***
Kupandang asap rokok yang mengepul dan keluar dari mulut dan hidungku. Kuhela napas dan melempar puntung rokok secara sembarangan.
Aku tahu, kamu itu bukan perempuan manja di keluarga, tapi urusan hati pasti sangat dijaga. Mana ada orang tua yang membentak atau menyakiti anak perempuan cantiknya.
Tiba-tiba aku ingat pada si sulung kita, Haura. Terbayang di benakku kalau dia diperlakukan kejam seperti yang kulakukan padamu, pasti aku tak terima. Takkan kubiarkan lelaki manapun menyakiti anak kita.
Dia sudah kita besarkan dengan curahan kasih sayang, tak pantas diperlakukan dengan hal yang menyakitkan. Pasti akan kuambil anak kita kalau dia dinikahi lelaki tak tahu diri.
Kuambil napas panjang. Menyadari begitu bodohnya aku, menyakitimu, ibu dari anak-anakku. Kupandangi foto profil dari kontak WhatsApp-mu, masih setia menampilkan foto kita berdua saat menikmati waktu berdua.Â
***
Di ruang dingin ini, aku mengingat-ingat, apa yang sebenarnya terjadi padaku. Namun saat mau bergerak, badanku terasa remuk.
Kusentuh kepalaku yang juga terasa sakit. Ya, aku pasti di rumah sakit. Saat aku mau pulang, tiba-tiba ada motor melaju cepat dan menabrak motor yang kukendarai. Posisiku saat itu sudah mau menyeberang jalan dan sudah menyalakan lampu sein. Setelah itu aku tak ingat lagi, apa yang terjadi padaku.
"Oh, Alhamdulillah, Mas. Akhirnya Mas sadar," ucap seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruang inapku.
Aku mau bangkit dari tidurku, untuk memastikan siapa lelaki yang menyapaku itu. Hatiku terlonjak, rupanya lelaki itu adalah mantan kekasihmu. Dulu dia datang saat kita menikah. Aku ingat betul.