dan dengan ringan mengeluarkan kata-kata yang ternyata membuatmu menangis.

"Apa-apa malas," ucapku geram, sembari kakiku menendang mainan si kecil yang ada di depanku. Mainan itu membentur dinding hingga mengeluarkan suara keras.

Setelah itu, aku langkahkan kaki ke ruang tengah. Untuk meredakan amarah, kusetel tayangan televisi. Daripada aku terus mengingat betapa ngeyelnya kamu.

Namun tak berapa lama kudengar ucapanmu di antara isak tangis.

"Terserah kamu bilang apa, Mas. Aku memang istri pemalas. Tahunya cuma rebahan dan pegang handphone."

Aku lupa kalau kamu itu yang menyiapkan segala sesuatu untukku dan anak-anak. Sampai-sampai kamu lupa untuk memerhatikan dirimu sendiri.

"Aku tadi masih sibuk mengurusi persiapan kakak yang mau masuk pondok besok, Mas. Kamu nggak tahu, aku kepontang-panting nyari apa saja yang dibutuhkan dia," ucapmu dengan sesenggukan.

Suara tangis masih kudengar.

"Kamu nggak tahu urusan seperti itu. Urusan anak hanya jadi tanggunganku. Kamu tahunya semua beres. Sekarang, aku cuma menunda untuk nyuci gorden. Besok mau kucuci. Kalau mau masukkan ke loundry, Mbak Ina yang punya loundry itu nggak suka aku, Mas."

Sesaat kamu diam. Isak tangis samar-samar kudengar.

"Aku dibenci Mbak Ina dan tetangga lainnya karena nggak level, malah kamu nambah-nambahi sedihku, Mas! Siapa yang mau dukung aku, kalau dibenci orang lain, kamu juga bicara hal yang bikin aku sakit hati."

Aku terkejut. Kamu, istriku yang kukenal begitu periang, kenapa sampai dibenci oleh tetangga-tetangga. Hingga kamu memilih untuk menyelesaikan urusan gombal di tanganmu. 

Entahlah, di hatiku ada rasa menyesal karena membuatmu menangis. Tapi aku tak sepenuhnya percaya dengan ucapanmu kalau tak disukai Mbak Ina yang biasa kamu bantu. Kamu jarang bercerita, atau mungkin saja aku yang tak mau mendengarmu.

Di tengah rasa kalut itu, kamu menyebut-nyebut, "Ibu kenapa begini, Bu?" Begitu menusuk hati.

Ya, hatiku terasa sakit. Aku tahu, kamu sangat dekat dengan ibumu. Perempuan yang sudah tiga tahun meninggalkan kita. Perempuan yang meninggal tanpa ada kata pamit kepada anak dan suami.

Aku tak kuat saat kamu mengeluh. Terdengar tak berdaya seperti saat ini. 

Kuputuskan untuk pergi dari rumah. Kugeber motor dengan kecepatan tinggi.

Dalam perjalanan, kuingat saat kamu masih gadis, beberapa tahun lalu. Sangat cantik dengan senyum khas. Dari keluarga yang pasti sangat membuatmu bahagia.

Kecantikan dan senyummu, membuat siapapun terpana. Ingin dekat denganmu, termasuk teman-teman kerja yang masih single.

Kamu sangat periang, meski kadang kudengar kalau kamu sedang patah hati. Kamu bisa menutupi kepedihanmu dengan senyuman. 

Aku sering mencari kesempatan untuk bicara denganmu, karena teman kerja lain juga sering bicara denganmu. Dengan modal nekat, aku bersaing untuk mendapatkanmu.

Harapanku untuk dekat denganmu rupanya direstui oleh semesta. Keluargamu pun tak ambil pusing ketika tahu kalau aku dari keluarga yang tidak baik-baik saja. 

"Ibu sama Bapak cuma ingin menantunya itu mandiri dan bertanggung jawab," ujarmu waktu aku menceritakan kekhawatiran kalau tak bisa diterima oleh keluargamu.

