Sesaat kamu diam. Isak tangis samar-samar kudengar.
"Aku dibenci Mbak Ina dan tetangga lainnya karena nggak level, malah kamu nambah-nambahi sedihku, Mas! Siapa yang mau dukung aku, kalau dibenci orang lain, kamu juga bicara hal yang bikin aku sakit hati."
Aku terkejut. Kamu, istriku yang kukenal begitu periang, kenapa sampai dibenci oleh tetangga-tetangga. Hingga kamu memilih untuk menyelesaikan urusan gombal di tanganmu.Â
Entahlah, di hatiku ada rasa menyesal karena membuatmu menangis. Tapi aku tak sepenuhnya percaya dengan ucapanmu kalau tak disukai Mbak Ina yang biasa kamu bantu. Kamu jarang bercerita, atau mungkin saja aku yang tak mau mendengarmu.
Di tengah rasa kalut itu, kamu menyebut-nyebut, "Ibu kenapa begini, Bu?" Begitu menusuk hati.
Ya, hatiku terasa sakit. Aku tahu, kamu sangat dekat dengan ibumu. Perempuan yang sudah tiga tahun meninggalkan kita. Perempuan yang meninggal tanpa ada kata pamit kepada anak dan suami.
Aku tak kuat saat kamu mengeluh. Terdengar tak berdaya seperti saat ini.Â
Kuputuskan untuk pergi dari rumah. Kugeber motor dengan kecepatan tinggi.
Dalam perjalanan, kuingat saat kamu masih gadis, beberapa tahun lalu. Sangat cantik dengan senyum khas. Dari keluarga yang pasti sangat membuatmu bahagia.
Kecantikan dan senyummu, membuat siapapun terpana. Ingin dekat denganmu, termasuk teman-teman kerja yang masih single.
Kamu sangat periang, meski kadang kudengar kalau kamu sedang patah hati. Kamu bisa menutupi kepedihanmu dengan senyuman.Â