Aku sering mencari kesempatan untuk bicara denganmu, karena teman kerja lain juga sering bicara denganmu. Dengan modal nekat, aku bersaing untuk mendapatkanmu.
Harapanku untuk dekat denganmu rupanya direstui oleh semesta. Keluargamu pun tak ambil pusing ketika tahu kalau aku dari keluarga yang tidak baik-baik saja.Â
"Ibu sama Bapak cuma ingin menantunya itu mandiri dan bertanggung jawab," ujarmu waktu aku menceritakan kekhawatiran kalau tak bisa diterima oleh keluargamu.
***
Tengah malam ini, aku masih bersahabat dengan angin. Kupegang handphone. Sama sekali tak ada pesan atau telepon darimu. Apalagi video call. Jelas tak akan ada. Entahlah, mungkin saja kamu masih menangisi keadaanmu.
Hanya rokok yang menemaniku untuk mengusir udara dingin yang menusuk tulang, sekalipun jaket melekat di tubuhku.
"Rokoknya dikurangi to, Mas. Lebih baik uangnya buat kuliahmu," suaramu ketika menasehatiku terngiang di telinga.
Pasalnya, waktu itu kamu tanyakan padaku, dalam satu bulan harus mengeluarkan uang berapa untuk membeli rokok.
"Satu setengah. Bisa dua juga. Tergantung-lah, Dik."
Mulutmu ternganga sambil menatapku yang membuang puntung rokok sembarangan di pekarangan.Â
"Uang segitu lebih baik dibakar langsung saja, Mas. Biar lihat, kira-kira merasa sayang nggak kalau uang segitu dibakar," ucapmu sambil berlalu dari mataku.