***

Tengah malam ini, aku masih bersahabat dengan angin. Kupegang handphone. Sama sekali tak ada pesan atau telepon darimu. Apalagi video call. Jelas tak akan ada. Entahlah, mungkin saja kamu masih menangisi keadaanmu.

Hanya rokok yang menemaniku untuk mengusir udara dingin yang menusuk tulang, sekalipun jaket melekat di tubuhku.

"Rokoknya dikurangi to, Mas. Lebih baik uangnya buat kuliahmu," suaramu ketika menasehatiku terngiang di telinga.

Pasalnya, waktu itu kamu tanyakan padaku, dalam satu bulan harus mengeluarkan uang berapa untuk membeli rokok.

"Satu setengah. Bisa dua juga. Tergantung-lah, Dik."

Mulutmu ternganga sambil menatapku yang membuang puntung rokok sembarangan di pekarangan. 

"Uang segitu lebih baik dibakar langsung saja, Mas. Biar lihat, kira-kira merasa sayang nggak kalau uang segitu dibakar," ucapmu sambil berlalu dari mataku.

***

Kupandang asap rokok yang mengepul dan keluar dari mulut dan hidungku. Kuhela napas dan melempar puntung rokok secara sembarangan.

Aku tahu, kamu itu bukan perempuan manja di keluarga, tapi urusan hati pasti sangat dijaga. Mana ada orang tua yang membentak atau menyakiti anak perempuan cantiknya.

Tiba-tiba aku ingat pada si sulung kita, Haura. Terbayang di benakku kalau dia diperlakukan kejam seperti yang kulakukan padamu, pasti aku tak terima. Takkan kubiarkan lelaki manapun menyakiti anak kita.

Dia sudah kita besarkan dengan curahan kasih sayang, tak pantas diperlakukan dengan hal yang menyakitkan. Pasti akan kuambil anak kita kalau dia dinikahi lelaki tak tahu diri.

Kuambil napas panjang. Menyadari begitu bodohnya aku, menyakitimu, ibu dari anak-anakku. Kupandangi foto profil dari kontak WhatsApp-mu, masih setia menampilkan foto kita berdua saat menikmati waktu berdua. 

***

Di ruang dingin ini, aku mengingat-ingat, apa yang sebenarnya terjadi padaku. Namun saat mau bergerak, badanku terasa remuk.

Kusentuh kepalaku yang juga terasa sakit. Ya, aku pasti di rumah sakit. Saat aku mau pulang, tiba-tiba ada motor melaju cepat dan menabrak motor yang kukendarai. Posisiku saat itu sudah mau menyeberang jalan dan sudah menyalakan lampu sein. Setelah itu aku tak ingat lagi, apa yang terjadi padaku.

"Oh, Alhamdulillah, Mas. Akhirnya Mas sadar," ucap seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruang inapku.

Aku mau bangkit dari tidurku, untuk memastikan siapa lelaki yang menyapaku itu. Hatiku terlonjak, rupanya lelaki itu adalah mantan kekasihmu. Dulu dia datang saat kita menikah. Aku ingat betul.

"Saya, Dion, Mas. Teman Diandra," ucapnya jelas.

"Teman?"

Pikiranku mengembara. Tiba-tiba aku merasa sangat kehilangan dirimu. Kau dipertemukan lagi dengan lelaki yang menyimpan rasa kecewa saat pernikahan kita terlaksana. Mungkin saja dia akan mengambilmu dari sisiku. Dan aku tahu diri, aku hanyalah lelaki yang tak mengenalimu.

Saat pikiranku berkecamuk, dari pintu ruang inap yang terbuka, muncul wajah ayumu yang pucat. Rona ceria yang biasa kulihat, kini tak kunikmati.

Kupejamkan mata. Aku tak kuasa saat melihatmu bicara dengan lelaki itu. Kutahan air mata. Aku tak mau kalau kau melihatku lemah.

"Mas..."

Kamu sudah berada di dekatku. Telapak tangan kananmu menyentuh punggung tangan kiriku. Matamu berkaca-kaca. Di saat itulah kusadari, aku sangat beruntung memilikimu.

___

Branjang, 18 Juli 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun